Jumat, 12 April 2019

Kisah Perjalanan - Istana Sampah


Detik tetap berjalan tanpa menoleransi kepentingan kami pagi itu. Udara dingin merasuk membekukan hidung hingga pangkalnya. Di bawah sana, bebek mengapung menikmati ketidakpeduliannya atas waktu. Di Minato, aliran tanpa pengotor itu terhubung langsung dengan laut. Jauh di sana, laut yang tenang bersanding serasi dengan suasana perkotaan yang damai. Kami menuruni tangga, meninggalkan kenikmatan lanskap penuh harmoni itu. Cerobong tanpa asap menjulang tinggi ke langit ditemani pabrik yang beraktivitas tanpa suara. Inilah tempat tujuan kami: istana para sampah.

Minato Incineration Plant merupakan satu dari 21 insinerator di Tokyo, istana para sampah. Di antara empat kasta sampah di Tokyo, hanya sampah terbakar (combustible waste) yang tinggal di istana ini. Setiap hari, sampah yang telah dikumpulkan masyarakat Minato diangkut ke tempat ini. Seperti halnya kelahiran manusia yang selalu diimbangi dengan kematian, kedatangan sampah pun diimbangi dengan kepergian. Realitas ini begitu berbeda dari tempat pembuangan akhir (TPA) yang kujumpai di Bandung di mana hanya ada kedatangan tanpa kepergian. Sampah menua di sana, abadi.

Jepang bukanlah masyarakat yang berkompromi dengan sampah. Agar dapat hidup bersama masyarakat, sampah pun harus menunjukkan seberapa besar dirinya berguna. Kejam memang, tidak seperti negeriku yang begitu baik hati hingga membiarkan sampah hidup bebas bersama masyarakat tanpa melakukan apa pun. Minato Incineration Plant menjadi tempat para sampah untuk mengembangkan dirinya, menjadikan dirinya berguna.

Anggap saja Minato Incineration Plant sebagai sekolah berbasis semimiliter yang mendidik para sampah. Sebelum kelulusan, terdapat tiga kelas yang harus dilalui. Dari truk pengangkut sampah, mereka memasuki kelas pertama, waste bunker. Di dalam ruangan besar berkedalaman lima meter, sampah dikumpulkan bersama. Dengan penjepit bernama waste crane, sampah-sampah dalam waste bunker diangkat dan dikirim ke kelas selanjutnya, insinerator. Setelah dibakar hingga temperatur 800oC, jati diri sampah pun berubah. Mereka menjadi abu. Abu panas dimasukkan ke kelas selanjutnya, ash conveyor di mana mereka didinginkan dalam air, kemudian berakhir ditampung dalam ash bunker. Di sini, sampah telah dewasa dan siap berperan dalam masyarakat. Beberapa abu digunakan untuk membuat semen, ada yang dicairkan menjadi slag agar dapat bermanfaat lebih, ada pula yang dikirim ke landfill untuk membentuk pulau buatan. Logika umum menyatakan bahwa pembakaran akan menghasilkan asap. Di Tokyo, asap ini tak bisa dibiarkan hidup begitu saja. Sebelum keluar melalui cerobong, asap dengan kandungan dioksin, debu, raksa, asam klorida, dan sulfur oksidanya mengalami berbagai proses fisik dan kimia yang lebih panjang daripada proses pengolahan sampah itu sendiri. Gas sisa itu dikeluarkan tanpa mengakibatkan polusi yang mengganggu masyarakat.

Landfill berada tak jauh dari tempatku berdiri. Tidak seperti di negeriku yang identik dengan gunung sampah, landfill Tokyo tak menunjukkan jati dirinya sebagai tumpukan tak berguna. Kreativitas masyarakat Jepang mengubah tumpukan sampah itu menjadi pulau buatan. Di sini, kasta sampah kedua dan ketiga, yaitu sampah tak terbakar (incombustible waste) dan sampah besar (large-sized waste) banyak berperan. Setelah mengalami pemisahan dalam Incombustible Waste Processing Center dan Large-sized Waste Pulverization Processing Facility, logam yang didapatkan dari sampah-sampah ini dikumpulkan dan dapat digunakan kembali, sementara sisanya dipadatkan menjadi balok-balok. Balok-balok ini ditumpuk di atas pondasi landfill yang tergenang laut. Tumpukan yang semakin tinggi dan meluas kemudian ditutup dengan batu. Begitulah legenda terjadinya Odaiba, pulau buatan Tokyo.

Kasta sampah terakhir adalah sampah daur ulang (resource waste) yang terdiri dari sampah-sampah plastik, botol, dan kertas. Setiap kota di Tokyo memiliki pemrosesan yang bervariasi. Bagaimanapun, keluaran dari proses daur ulang sampah adalah barang yang berguna.

Salah satu prinsip Jepang, recycle, tidak hanya menjadi konsep dan wacana belaka. Abu, pulau buatan, logam-logam, dan barang-barang daur ulang menjadi bukti implementasinya. Bahkan, recycle sendiri hanyalah satu prinsip terakhir. Dua prinsip yang mendahuluinya adalah reduce (mengurangi) dan reuse (menggunakan kembali). Ketiga prinsip itu kerap disebut 3R. Sebelum memasuki tempat sampah, perlu dipertanyakan apakah sampah itu benar-benar tidak bisa dipakai kembali. Bahkan, sebelum menggunakan barang yang berpotensi menjadi sampah, perlu dipertanyakan apakah ada barang lain yang bisa digunakan. Begitulah prinsip 3R mendarah daging dalam masyarakat.

Matahari menunjukkan teriknya yang tak terasa, mengingatkan bahwa sudah saatnya kami beranjak dari istana ini. Tampak di seberang sana anak-anak bertopi kuning berjalan bersama guru mereka. Implementasi konsep tak bisa berjalan tanpa adanya sosialisasi. Jepang menurunkan konsep ini kepada generasi penerus sejak masih kecil. Selain pembudayaan oleh orang tua, jenjang sekolah sejak TK pun mengajarkan etika mengenai sampah. Tak kusangka, bahkan anak-anak berwajah lucu dan lugu seperti mereka telah mengemban nilai yang begitu penting.

Kami kembali menyeberangi jembatan. Tidak adanya satu pun plastik yang berlayar membuat pemandangan bebek berenang kala itu terasa mengharukan. Seperti halnya masyarakat yang selalu taat aturan, sampah pun tahu diri. Bila bukan karena angin yang usil, sampah selalu berada di tempatnya. Memang sulit bila harus seratus persen tanpa sampah, tetapi selama perjalanan kami, sampah yang keluar dari zonanya bisa dihitung dengan jari satu tangan. Tokyo telah menjadi gambaran kota yang berdamai dengan alam. Masyarakat tanpa basa basi dan omongan panjang menunjukkan jati dirinya sebagai khalifah bumi. Bebek-bebek itu menjadi bukti harmoninya.

Tokyo, 10 Januari 2019

0 Komentar:

Posting Komentar

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com