Di dunia ini, setiap hal selalu
diatur oleh hukum alam. Alam menciptakan keteraturan agar segalanya mudah
dipahami. Melalui itu, suatu fenomena dapat diprediksi. Apabila tak ada gaya
yang mengangkat suatu benda, benda akan jatuh. Begitu juga fluida yang
alirannya dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Namun, hukum itu tak berlaku
di sini. Kau akan mendapati air mengalir dari bawah ke atas, seolah air terjun
yang terbalik.
Tempat ini ramai dikunjungi
orang. Mereka datang untuk merasakan kesegaran airnya atau sekedar menikmati
pesona yang hanya satu-satunya. Di antaranya adalah pepohonan yang tinggi, tempat
di mana kelelawar pulang ketika fajar menyingsing. Itulah alasan tempat ini
baru diketahui orang. Entah sudah berapa lama ia menyimpan pesonanya untuk
sendiri. Namun, seorang di antara mereka menolak pernyataan itu dengan berkata,
”Aku pernah melihatnya sebelum kalian menemukannya, tapi aku lebih memilih
untuk diam dan tak memberitahukannya kepada siapa pun. Aku memiliki alasan
untuk itu.”
Berjalan mondar-mandir adalah hal
yang ia lakukan ketika mereka menemukannya. Sesekali ia meremas kepalanya
sendiri. Sesekali terdengar brak!
yang keras dari pertemuan tinjunya dengan meja. Sesekali ia menggeram seperti
harimau. ”Teman-teman, ayolah, apa kalian punya ide?” tanyanya kepada dua orang
temannya yang mengelilingi meja.
Keduanya saling pandang. Sesekali
mereka menatap lembar peta raksasa di meja itu. Terdapat beberapa garis pensil
di sana. Garis-garis itu berpotongan di Pulau Jawa.
”Apakah kau benar-benar yakin
soal ini?” tanya salah satu temannya.
”Tentu saja. Aku meyakini
keberadaannya begitu lama dan kini muncul sesuatu yang berlawanan dengan hukum
yang biasanya kita kenal. Apa lagi penyebabnya kalau bukan itu?”
”Itu masih belum terlihat seperti
dunia kuantum.” kata temannya yang lain.
”Memang masih belum. Tapi, kalau
kekuatannya dibangkitkan, apa jadinya dunia ini? Tak seorang pun boleh
menemukannya.”
Hari semakin larut dan tak ada
kesimpulan dari pertemuan mereka. Ini memang masalah yang rumit. Apalagi, ia
pernah mengenal seseorang. Orang itu jauh lebih tua darinya yang baru diwisuda sarjana
seminggu yang lalu. Orang itu juga memiliki keyakinan, obsesi seperti dirinya.
Hanya saja, mereka seperti sebuah koin di mana kedua sisinya tidak akan saling
bertemu.
Kedua temannya telah tidur, namun
dirinya tidak begitu, seolah tak bisa merasakan kantuk, tak sadar bahwa waktu
terus berjalan. Ia masih sibuk mencorat-coret kertasnya. Begitu banyak angka,
grafik, diagram, serta sketsa terlukis di sana. Ketika satu kertas telah penuh,
ia mengambil lagi dari tumpukan di depannya, yang jumlahnya lebih dari dua rim.
Kertas bercoret tintanya semakin
menumpuk. Sesekali ia melirik ke laptopnya, dan ketika itu ia mendapati adanya
panggilan video. Terlonjak, ia segera melepaskan penanya dan beralih pada
panggilan itu.
”Hai, Azka. Kenapa kau terlihat
terkejut seperti itu?” kata pria dalam video itu. Dengan wajah penuh kerut dan
rambut seputih salju itu, tatapannya masih pasti.
”Professor Fadhlan, apa yang Anda
inginkan?” Azka mengerutkan kening.
”Kuharap kau sendiri di sana. Aku
ingin bicara denganmu sebagai sesama ilmuwan. Kita meyakini bahwa segalanya
didasarkan pada sains, bukan? Begitu pula dengan mitos. Mereka nyata, ilmiah,
hanya saja masih memerlukan penjelasan. Dulu seorang dewa turun dan
meninggalkan kekuatan yang sangat besar di bumi.”
Azka lebih terperanjat lagi.
Ekspresinya terbaca dengan jelas meski melalui kamera.
