Langit malam Tokyo sama hitamnya dengan langit malam yang kulihat di Bandung. Seketika angin bertiup membisikkan kemungkinan mati membeku di pinggiran jalan. Berada bebas di luar sana tengah malam sudah seperti terkunci di dalam kulkas bertemperatur di bawah empat derajat. Namun, Tuhan berkehendak lain. Kami dibiarkan hidup dalam naungan penginapan bertemperatur tropis. Seseruput kopi terasa begitu nikmat. Tak terpikir bahwa kami telah berada di tempat yang menjadi pondasi “pohon langit”, menara Skytree. Selamat datang di Sumida. Cerita memang telah bermula, tetapi mulai dari sini, bab baru dibuka.
Paginya kami kembali mengunjungi sang pohon langit yang sudah menjadi latar belakang foto pertamaku di Tokyo malam itu. Tak terbayang bahwa menara tertinggi di dunia itu tadinya hanyalah tumpukan baja, yang dulunya lagi hanyalah bijih yang terkubur di dalam tanah. Seolah-olah manusia telah membangkitkan monster yang tersegel bumi jutaan tahun lamanya. Sang monster memang telah bangkit dan berdiri gagah 634 meter tingginya, tetapi dia tetap tunduk di bawah kekhalifahan manusia dan menjadi saksi bisu evolusi mereka.
Rumornya, kami bisa melihat pemandangan indah gambaran penuh Tokyo dari atas sana. Namun, keterbatasan dana memaksa kami untuk sekadar menumpang lewat. Lampu berbentuk manusia menyala merah, mengisyaratkan kami untuk berhenti. Tak banyak kendaraan yang lewat di depan kami, tetapi kami tetap menunggu lampu itu berganti hijau. Sempat terpikir kenapa orang-orang tidak menyeberang begitu saja seperti yang biasa kami lakukan di tanah air. Bahkan di tengah malam yang kosong, dingin, dan sunyi pun nyala merah lampu itu tetap membuat langkah kami terhenti. Mungkin karena negeri ini sudah lebih dewasa.
Suara gagak menyambut kedatangan kami, anggap saja sedang meneriakkan, “Selamat datang di Universitas Tokyo!” Pohon-pohon berjajar indah. Desir angin kembali menyapaku, kali ini mengingatkanku akan salah satu teori warna, “analog”. Langit jingga cerah, bangunan dari tumpukan batu bata, pohon berbatang coklat dan dedaunan hijau menyusun skema warna fotografi yang serasi. Sampah yang terbungkus rapi dalam plastik kuning pun masih terlihat pantas. Buntelan sampah itu bak pemeran figuran yang kami lewatkan begitu saja tanpa kami sadari legenda hebat yang bersembunyi di baliknya.
Mitosnya, burung gagak adalah pembawa bencana. Mitos itu tak sepenuhnya salah. Bagi masyarakat Jepang, keberadaan gagak bisa mengganggu karena mereka akan mengacak-acak sampah dari kantungnya. Bagi gagak yang penglihatannya jauh lebih baik daripada manusia, menemukan sejumput sisa makanan dalam kantung plastik adalah hal yang mudah. Namun, akal dan pengalaman manusia mampu mengalahkan penglihatan gagak. Kantung sampah dengan warna kuning tertentu diciptakan untuk mengeblok penglihatan gagak sehingga mereka akan melewatkannya begitu saja. Kantung sampah ini memang sering dilewatkan layaknya tokoh figuran. Namun, keberadaannya menjadi bukti salah satu lompatan manusia, khususnya Jepang. Bila gagak adalah dinding masalah, melompatinya artinya berevolusi.
Gagak itu mengingatkanku akan kondisi tempat sampah di negeriku yang cenderung acak-acakan. Masalah yang sama tetapi dengan musuh berbeda. Bila Jepang menghadapi gagak, tempat asalku menghadapi makhluk imut yang disebut kucing. Biarpun gagak adalah hewan menakutkan sementara kucing menggemaskan, keduanya memiliki insting untuk mencari makan. Gagak memanfaatkan ketajaman penglihatannya, sedangkan kucing memanfaatkan ketajaman indra penciumannya. Sayangnya, negeriku belum mampu melewati dinding masalah itu. Mungkin karena negeriku belum dewasa, lompatan kucing masih lebih tinggi hingga bahkan mampu mencapai tempat sampah yang tingginya berkali lipat tubuhnya.
