Tak pernah kusaksikan
fenomena kota yang begitu berwarna melebihi Akihabara. Warna-warni itu bahkan
tak tertutup oleh efek sepia sang senja. Kota bercahaya ini dihidupkan oleh
lalu lalang manusia yang tak peduli waktu. Kombinasi dinamika dan warna menjadikan
kota Akihabara sebuah mega karya seni tersendiri. Kami berdua menyusuri jalan
kecil, siap menjadi salah satu penyumbang dinamikanya. Sebagai malam terakhir
di Tokyo, belum afdal bila kota yang terkenal hingga penjuru dunia ini tak kami
kunjungi. Tidak ada tujuan luar biasa yang mengiringi perjalanan kami kali ini.
Meski begitu, hatiku tetap tersenyum bersama angin yang berhembus tak berarti. Di
sini, aku bisa menemukannya: “suara pertama dari masa depan”.
Apa yang kita perlukan
ketika tidak tahu arah? Beruntung aku sempat berguru kepada Dora si petualang semasa
kecil. “Peta!” Begitulah katanya. Kami berhenti di depan sebuah toko.
Terpampang karakter Makise Kurisu dengan rambut merah berkibarnya dari novel
dan anime fenomenal Steins Gate pada
selembar kertas dengan warna dominan merah jambu. Negeri ini memang tak
tanggung-tanggung. Bahkan lembaran brosur yang dapat diambil gratis didesain
begitu berseni dan penuh warna. Turis, terutama yang berasal dari luar negeri sepertiku
akan sangat terbantu dengannya. Di dalamnya, tersimpan peta Akihabara yang
memberikan pencerahan akan tujuan kami.
Bila dalam teknologi
Jepang dibilang maju, dalam hal seni, Jepang adalah dunia lain. Negeri ini
menciptakan aliran seninya sendiri. Karakter berwajah imut dengan mata lebar,
rambut warna-warni, dan terkadang bertelinga hewan menjadi ciri khas gambarnya.
Figur-figur ini mengiringi berbagai brosur, poster, hingga sepanduk raksasa.
Lumrah bagi Akihabara yang dikata pusat anime memajang berbagai figur anime di
setiap bangunannya. Melalui anime, aliran seni ini telah merasuki negara-negara
di dunia. Bahkan aku telah mengenalnya sejak kecil melalui anime-anime lawas
seperti Tsubasa dan Dragon Ball. Akibatnya, terbentuklah
sebuah subkultur baru dalam tatanan masyarakat yang disebut otaku.
Keberadaan anime juga
menjadi penopang eksistensi sastra di Jepang. Banyak anime yang tayang di
berbagai belahan bumi diadopsi dari novel dan manga. Dengan pengemasan cerita
yang menarik, manga dan novel-novel Jepang berhasil menarik minat masyarakat
dunia. Tak heran banyak turis luar negeri yang mengunjungi kota ini. Latar
belakang inilah yang menjadi landasan langkah kami menuju Book Off.
Book Off
menjadi koleksi lema baru dalam pustaka otakku setelah kunjungan ke Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI) hari sebelumnya. Dalam rangka implementasi
budaya 3R (reduce, reuse, recycle),
Book Off hadir sebagai tempat penjualan buku-buku bekas. Kami menginjakkan kaki
di lantai terakhir begitu mendapati apa yang kami cari tak ada di lantai-lantai
sebelumnya. Dan di sinilah mereka, novel-novel yang telah lepas dari pemegang
pertamanya berkumpul rapi. Novel ringan yang sudah mendapat nama seperti Sword Art Online hingga yang tak
kuketahui sama sekali dapat ditemukan. Sampul yang memajang karakter khasnya
tetap mulus tanpa cacat seolah barang baru. Perjalanan panjang ini membuktikan
bahwa kebiasaan orang Jepang dalam menjaga barangnya bukanlah mitos belaka.
Berbicara soal 3R,
Akihabara juga menjadi tempat di mana kita bisa mendapatkan barang-barang
elektronik bekas. Toko di kanan-kiri jalanan sempit yang kami lalui pertama
kali memajang berbagai perangkat elektronik layaknya beras kiloan.
Laptop-laptop bekas dijajarkan dalam keranjang seolah pakaian obral. Soal harga,
tak perlu dipertanyakan. Bahkan, komputer mulus dengan layar lebar bisa
didapatkan hanya dengan sepuluh ribu yen, setara dengan satu seperempat juta
rupiah. Memang pantas Akihabara menyandang gelar sebagai pusat elektronik.
Begitu keluar dari Book
Off, kami beranjak menuju tempat berikutnya. Saatnya menemukan titipan temanku.
Ialah action figure Hatsune Miku. Dalam
lingkungan otaku, nama Hatsune Miku
tentu sudah tak asing. Dia adalah vocaloid,
sebuah program komputer yang dapat menyintesis lagu dengan figur seorang gadis
berambut biru. Namanya sendiri secara harfiah berarti “suara pertama dari masa
depan”. Meski hanya program, hologram Miku telah tampil di berbagai konser dan
bahkan mengalahkan jumlah penggemar penyanyi nyata. Sekali lagi, Jepang
memanglah “dunia lain”.
Kami kembali menyusuri
jalan kecil itu. Mbak-mbak berkostum maid
berjajar di sepanjang jalan, tak lupa dengan senyuman demi mempromosikan kafe
mereka. Dengan tingginya penguasaan teknologi, kesejahteraan masyarakat, etika
sosial, serta minimnya masalah, Jepang pantas untuk mengembangkan peradabannya
melalui seni dan hiburan. Namun, seolah terasa ada yang hampa. Banyak kisah di
animenya menggambarkan kehampaan ini: tujuan dan makna hidup. Belajar, bekarja,
hiburan, tujuan apa yang dikejar dari siklus hidup ini? Bagaimanapun, dengan
sadar atau tidaknya akan kehampaan ini, kenyataannya manusia berlalu lalang di
jalanan Akihabara dengan senyuman. Tak ada yang mampu menutupi warnanya.
Akihabara,
Tokyo
11
Januari 2019
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus