Sabtu, 15 Oktober 2016

Fakta

Aku tak melihat adanya kelemahan dalam diriku. Tampan rupawan, pemusik luar biasa, kaya raya, pandai merayu, baik hati, dermawan, rajin menabung, dan tidak sombong, itulah aku. Sebutkan satu hal luar biasa yang terlintas di pikiranmu. Lamborghini? Ada enam tercecer di rumahku. Komputer tablet? Dulu ada sepuluh dan semua kusumbangkan ke anak yatim piyatu. Sekarang masih ada beberapa dan biasa kugunakan sebagai pengganti telenan kalau ibuku mau memasak. Rumah mewah? Aku sudah ganti lima kali. Pacar cantik? Sudah dua belas yang kuputuskan. Tak ada yang kurang, bukan?
Tidak seperti orang di ujung sana itu, yang pernah pergi ke pameran seni dan mengagumi sebuah lukisan simpanse. Ternyata, senimannya datang dan berkata bahwa itu bukan lukisan, melainkan cermin. Bahkan seorang seniman abstrak memandang wajahnya dan menggelengkan kepala seraya berkata, ”Ini baru seni.”
Tidak pula seperti orang di ujung satunya, yang setiap harinya memainkan suara yang ia anggap seni. Padahal seorang anak menangis ketakutan mendengarnya hingga mengadu pada ayahnya. Ia sampai dikejar massa ketika mengamen jam sebelas malam. Seorang ahli bahkan mengelompokkannya ke dalam pencemar suara.
Kau tahu? Aku tidak sedang menyombongkan diri, melainkan menceritakan fakta seperti bagaimana dosen mengajar kalkulus.
Yang paling harus kau kenal adalah orang yang duduk di kursi itu. Di sampingnya bertumpuk buku-buku kimia, kalkulus, aljabar, geometri, serta pemrograman. Wajah menjengkelkannya ia sembunyikan di belakang buku tebal berjudul Principle of Physic karangan Halliday itu.
Aku pernah mengutuk nama yang pernah melemparkan huruf E tepat di wajahku itu. Namun, dengan negosiasi berbau jutaan rupiah pada dosenku, setidaknya aku mampu mengubahnya menjadi B. Tapi, untuk apa juga huruf-huruf itu kalau aku sudah punya segalanya? Entahlah. Sepertinya aku hanya ingin bersenang-senang.
Sungguh, aku ingin sekali-sekali menampar wajah itu. Di antara semua orang, hanya dia yang berani menantang si tampan rupawan ini. Dalam sebuah perdebatan, aku seharusnya menang kalau dia tidak mengeluarkan jurus kecurangannya itu. Dia masih beruntung aku baik hati. Kalau tidak, habislah dia. Coba kita kenang waktu itu.
Seperti biasa, dosen membosankan ini sedang menceritakan dongeng pengantar tidur untuk semua mahasiswanya. Hampir semua.
”Apakah ada pertanyaan?” kata dosen itu kemudian.
Beberapa kepala kemudian terangkat, seolah ada kode rahasia yang mampu membuatnya terjadi. ”Yes, hari ini selesai lebih cepat!” Aku yakin itu yang terlintas di hati mereka, seperti diriku.
”Kalau tidak ada, berarti kita kuis. Masukkan buku kalian!” kata dosen itu dengan tatapan yang tidak enak.
Beberapa hampir pingsan karena kata-kata itu. Kebanyakan hanya membentuk huruf O lebar dengan bibir mereka. Tapi, aku tidak begitu. Begitu pula si menyebalkan itu. Kujalani kuis ini dengan santai, tanpa kepanikan, dan penuh kepastian. Ya, penuh kepastian bahwa banyak bagian kosong di kertas jawabanku. Aku pasti lulus. Dua jalan bisa kutempuh untuk mencapainya. Pertama, negosiasi dengan dosen. Kedua, jika yang pertama tidak memungkinkan, sewa seorang hacker untuk mengutak-atik nilai di server kampus. Yah, segalanya begitu mudah, bukan?
Seperti biasa, setelah selesai, mereka saling tanya tentang soal kuis itu, dan kuceritakan pada mereka tentang kehebatanku. Bagaimana aku bisa menyelesaikan kuis itu hanya dalam beberapa menit membuat mereka kagum, terutama para fansku. Apalagi itu kuceritakan dengan penuh gaya ketampananku.