”Jangan terkejut seperti itu,
Azka. Kau hebat bisa menemukannya lebih dulu dariku. Kuharap kau menyambutku
dengan baik besok.”
”Professor, apa Anda telah lupa
bagaimana dampak yang dibawanya? Bagaimana ia menenggelamkan sebuah negeri, menjadikannya
tak bersisa?”
”Atlantis tidak bisa membuat
reaktor seperti yang aku desain. Mereka terlalu ceroboh. Tapi, aku tidak. Semua
telah kupersiapkan dengan matang.”
”Itu memengaruhi pikiran Anda.
Anda bahkan terpengaruh sebelum benar-benar melihatnya. Orang-orang di generasi
awal menemukannya. Pikiran mereka kacau. Mereka menyimpan batu itu cukup lama.
Dari hanya menjadikannya sebagai hiasan, kemudian memujanya, kemudian
menuhankannya. Lahirlah para penyembah berhala.”
”Sudah kubilang, Ka. Aku telah
mempersiapkan semuanya dengan sungguh-sungguh. Jangan berpikir aku sebodoh
mereka. Bayangkan saja apa manfaat yang bisa kita dapat dari kekuatan tak
terbatas itu. Manusia memerlukan inovasi untuk tetap bertahan. Jangan
membuangnya begitu saja ketika kesempatan itu datang.” Ia menghentikan
panggilan itu setelah selesai mengucapkannya.
Ketika ayam pertama berkokok,
Azka belum tidur sedetik pun. Ia hanya membeku di depan mejanya. Ia melirik ke
tumpukan kertas yang telah ia corat-coret, kemudian melihat halaman demi
halaman. Segeralah ia beranjak, membangunkan kedua temannya.
Seperti biasa, mereka bangun
masih dengan kantuk. Mereka meregangkan tangan, kemudian bangkit. Matanya
berkedip dengan lambat.
”Teman-teman, ada yang ingin aku
bahas. Professor Fadhlan akan datang. Kita terlambat. Dia tahu tentang tempat
itu dan dia pasti akan menggalinya.”
”Professor Fadhlan? Si ambisius
itu?” kata salah satu temannya.
”Ya. Aku ingin kalian ...” Azka
pun mengutarakan rencana yang telah ia susun matang semalaman. Kedua temannya
mendengarkan dengan sungguh-sungguh, seolah mendengarkan sang jendral yang
menyusun strategi perang. Ketika jarum jam bergerak sekitar enam puluh derajat,
pembicaraan yang diselingi beberapa sesi tanya jawab itu selesai. Kedua
temannya itu pun keluar, memulai rencana, sementara Azka menuju dapurnya.
Ia memasak air, kemudian
mengambil dua buah cangkir dan meletakkannya di atas nampan. Secendok gula ia
masukkan di masing-masing cangkir itu, kemudian menuangkan air yang telah
matang dan mencelupkan teh padanya. Kembali ke ruang tamu, ia meletakkan nampan
itu di atas meja.
Setelah setengah jam duduk
sendiri di sana, pintu terbuka. Tampak berdiri di sana pria tua berkaca mata
dengan pakaian rapi.
”Masuklah, Professor. Jangan
sungkan-sungkan.” kata Azka.
”Memang tidak.” katanya sambil
melepas kaus kaki dan sepatunya, kemudian melangkahi pintu, duduk di seberang
Azka tanpa izin terlebih dulu.
”Sang dewa yang orang-orang sebut
hanyalah alien yang datang dari planet lain. Mereka meninggalkan baterai dengan
energi yang sangat besar di bumi. Aku masih belum tahu alasannya. Aku yakin kau
juga belum.” Ia kemudian meminum teh hangat di depannya.
”Baterai itu mengandung kekuatan
yang melebihi nuklir. Lihat saja apa yang nuklir akibatkan di Chernobyl,
Hiroshima, dan Nagasaki. Bayangkan apa yang bisa diakibatkannya.”
”Kau selalu melihat sesuatu dari
sisi buruknya. Lihatlah sekarang, nuklir begitu bermanfaat bagi dunia,
membangkitkan listrik dengan jumlah besar tanpa polusi. Batu Alpat bisa
melakukan lebih dari itu.” Ia meletakkan cangkirnya. ”Azmi dan Acep, dua orang
temanmu yang yang selalu setim. Kau juga setim dengan mereka saat ini, bukan?”
