Kau
masih tidur nyenyak? Semoga begitu. Karena wallpaper
hari ini masih hitam. Hari pun perlu charging.
Dengan bintang-bintang bunting, mungkin terbanting. Siapa tahu? Mungkin salah
satu pecah saat itu. Tapi cahaya perlu waktu untuk memberimu kabar. Ia tak akan
berkata, “Aku meledak.” Bersyukurlah. Dan awan bersiap menadah, barangkali ada
yang jatuh. Biarkanlah begitu. Karena yang paling penting sekarang, tidurmu
nyenyak. Kau tahu kenapa? Aku akan menunjukkan pintu surga padamu esok hari.
“Surga?
Surga dan neraka hanyalah mitos untuk menakut-nakuti anak kecil, bahkan
orang-orang dewasa yang bodoh untuk mengendalikan pikiran mereka.” Aku ingat
kata-katamu waktu itu. Jiwa terpisah dari raganya kemudian mengapung menuju
langit. Tak ada yang melihatnya. Sementara sang jiwa akan melihat pintu surga
dan neraka. Dan semua orang percaya saja. Selain dirimu. Kau akan bertemu seseorang, bisikku.
Kau
kembali dengan bercucur peluh, mendaki tangga yang beranak dua puluh mati satu.
Menuju gubukmu itu, seperti setiap hari. Gubukmu yang meminjam tempat pada
dahan-dahan tak berdaun itu. Cukup kokoh. Kayu-kayu itu menyayangimu. Tak
pernah ada yang merengek minta diganti atau apalah. Kau selalu ada ketika
mereka membutuhknmu. Mereka menghangatkanmu, memelukmu.
Pedang
di kanan, keris di kiri. Seperti Diponegoro. Hanya perlu ditambah kuda.
Orang-orang itu, yang kehilangan kantuknya, juga memegang senter, beberapa obor.
Berkumpul seperti anak sekolah mengerubungi pengumuman nilai ujian. Apakah
mereka menunggu kuda? Tapi yang datang bukan kuda, melainkan anjing dua ekor.
Satu lengan menyodorkan potongan kain. Anjing-anjing membauinya. Kemudian
keduanya memasuki hutan gelap itu. Tak perlu khawatir. Anjing-anjing tahu jalan
pulang. Tak seperti makhluk-makhluk berkaki dua itu, yang mungkin lenyap di
dalam sana.
Hutan
bengis, malam-malam menangis. Orang sebut itu sarang iblis. Tiga orang pergi,
dua orang tak kembali, satu kembali, lalu mati. Subuh, ada yang tumbuh, ada
yang rubuh. Pagi berkabut, malam juga berkabut, terkadang. Malam-malam
dramatis, malam-malam nokturnal, malam-malam kunang-kunang. Bagaimana
kunang-kunang bisa bercahaya sementara manusia tidak?
Kau
masih meneguk minum melegakan kerongkonganmu. Sementara barang yang kau bawa
tadi – yang ada dalam sarung – kau letakkan di atas meja.
“Barang
ini bagus. Tak seperti biasanya. Dapat dari mana?”
Minumanmu
tertahan. Fluida kurang tekanan untuk mengalir memasuki rongga mulutmu. Tapi
kau tak terlihat takut. Atau setidaknya kaget. Kau menoleh untuk mendapati
wujudnya. Wujud seorang manusia bercahaya itu. Seorang perempuan, seusiamu.
Lalu kau memelototi pintumu yang masih terbuka. “Aku tidak tahu kenapa kau
tiba-tiba di sini. Dan aku tidak akan kaget. Tapi bisakah kau setidaknya
mengetuk sebelum masuk?”
“Kalau
dijual, pasti harganya mahal. Orang-orang tidak akan menjualnya karena ini
barang pusaka yang tidak ternilai harganya. Tapi, kau bisa menjualnya mahal
karena keris ini platinum. Kau tahu? Platinum tidak berkarat dan massa jenisnya
lebih besar daripada emas. Tapi mengambil barang yang bukan milikmu, orang-orang
sebut tindakan setan. Tapi, apa setan itu?”
Kau tak
bergerak, bahkan berkutik. Entropi dalam kepalamu meningkat, melebihi semesta.
