Rabu, 12 Agustus 2020

Kembali ke Revolusi 2.0

M. Fahruriza Ridwan/untidar.ac.id


Revolusi industri 4.0 digadang-gadang untuk membawa perubahan besar industri di seluruh dunia. Indonesia, yang masih menjadi bagian dunia, tentu tak ingin ketinggalan langkah dan turut mengarus demi memenuhi tuntutan zaman. Seminar dan pelatihan digelar di seluruh penjuru negeri. Invensi dikembangkan di semua perguruan tinggi. Rasanya, tak mungkin negara seterbuka Indonesia ketinggalan dalam revolusi yang bertitik tolak pada kata kunci “era informasi” ini. Dengan menenteng berbagai macam teknologi yang tentu saja impor, Indonesia turut melangkah mengikuti jejak kaki negara-negara di depannya. Lantas, apa yang salah dengan ini? 

Indonesia memang selalu mengikuti perkembangan zaman dimulai dari revolusi industri di Inggris hingga kini revolusi 4.0. Namun, sejatinya Indonesia tak pernah khatam bahkan sejak revolusi pertamanya. Biarpun telah menggunakan mesin dalam proses produksinya, mesin yang dipakai adalah hasil ciptaan negara luar. Dalam revolusi kedua, di mana diterapkan produksi skala besar dan penggunaan energi listrik, lagi-lagi Indonesia mengimpor mesin. Kata mengikuti masih terlalu tepat untuk dipakai oleh Indonesia.

Kenyataan bahwa Indonesia tak bernah benar-benar berevolusi dalam dunia Industri sebenarnya masalah kecil. Toh sedari awal industri memang digerakkan oleh orang-orang barat yang harus hidup di tanah yang tak cukup subur. Mereka yang harus melewati musim dingin diwajibkan memutar otak untuk merancang teknologi demi bertahan hidup. Teknologi industri sudah di tangan mereka. Masalah terbesar adalah bahwa Indonesia bahkan tak pernah khatam revolusi hijau.

Di masa lalu, orang-orang barat selalu bermimpi menempati tanah surga di mana rerumputan tumbuh sepanjang tahun. Bahkan setelah kejatuhan Konstantinopel, mereka rela melalangbuana menaklukkan lautan demi menemukan surga ini. Surga yang juga menjadi sumber rempah-rempah ini tak lain adalah Nusantara, yang saat ini sebagian besar wilayahnya menjadi Negara Indonesia. Potensi terbesar negeri ini adalah posisi geografis yang menjadikannya beriklim tropis. Hal ini menjadikan berbagai macam komoditas pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang tak mungkin ditemukan di wilayah lain dapat tumbuh di Indonesia. Potensi ini tak cukup digali dan Indonesia malah larut dalam menyemarakkan revolusi yang bukan bidangnya. Sudah saatnya kita berhenti menari mengikuti genderang yang dimainkan orang lain dan mulai mencanangkan tujuan sendiri. Pertanian menjadi sektor yang menjanjikan untuk dijadikan titik tolak revolusi demi menopang masa depan bangsa.

Pangan sebagai kebutuhan primer manusia akan selalu dibutuhkan hingga akhir zaman. Terbukti semasa gencar-gencarnya isu lockdown, orang-orang berebut pangan hingga menguras supermarket. Apabila dihiperbolakan, ketika mendekati akhir zaman, saat dunia kehabisan energi untuk menopang teknologi, kita takkan butuh hiburan dan kemewahan, tetapi tetap butuh pangan. Karir bergaji tinggi seperti artis, influencer, pegawai minyak, takkan lagi dubutuhkan. Dunia hanya akan mengemis pada petani. Indonesia yang merupakan negara agraris tentu berpotensi merajai dunia.

Demi menciptakan masa depan bagi sektor pertanian, kita perlu menilik kembali buah manis yang dihasilkan selama revolusi hijau. Di Indonesia, revolusi hijau yang membawa perubahan fundamental bagi pertanian digerakkan oleh pemerintahan Orde Baru. Berbagai program dicanangkan demi menopang revolusi ini. Pembangunan sektor pertanian dilakukan di seluruh penjuru negeri. Alhasil, Indonesia yang awalnya mengimpor beras menjadi negara swasembada beras bahkan mengekspornya ke India. Namun, tentunya revolusi hijau memiliki kelemahan karena tak mempu menjadikan Indonesia swasembada pangan secara tetap. Revolusi hijau berakhir surut, tidak seperti revolusi industri yang naik tingkat. Di sinilah pentingnya menyongsong revolusi hijau 2.0.