Salah seorang guru pernah berkata bahwa manusia belajar dari masalah dan pengalaman, bukan dari fasilitas. Seseorang dari Kedutaan Besar Republik Indonesia mengingatkanku kembali akan pesan itu. Ketika kami memintanya menceritakan pengelolaan sampah di Tokyo, beliau bercerita mengenai Jepang sebelum 1970. Penyakit aneh yang kemudian disebut penyakit minamata telah merenggut ribuan jiwa. Selidik demi selidik, sebuah korporasi dinyatakan sebagai tersangka dengan tuduhan pelepasan metil merkuri ke laut. Ikan memakan metil merkuri dan masyarakat memakan ikan. Rantai makanan ini berubah menjadi rantai penyakit. Sidang antara masyarakat melawan korporasi akhirnya dimenangkan oleh masyarakat. Insiden ini memang menjadi salah satu dari empat mimpi buruk Jepang, tetapi sekaligus menjadi titik balik masyarakat dalam menjaga lingkungan dan kesehatan. Sistem dibangun, dinding minamata berhasil dilompati, evolusi bergerak satu langkah.
Evolusi sendiri dapat diartikan sebagai perubahan dalam jangka waktu yang lama. Sebagai organisme, manusia telah mencapai bentuk yang paling sempurna. Namun, tidak seperti hewan yang hanya memiliki komponen “wujud” dan “nafsu”, manusia juga memiliki komponen malaikat dan iblis yang disebut sebagai “akal” dan “hasrat”. Keseluruhan komponen itu membuat manusia bisa berevolusi melebihi level organisme. Seperti halnya organisme uniseluler yang berkembang menjadi multiseluler, manusia yang merupakan individu berevolusi menjadi suku. Suku berevolusi menjadi bangsa, bangsa berevolusi menjadi negara, dan negara terus berevolusi untuk mencapai bentuk paling stabilnya. Bila akal adalah kaki dan hasrat adalah kekuatan, evolusi suatu negara ditentukan oleh seberapa besar hasrat milik manusia yang menjadi bagiannya.
Malam itu kami menuju Shibuya, bermaksud mencari kedai ramen berlabel halal. Berbekal lembar peta jalur kereta bawah tanah dengan huruf kana yang telah ditransliterasikan, kami menuju stasiun. Tanpa perintah mengantri, orang-orang membentuk barisan antrian dengan sendirinya. Sebelum masuk, mereka mempersilahkan penumpang untuk keluar. Di dalam kereta terasa hangat. Bila beruntung, kami bisa mendapatkan tempat duduk. Poster-poster tertempel rapi di dinding atas kereta. Setibanya di stasiun Shibuya, kami naik ke permukaan dengan eskalator. Aku sudah terbiasa dengan kebiasaan masyarakat untuk berada di sisi kiri eskalator bila memilih diam dan bergeser ke sisi kanan bila ingin berjalan. Mereka yang terburu-buru tidak akan terhambat. GPS menuntun kami menuju daerah yang cenderung lebih sepi. Namun, seterpencil apa pun, tempat itu tetap elegan. Dilihat dari sisi mana pun, Tokyo adalah kota yang ideal. Interaksi antara teknologi, kebiasaan sosial, dan profesionalisme melahirkan sistem yang membuat Jepang menjadi negara yang stabil. Jepang telah mencapai tahap evolusi yang jauh, jauh lebih dewasa daripada negeriku. Ya, negeriku memang masih anak-anak.
Keesokan paginya, aku menjadi lebih bersemangat. Dinginnya udara lingkungan distabilkan dengan pemanas ruangan hasil olah pikir manusia. Seperti hari sebelumnya, kami melalui trotoar Sumida yang bahkan lebih lebar daripada jalan rayanya. Kulihat langit seperti kali pertama aku berada di sana. Apa paerasaanku saja, atau langitnya memang lebih biru daripada langit di Bandung sana?
Tokyo, 9 Januari 2019
0 Komentar:
Posting Komentar