Kemungkinan pertama, kau berhadapan dengan perempuan tuli. Mungkin gila. Atau
kau meminum sesuatu hari itu? Atau mencium bau aneh? Tidak, kau menolak
kemungkinan itu. Ya, kemungkinan kedua. Mungkin semacam narkotika yang tak
sengaja merasuki pikiranmu. Kau tak tahu. “Kau tahu kenapa sandal ini ada?” Kau
mengangkat sandalmu, sehingga kini – dalam satu teorimu – berhasil ia dengar.
“Sandal ini ada, karena aku bisa menggunakannya untuk melemparmu.” Kau pun
melempar tepat ke wajahnya.
Masih saja
menatapmu. Tak berubah sedikit pun. Sandalmu mengena, tapi tak menyentuh.
Menembus. “Wah, pemikiran yang menarik.” Ia tersenyum ceria. “Lagipula, kalau
setan itu ada, semua orang pasti telah mengikatnya, lalu mengaraknya ke seluruh
desa, ya kan? Ia akan dilempari sandal oleh semua orang yang melihatnya hingga
mati.”
Lagi-lagi
kau bergeming. Kau mendalami wujud manusia itu. Benarkah narkotika? Dia tak
benar-benar ada. Buktinya sandal itu tak menyentuhnya. Bukti terkuat, saat ini.
Tapi jelas-jelas ia berwujud. Bahkan bersuara. Manusia, perempuan. Bercahaya,
kunang-kunang. Sumber cahaya dan suara. Hanya materi yang bisa. “Siapa namamu?”
kau mendekat. Kau hendak mengangkat tanganmu, tapi untuk apa? Kenapa orang
harus repot-repot memegang tangan orang lain untuk berkenalan? Kalau berkenalan
dengan tos, sepertinya lebih seru. Tapi kau tak berminat mencobanya.
“Aku
adalah cahaya.” bisiknya. “Cahaya yang akan menerangi hidumu. Sinar yang akan
menunjukkanmu ke jalan yang benar.” Cahaya. Memang itu yang selalu terbisik
dalam hatimu ketika melihatnya. Kunang-kunang. Kau bisa memanggilnya manusia
kunang-kunang. Tidak. Perempuan kunang-kunang lebih baik. Serima. Malam-malam
kunang-kunang. Dua tangan bersalaman. Tak menembus. Bagaimana bisa?
“Menunjukkan
jalan benar? Seperti kau akan menunjukkan jalan ke surga? Dan cara menghindari
iblis?”
“Surga?
Neraka? Kau masih ragu pada pikiranmu? Kau sebaiknya beralih pada sesuatu yang
lebih nyata. Seperti keadilan. Yang bergerak pada dunia yang menuju entropinya.
Mereka menuju kesetimbangan. Kemudian, kita menarik deduksi dari semesta.
Konsekuensi. Apa yang kau lakukan ada timpal baliknya.”
“Kau
bilang aku akan mengalami kesialan karena telah mengambil barang orang? Kupikir
aku menyelamatkan benda itu. Aku bisa membuatnya menjadi lebih berguna,
menghasilkan uang. Sementara orang-orang itu hanya meletakkannya dalam kotak
kaca dan mengerubunginya sehari sekali, mengucapkan hal-hal bodoh. Benda itu
membodohi mereka.”
“Bukan
begitu cara kerja sistem.” tangannya beralih pada pipimu. “Setiap hal dijaga
untuk perdamaian. Tindakan di luar sistem hanya akan merusak perdamaian itu.
Anjing-anjing mengejarmu. Kemudian yang ada hanya kekacauan. Ketidakadilan. Benda
itu harus kembali ke tempat asalnya. Mereka tak pernah mengusikmu, bukan?”
tangannya lembut merayap pada pipimu. Kini kepalamu tak mengikuti kehendak
semesta. Matanya terlalu dekat menatapmu. Terlalu dalam. Kau pun melihatnya.
Tak ada yang seindah itu sebelumnya. Kuning kerlap dan kuning kerlip. Tak
menyilaukan seperti matahari. Kau tak merasakan apalagi kala itu. Bahkan tanpa
kau sadari bibirnya mengecup keningmu. Lalu raga itu berubah menjadi
percik-percik kuning kecil. Seperti kunang-kunang.