Perlu dilakukan perubahan besar dalam dunia pertanian mulai dari daerah pelosok, pertanian kota, teknologi pertanian, agroindustri, hingga distribusi hasil pertanian. Revolusi hijau yang lalu tak sempat menjangkau petani-petani kecil dengan lahan kurang dari setengah hektar yang notabenenya hidup di daerah pelosok. Akibatnya, petani-petani kecil tak terbiasa dengan teknik dan teknologi pertanian. Patani di daerah Waduk Jatiluhur Karawang misalnya.

Ketika saya berkunjung ke daerah pelosok Karawang tersebut, petani-petani di sana masih memiliki pemikiran primitif seperti semakin banyak tanaman yang ditanam, semakin besar pula produktivitasnya. Padahal, dalam teori pertanian, terdapat jarak tanam yang optimal di mana produktivitas lahan menjadi maksimal. Demikian halnya dengan jumlah pupuk yang digunakan. Tak hanya pemikiran yang hanya berdasar asumsi, secara praktik pun mereka belum terbiasa dengan teknologi pertanian. Tak pernah sekali pun mereka menggunakan plastik mulsa yang sebenarnya sudah umum digunakan dalam pertanian.

Penyuluhan yang tidak menjangkau daerah pelosok seperti ini menjadi salah satu penyebab ketidakmajuan pertanian di sana. Mereka akhirnya memilih untuk menggunakan cara bertani secara turun temurun. Becermin dari revolusi hijau masa Orde Baru, diperlukan sumber daya manusia unggul yang siap terjun ke lapangan untuk memajukan pertanian pelosok. Era tersebut dapat menghasilkan sarjana-sarjana pertanian demi menunjang tujuan ini. Sayangnya, sarjana pertanian saat ini lebih memilih lari menjadi pegawai bank.

Revolusi hijau 2.0 juga mencakup perubahan mental para sarjananya. Penentuan tujuan yang jelas dalam pengembangan dan penelitian pertanian akan menuntun para sarjana ke jalan yang benar. Tak sekadar kecerdasan, kemamuan dan keberanian untuk bergerak para sarjana pertanian penting untuk menggencarkan perubahan fundamental pertanian Indonesia. Indonesia tak pernah kekurangan orang. Integrasi dan orientasilah yang kurang. Ketiadaan integrasi akan berakibat pada penelitian berulang yang hanya menelan biaya. Orientasi yang tak jelas membuat dosen sekadar mengejar gelar dan mahasiswa mengejar kelulusan.

Bergeser ke pertanian kota, urban farming menjadi topik yang menarik untuk terus dikaji dan dikembangkan. Badan Ketahanan Pangan pun telah merintis program Pekarangan Pangan Lestari (P2L). Program ini bertujuan untuk mengajak masyarakat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk ditanami beragam tanaman demi terpenuhinya kebutuhan pangan keluarga. Ini adalah ide yang brilian. Tidak mustahil di negeri yang katanya kayu saja bila dilempar sembarangan akan tumbuh menjadi pohon ini untuk mengimplementasikan hal tersebut. Tentu saja, dalam revolusi, program ini harus digencarkan di seluruh penjuru negeri.

Kementerian Pertanian telah memberikan contoh P2L melalui pekarangan Toko Tani Indonesia Center (TTIC) Jakarta. Baru-baru ini, pekarangan TTIC telah digarap dengan apik dan mampu menghasilkan komoditas sayuran segar. Bagaimana bila tak hanya TTIC, melainkan taman-taman kota juga ditata menjadi urban farming? Selanjutnya, di trotoar, daripada dibiarkan tertutup semen, alangkah lebih baik bila disediakan sederet tanah untuk ditanami sayur-sayuran. Pegawai kebersihan bisa diserahi tugas memelihara sayur-sayuran ini dan mereka pula yang akan menikmati hasilnya. Jadi, selain mendapatkan gaji yang tak seberapa, pegawai kebersihan juga dapat mengambil untung dari sayur-sayuran ini.

Bila setiap meternya wilayah Indonesia ditutupi oleh tanaman hijau yang tertata rapi, Indonesia bisa memiliki trademark sendiri, bukan saja sebagai daerah agrowisata, melainkan negara agrowisata. Bali bisa menjadi sampel pesona agrowisata yang mampu menarik turis asing di samping pantainya. Inilah pentingnya menggali dan memamerkan potensi pertanian Indonesia. Memang tak salah mengikuti perkembangan zaman membangun revolusi industri 4.0. Namun, Indonesia perlu memiliki tujuan sendiri yang harus dikejar dengan memanfaatkan potensinya agar tak terus menerus dipermainkan negara orang. Revolusi hijau perlu dikhatamkan.

Sumber gambar: M. Fahruriza Ridwan, untidar.ac.id

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com