Tapi, dia tidak. Itulah pertama kalinya ia bersikap berani padaku. Kedua tangannya yang selemah tangan bayi mendorongku ke tembok. ”Aku sudah muak denganmu!” katanya.
Kuperhatikan sekeliling, mereka mengerubungi kami, melingkar seolah hendak menyaksikan atraksi dari kami. ”Muak? Maksudmu iri? Ha... ha... ha...” Tentunya tawaku diikuti tawa para fansku.
”Iri dengan orang sepertimu? Jangan harap!”
”Kau hanya iri. Akui saja itu.”
”Kau curang. Kau memanipulasi segalanya. Kau seperti rubah. Kau tahu hewan apa lagi yang selalu curang?”
Semua diam, tak ada jawaban.
”Ya kau itu. Ha... ha... ha...” Tawanya meledak, tak ada sambutan.
Krik... krik...
”Ha... ha...” Tawanya mulai canggung.
Krik... krik...
Tawanya mereda. ”Hei, kau, anak biologi! Apa yang kau bawa itu?” Ia mengarahkan telunjuknya ke seorang mahasiswa biologi yang baru lewat, melihatnya membawa kotak berisi jangkrik.
Pandangannya pun tertarik. Setiap pasang mata menuju kepadanya. ”E... maksudmu ini?” Ia menunjukkan kotak yang dibawanya. ”Aku membawa jangkrik untuk percobaan. Aku ingin melihat, apa yang terjadi jika aku menaruh jangkrik ke dalam akuarium berisi ikan arwana. Ternyata, ikan itu memakannya. Hebat bukan?”
”E... ya, hebat. Percobaan yang luar biasa. Sangat jenius. Pergilah.” Pandangannya menajam kembali, tertuju padaku. ”Kau takkan bisa apa-apa tanpa uangmu, Son. Tapi, aku bisa melakukan sesuatu dengan kejeniusanku. Aku bisa meretas nomer rekeningmu dan menyedot semua uang elektronikmu.”
”Aku bisa menyedotnya kembali. Aku masih punya banyak cara.”
”Bagaimana kau akan membayar seorang hacker jika uangmu saja sudah tidak ada?” Ia pun berpaling, kemudian melangkah menjauh.
Sudahlah. ”Ayo, aku traktir kalian semua!” seruku pada mereka yang masih berkerumun.
”Ye...” Sorak kegirangan selalu ramai ketika aku mengucapkannya.
Begitulah kisah perdebatan singkat kami. Awal dari semua ini. Awal dari gertakan yang hingga aku bosan mendengarnya. Aku mulai berpikir dia tidak benar-benar bisa melakukannya. Yah, sudahlah. Tidak perlu memedulikannya.
Sekarang, biar kuceritakan mengenai salah satu gadis hits di kampus. Ia bernama Ravia. Ia kaya, elit, tapi belum mencapai levelku. Saat ini statusnya adalah salah satu dari dua belas gadis cantik yang kuputuskan. Tapi, dia memiliki peran penting dalam kisah ini. Yah, cukup penting.
”Kita putus.” kata pacar kesepuluhku lewat handphone.
”Oke, baiklah. Dah sayang.” Kututup handphone-ku, kemudian kulanjutkan menyedot softdrink di hadapanku serta menyantap ayam yang masih tersisa setengah di piringku. ”Baik. Ayo, ceritakan padaku tentang gadis itu, Will.” kataku pada teman makan siangku hari ini yang duduk berhadapan denganku. Ia biasa dipanggil Will, sementara nama panjangnya Wilyono.
Mulut yang menempel di wajah konyolnya menganga mengambil ancang-ancang sebelum membual seperti biasa. ”Aku sedang makan di warteg bersama temanku, Rio. Dia bilang dia mengenal seseorang dan kebetulan seseorang itu tiba-tiba datang. Ia memiliki kenalan dan mengenalkannya padaku. Orang itu pernah bekerja sebagai sales yang menjual sabun-sabun. Dia bercerita, ’Selamat siang, Pak. Kami menawarkan produk istimewa kami. Ini dia, Sabun Ampuh. Sumpah, ini bisa membersihkan diri Anda lebih dari sabun lain.’ Bapak itu membalas, ’Mana buktinya?’ Orang itu kemudian berkata, ‘Sumpah Pak, biar saya buktikan. Bapak punya toilet?’ Bapak itu mengangguk dan menuntunnya ke toilet. Kemudian dia menuangkan cairan hijau baunya ke kloset. ’Lihat, Pak. Kloset saja bisa bersih pakai ini, apalagi badan Bapak.’ Kemudian Bapak itu berkata, ’Wah, hebat sekali. Saya beli sepuluh.’”
”Hei, hei. Fokus, Will. Langsung saja ke inti cerita.” kataku tidak sabar.
”Baiklah. Sales itu lulusan SMA yang tidak diterima kuliah mana pun di tahun pertama, tapi sekarang menjadi senior kita. Dia punya adik kelas di SMA-nya, yang sekarang menjadi adik tingkat kita. Dia cantik, seksi, punya banyak mantan, dan kaya. Mereka pernah berpacaran, tapi kemudian putus dan perempuan itu berpacaran dengan orang lain. Tapi, dia memutuskannya karena alasan yang aneh. Dia single, terkenal di berbagai media sosial, dan banyak yang menyukainya, tapi dia sering menolak orang. Kau seharusnya membuka instagram-mu sekali-sekali.”
Cerita itu menarik, juga menantang. Apalagi ketika kubuka instagramku, dan benar apa yang dikatakan Will. Kuputuskan membuat strategi bergaya rayuan mautku seperti biasa. Dimualai dari chatting, kami pun membuat jadwal pertemuan. Namanya Ravia. Setelah pertemuan pertama, dia mengajakku pergi ke rumahnya.
”Anjing!” seru Ravia memanggil. Binatang berkaki empat di depan sana itu pun melangkah dengan lucu mendatangi kami berdua.
”Anjing? Itukah namanya?” Aku tentunya heran dengan itu.
”Ya. Apakah masalah?”
”Tidak juga. Maksudku, ya, ya. Tentu saja masalah. Dia kucing. Kenapa kau memberinya nama Anjing?”
Kucing berbulu tebal itu benar-banar menikmati ketika Ravia memberi belaian di kepala hingga punggungnya. Ravia mengangkatnya seolah menggendong bayi, masih mengelusnya. ”Dia suka dipanggil begitu sejak masih kecil. Ya kan, sayang.” Ia menatap kucingnya penuh perhatian.
Dasar kucing genit.
Itu memang pertemuan yang aneh. Tapi aku mulai terbiasa dengannya, dengan kehidupannya. Hari-hariku dengannya kujalani dengan indah. Bagiku, di antara yang lainnya, dialah yang mampu mengalahkan cahaya sang surya. Namun, itu mulai mereda ketika Will menghubungiku lewat handphone dan berkata, ”Bung, ini gawat!”
Aku tak menghiraukannya ketika ia mengatakan itu untuk pertama kalinya. Aku lebih memilih untuk hanyut dalam dialog tanpa pandang dengannya yang jauh di sana. Keasyikan ini berlangsung sejak pagi. Dering telponku membuatku tersenyum di pagi hari. Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi. Aku di sini dan kau di sana. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu, menunggu saat kita akan berjumpa. Ah, kenapa aku malah bernyanyi?
Tapi, di satu waktu, Will mengucapkan nama terkutuk dalam selingan percakapan kami. ”Apa!?” seruku, kemudian mengajaknya bertemu di kafe seperti biasa.
Seperti biasa, mulutnya menganga berancang-ancang menyemprotkan bualannya. ”Aku bertemu dengan teman dari temanku yang memang sedang bersama temanku. ’Saat itu aku memancing di sungai bersama adikku.’ begitu kata temanku, namun temannya berkata, ’Ya iya lah, masa mancing di kolam.’ Kemudian teman dari temanku yang juga merupakan teman dari teman dari temanku berkata, ’Mancing di kolam juga bisa, kali.’ Lalu temanku berkata, ’mungkin yang dia maksud kolam renang.’ Jadi, kau tahu, teman dari temanku adalah temanku juga dan mereka ada dua. Maksudku, temanku ditambah temannya dan kemudian temannya lagi, jumlahnya jadi tiga. Ini hanya semacam matematika SD.”
Aku menurunkan kelopak mataku.