”Bagaimana dengan Anda sendiri,
Professor? Orang jenius dan kaya yang memimpin berbagai proyek. Berapa agen
yang Anda sewa? Tiga? Empat?”
”Sepuluh.” kata Professor, kemudian
meminum tehnya lagi. ”Dan semuanya berpengalaman.” lanjutnya.
Azka berhenti meminum tehnya,
meletakkannya kembali di atas nampan. Tangannya yang menggenggam handphone menekan-nekan layar touchscreen itu.
”Aku tidak main-main dalam hal
ini, Ka. Akan ada banyak gangguan bagiku dalam proyek ini dan gangguan paling
besar yang kuprediksi datang darimu, si jenius, tapi malas di kelas.”
”Begitu juga denganku, Professor.
Aku tahu cepat atau lambat berita ini akan menyebar, dan Anda akan
mendengarnya. Aku juga telah menyiapkan rencana, Professor. Kedua temanku itu
sedang menjalankannya.”
”Ya, aku tahu itu. Apa yang kau
rencanakan? Memata-matai proyekku dan menyabotasenya ketika mereka istirahat?
Bagaimanapun, agenku akan menangkap mereka.”
”Sepuluh orang, ya. Aku
benar-benar tak menduga. Kukira Anda akan meremehkan kami, seperti bagaimana
Anda meremehkan orang-orang. Tapi, Anda memasuki rumah ini seorang diri. Apa
Anda meremehkanku?”
”Kau meremehkanku dengan berkata
bahwa aku meremehkanmu. Kita berdua sama-sama tidak bisa ilmu bela diri, Ka.
Sepertinya akan lucu jika kita berdua berkelahi. Aku juga bukanlah pembunuh.
Apa jadinya nanti jika polisi mengira aku adalah orang jahat? Lagipula, kau
terlalu asyik untuk diajak berbincang-bincang.”
Bum! Suara ledakan terdengar dari
kejauhan, menarik pandangan Fadhlan ke arah pintu. Wajahnya terlihat tidak
senang. Tapi, Azka tidak.
”Skak.” kata Azka.
”Meledakkan proyek resmi seperti
itu, kau bisa dianggap teroris. Kalau kau membunuh orangku, aku bisa melaporkanmu
sehingga aku lebih leluasa. Kuda melindungi raja.”
”Aku siap meski harus dianggap
sebagai teroris dan menerima hukuman untuk itu. Tapi, tidak. Aku tidak melukai
satu pun orangmu. Mentri memakan kuda.”
”Pion memakan mentri. Hm... bom
yang ditanam jauh di dalam tanah. Pasti temanmu yang memicunya. Agenku akan
menemukan mereka lebih mudah. Kau kehilangan bidakmu.”
”Aku bergerak lebih awal,
Professor. Beberapa pionku maju lebih dulu.”
Pintu lagi-lagi terbuka. Seorang
pria dengan setelan hitam berdiri di sana. ”Pak, kami telah menangkap dua orang
itu.” kata pria itu.
”Bagus. Bawa mereka ke kantorku.”
kata Professor, kemudian pria itu kembali menutup pintu. ”Memajukan pion-pionmu
membuat pertahananmu lemah. Terlalu banyak celah. Mentri menerobos, skak.”
”Jangan terlalu senang,
Professor. Dan jangan pula berpikir mereka berdua temanku satu-satunya. Aku
memiliki teman lain, dan mereka juga tidak bisa diremehkan. Teman-temanku ahli
dan dapat dipercaya. Kuda memakan mentri.”
”Agen-agenku pun begitu. Bagaimanapun
kau menyerang, aku bisa bertahan. Pion maju.”
”Kita terlalu banyak memajukan
pion hingga mereka tidak bisa maju lagi, Professor. Bagaimanapun, Anda sudah
tua dan cukup pelupa. Sepertinya Anda lupa di mana menaruh handphone Anda. Pion memakan pion.”
Sang Professor meraba saku
celananya. Benar, handphone-nya tidak
ada di sana. ”Itu dilindungi password.
Pion memakan pion.” kata Professor.