Sementara
pikiranmu saling beradu, dua pasang mata menyala mendapati singgasanamu di
puncak pohon tua. Nyala itu menghilang.
“Maski hatinya
mengikuti entropi semesta, dia sebenarnya tahu siapa Tuannya. Seperti dirimu,
namun kau terlalu dungu.” kata cahaya putih. Dua cahaya bercakap di atas awan.
“Setidaknya
ia akan segera mati. Dan ia mati dalam kehendakku. Hanya ada kegelapan di hati.
Kemudian datang cahayaku. Ia pasti akan datang sendiri. Seperti bagaimana
orang-orang itu datang padaku.” kata cahaya merah.
“Kau
hanya suka dipuja. Padahal kau sendiri tahu di mana tempatmu nanti. Cahaya itu
menuntun mereka pada bara. Menjebak, mengelabuhi, meracuni. Masih ada harapan
padanya. Tak sepertimu, ia masih tahu diri.”
“Bukan
tak tahu diri. Kaulah yang tak punya harga diri. Mereka akan segera mati. Tak
seperti kita yang abadi. Cahaya kita masuk melalui celah di hati. Meski itu
bara, tetap saja menerangi.”
Kau tak
seperti biasanya pagi ini. Terlalu pagi. Apa kau sudah memutuskan pilihanmu?
Kau tak bicara, tapi sikapmu memberitahu begitu. Keris itu kau putar-putar
semalaman. Kau perhatikan saja. Kini ia kembali ke sarungnya. Ke mana kau akan
membawanya?
Ragamu
berdemo akan kediktatoranmu. Sudahlah, kau terlalu memaksa mereka bekerja
semalaman. Kini kau hanyut di perjalanan. Tenggelam dalam cerita pengantar
tidur dari pepohonan. Namun benda mencolok di depanmu menyita matamu lagi.
Katak berwarna menyala. Apa ia penghuni baru di sini? Selama kau tinggal, kau
tak pernah mendapati wujud seperti itu. Mungkin ia datang bersama si perempuan
kunang-kunang di malam kunang-kunang. Begitu cantik. Ia melompat ke tanganmu
yang sengaja mendekat. Kemudian ia melompat naik, hingga menempel ke lehermu.
Dan titik api muncul. Tanpa api. Membakar tanganmu begitu saja. Merayap,
menggerogoti, terlalu bernafsu hingga menggigit lehermu. Kau pakai semua air
yang ada untuk membasuh mereka semua. Masih terlalu panas. Mungkinkah ini api
neraka yang tak pernah padam? Kau terpejam begitu saja.
Dan kau
kembali. Kau belum berada di neraka. Kalau kau ada di neraka, kau takkan bisa
mendaki lagi. Lelaki tua itulah yang menarikmu dari kegelapan. Yang tangan
keriputnya mengoleskan sesuatu entah apa pada lehermu. Iakah yang menghilangkan
api itu?
“Belum
saatnya.” kata si lelaki tua.
“Kau
tidak tahu kapan aku mati. Tapi, terima kasih. Apa itu tadi?”
“Begitu
cantik. Kau bisa memelihara dua. Kemudian beranak dua puluh yang masing-masing
beranak dua puluh. Rumahmu akan indah warna-warni. Tapi kau akan segera mati.
Bila setan berwujud menyeramkan, warga desa akan menangkapnya, megikatnya, lalu
melemparinya dengan sandal hingga mati. Setan akan mewujudkan diri sebagai
sesuatu yang cantik. Karena ia butuh pelanggan. Seperti katak cantik itu. Lucu,
warna-warni, melompat-lompat, menggemaskan. Setelah kau dekat dengannya, ia menarikmu
dalam kegelapan.”
“Apa
semua itu benar adanya? Setan itu benar-benar ada? Itu hanya bentuk imajinasi
manusia. Tidak, tidak. Aku telah melihat sesuatu yang seharusnya tak nyata.
Sesuatu yang tak tersusun dari materi. Bukan dari realita. Aku sengaja tak
tidur semalaman agar dapat memastikan kalau itu bukan mimpi. Dia begitu cantik.
Dan dia berkata untuk menunjukkan jalan yang benar padaku sebagai cahaya. Itu
hal yang benar, bukan?”
“Kau
memiliki kesimpulanmu sendiri. Apa akal itu ada? Kau tidak bisa melemparkan
akalmu seperti sandal, tapi kau bisa menggunakannya untuk berpikir. Dan alasan
kenapa kau memilikinya adalah untuk membuat kesimpulan. Mengembalikan barang
yang kau curi, semua orang setuju dengan itu. Bayangkan semua pencuri
sepertimu. Lalu mereka bisa melakukan ritual mereka lagi, seperti biasanya.
Mereka mengerubungi keris itu, lalu memuja-mujanya. Mereka terpana olehnya.
Keris itu memberikan kecantikan tersendiri. Mereka bahkan rela memasuki hutan
yang mereka takuti untuk menemukannya. Ngomong-ngomong, lihat. Katak itulah
yang menyebabkan tidurmu. Setanmu. Apa kau akan membunuhnya?”
Kau
berpaling, iba. “Tidak. Ia hanya menggunakan mekanisme pertahanan dirinya. Ia
tak memiliki akal untuk mengetahui apakah aku memiliki niat jahat atau tidak.
Bahkan manusia juga tak mengetahuinya. Ia ingin tetap hidup dan ia berhak untuk
itu.” Ketika menatapnya, lelaki itu kini tiada. Tak menjadi kunang-kunang, tak
meninggalkan jasad layaknya materi. Lenyap begitu saja.
Lagi-lagi
isi kepalamu menuju entropinya. Bodoh, membodohi, kebodohan, pembodohan. Itulah
manusia dalam benakmu. Segala ketaknyataan menerobos batasnya memasuki kenyataan.
Dan kau teringat iklan. Berdesis. Kini kau tak peduli, namun ia tetap menanti. Hanya
sampai situlah iklan. Beda dengan orang-orang itu. Mereka sampai rela
menyerahkan nyawa mereka demi keris platinum. Iklan kelewat batas. Bukan lagi
iklan. Pembodohan. Jika setan ada dan malaikat realita, berarti surga dan
neraka bukan fiksi belaka dan pasti ada pemiliknya.
Kunang-kunang
di langit masih gemerlap. Dalam gelap. Dan nyala dua pasang muncul. Mendekat.
Anjing-anjing kembali. Kau tahu pasti itu pertanda apa. Kau memanjat segera.
Pohon itu, yang rendah dahannya. Anjing-anjing mencakar kakimu, menggigit.
Mereka masih menggonggongimu sementara kau mengelap luka di atas dahan itu.
Dahan jatuh, rubuh. Melempar satu tubuh, menimpa dua tubuh. Kau nyeri,
anjing-anjing tak bisa berdiri. Kau mengangkat dahan itu. Mengapa? Barangkali
sama dengan pembelaanmu pada sang katak. Ia ingin hidup dan ia berhak untuk
itu. Anjing-anjing berlari.
Orang-orang
masuk hutan. Padahal kala ini berkabut. Mereka membawa gergaji dan tali. Satu
tim bekerja, satu tim menonton. Mengamati, sesekali menyemangati. Satu gores,
dua gores, tiga gores. Pohon tua akhirnya rubuh. Rumahmu yang setia runtuh.
Kau
mengelana kabut. Semerawut. Kau tahu yang kau tuju, semoga. Katika terik, kabut
sudah menghilang. Dan kau memandang sebuah jurang dalam. Kau masih terjebak dalam
pilihan. Pikiran. Benda itu mengacaukan entropi kepalamu. Kau harus
membuangnya, kau harus membuangnya. Daripada terjebak dalam pilihan yang
melarutkan. Kau melemparnya dalam jurang, membiarkannya terpendam oleh
mekanisme alam. Bisa menjadi temuan seribu tahun nanti.
Malam
hari, kau tidur di atas dahan. Kau berusaha menuntaskan pikiran itu. Entropi.
Pilihan-pilihan memunculkan teori. Dan akalmu membuat kesimpulan. Kau terlelap.
“Manusia
membuat pilihan. Manusia menyimpulkan. Kita hanya bisa memberikan bisikan.” kata
cahaya putih. Masih di atas awan.
Cahaya
merah berpaling, pergi.
Bandung,
2 Maret 2017
0 Komentar:
Posting Komentar