”Ya, tapi Anda jarang mengubah password Anda, Professor. Password apa pun itu. Aku pernah menjadi
mahasiswa Anda. Ketika aku mengunjungi kantor Anda, aku tahu bahwa Anda begitu menyayangi
putri Anda. Tapi, dia meninggal ketika masih kecil. Password handphone itu terdiri dari delapan digit. Lima April 1990
adalah tanggal lahirnya dan kemungkinan passwordnya.
Benteng maju, dilindungi kuda.”
Sang Professor tersentak. Tak
sedikit pun senyum tersisa di wajahnya. Ia terdiam beberapa saat, entah merasa
terpojok atau justru teringat pada seseorang yang Azka sebutkan. ”Agenku akan
menyita handphone itu ketika
menangkap mereka. Benteng maju.”
”Ya, aku telah memprediksi hal
itu. Mereka berpengalaman, dan tentu saja tidak ceroboh. Tapi, begitu juga
denganku. Apa Anda tidak ingat soal temanku yang lain? Handphone itu diserahkan pada mereka terlebih dulu untuk diproses
lebih lanjut. Benteng bergerak.”
”Benteng bergerak melindungi
raja.” kata Professor singkat, seolah kehabisan kata.
”Kuda bersiap dalam posisi. Aku
tahu beberapa dokumen penting pasti ada di kantormu. Azmi dan Acep memotretnya
ketika agenmu pergi, lalu mengirim ke temanku.”
”Kamera mini yang kau ciptakan
itu?” Sang professor memberi senyum kecil. ”Tentu saja, aku ingat. Tapi,
sepertinya gerakanmu selama ini tak ada artinya.” Professor Fadhlan mengangkat
tangannya yang selama ini ia sembunyikan di bawah meja.
Azka terperanjat melihat
Professor Fadhlan masih memiliki handphone
lain.
Professor pun mengutak-atik handphone itu. Namun, ketika itu, handphone-nya berdering dan ia segera
mengangkatnya. ”Apa!? Tidak mungkin.” katanya di tengah-tengah pembicaraannya
di handphone. Ia pun beranjak dari
tempat duduknya dan tergesa-gesa keluar dari rumah itu.
Melihat itu, Azka juga bangkit.
Wajahnya dilanda kebingungan. Padahal, Professor hampir menang. Tapi, kenapa
dia bertingkah seperti itu? Jalan cepat, ia mengejarnya.
Di tengah perjalanannya,
seseorang menyeret lengan Azka menuju balik semak-semak. ”Azmi, Acep, apa yang
terjadi? Bagaimana kalian bisa meloloskan diri?” tanyanya begitu menyadari
kedua temannya.
”Azka, kau takkan percaya apa
yang kami lihat.” kata Azmi dengan napas tersengal-sengal. ”Salah satu agennya
menyerang agen lain hingga mereka berjatuhan. Ia kemudian mengambil sebuah
koper hitam dari ruangan itu, kemudian pergi begitu saja. Kami mencoba
membebaskan diri, kemudian kami mengikutinya. Ia memasukkan sesuatu ke dalam
koper itu. Sesuatu yang berkilau.”
”Lalu, dia pergi ke sebuah
lapangan yang luas.” sambung Acep. ”Dan dia ...”
Setibanya di air terjun terbalik,
Professor Fadhlan mendapati kerusakan di mana-mana. Tak hanya itu, air itu kini
mengikuti hukum biasanya, mengalir dari atas ke bawah. Ekspresi tidak senang
menghiasi wajahnya.
Tiba-tiba, sekelompok pria
berseragam mengepung Professor dan orang-orangnya. Ekspresinya lebih buruk dari
sebelumnya melihat mereka semua menodongkan senjata. Ia terpaksa mengangkat
tangannya seraya memejamkan mata.
”Professor, Anda ditahan dengan tuduhan
melakukan penggalian secara ilegal; merusak alam, meledakkannya dengan bom.”
kata pemimpin mereka.
***
Di sebuah lapangan yang luas,
seorang pria dengan setelan dan kaca mata hitam menjinjing sebuah koper hitam
besar. Awalnya, tak jelas apa yang ditujunya. Tapi kemudian, sesuatu yang
awalnya transparan menampakkan wujudnya. Tampak seperti pesawat, tapi desainnya
aneh. Tak seorang pun di bumi mengenalnya. Pria itu masuk ke dalamnya, kemudian
pesawat aneh itu melayang sambil sedikit demi sedikit kembali ke keadaan
transparan.
0 Komentar:
Posting Komentar