”Oh iya, inti cerita. Sungai. Eh, bukan sungai. Mereka punya teman dan menceritakannya pada temannya yang kemudian menceritakan padaku, dan karena ia tahu bahwa kau temanku, kemudian aku diberi tahu sesuatu. Di kolam. Di kolam, ternyata ada air! Eh bukan, maksudku yang lain. Apa itu? Oh iya, aku belum bercerita. Kolam yang kumaksud adalah kolam renang. Mereka berdua memancing!”
Kesabaranku hampir habis. Mataku mau meloncat keluar.
”Eh, bukan. Apa itu? Mereka tidak memancing. Ada kata yang mau kuucapkan tapi rasanya itu sudah tertelan sampai ke usus buntuku. Oh iya, aku melihat mereka berdua!”
”Ravia? Dan musuhku, Aljafar?”
”Bukan. Aku melihat Anjing dan Alfonso Borquez Endalfo DeMadio Elrado Fernaolin Gelardiño.”
”Siapa itu Alfonso Bor.. Bor... Fo... O... ah, entahlah.”
”Biar kau mudah menyebutkannya, biasanya namanya disingkat, menjadi ABCDEFG.”
”I...tu nama terpanjang yang pernah kudengar. Siapa itu ABCDEFG?” kataku penasaran dan tak sabar.
”Kau tidak tahu? Itu nama kucing peliharaan milik Aljafar. Kau harus sedikit lebih perhatian pada musuhmu.”
Aku berdiri, hampir meninggalkannya.
”Hei, hei tunggu! Ada lagi! Anjing dan ABCDEFG terlihat sangat akrab dan sepertinya dari dulu memang begitu. Dan, jika kedua harimau itu, eh maksudku kucing itu ada di sana, mereka berdua pasti juga ada di sana. Seperti kata-kata ada gula ada kecoa.”
”Semut.” kataku.
”Semu tidak serima. Lebih enak diucapkan kalau kecoa.”
Kemudian aku benar-benar pergi. Yah, sejak saat itu, aku memutuskan untuk putus dengannya. Masih banyak perempuan yang mau menjadi pacarku. Yah, itulah beberapa kisah dari masa lalu. Sebenarnya, kisah dari beberapa minggu yang lalu. Aku berhenti dari berhenti. Artinya, sekarang aku berjalan. Kulalui lorong itu. Tiba-tiba dua orang laki-laki datang, menghadangku. Mereka adalah si wajah abstrak dan si pemusik yang tak tahu musik.
”Bukankah ini orang yang selalu mengejek kita?” kata si wajah abstrak.
”Sepertinya begitu.” kata si pemusik yang tak tahu musik. ”Dia terlihat kecil.” kanjutnya.
”Kalian mau berkelahi? Aku bisa melawan kalian berdua sekaligus.” kataku, kemudian memasang beberapa gaya gerakan kungfu yang terlihat keren. Tiba-tiba sesuatu yang menyakitkan mengenai wajahku. Aku tak sadar seketika.
Ketika aku bangun, aku berada di sebuah ruangan. Remang-remang. Mungkin karena mereka menonjok mataku. Kulihat pintu di sana terbuka. Seseorang melangkahkan kaki masuk ke sana. Itu Aljafar!
”Akhirnya kau bangun. Sudah kubilang aku muak dengan kelakuanmu.” katanya.
”Lalu kau mau apa? Aku yakin kau tidak bisa meretas rekeningku. Itu hanya gertakan.”
”Ravia menemukan sesuatu yang sangat berharga bagimu.” Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. ”Akte kelahiranmu! Tamatlah riwayatmu, Son.”
Mataku terbelalak.
”Aku akan menyebarkan ini di seluruh kampus. Di sini tertulis nama lengkapmu Son, yaitu Sontoloyo!”
”Tidaaaaaaaaaaak!” teriakku. ”Hentikan itu!” teriakku padanya yang sibuk mengutak-atik handphone.
Ia kemudian melangkah lambat-lambat padaku, namun kemudian terpeleset dan jatuh.
”Aljafar!” Aku kaget, segera menyongsongnya. Kulihat hidungnya mengeluarkan darah. Namun matanya terbuka. ”Aljafar! Aljafar! Bertahanlah, jangan mati!” Entah kenapa, rasanya air mataku mau keluar. ”Bertahanlah! Kalau kau mati, siapa lagi yang harus kubenci? Terlalu banyak orang yang menyukaiku.”
Aljafar berbicara dengan suara yang tertahan. ”Ke... kenapa... kenapa...”
”Kau ingin mengucapkan sesuatu?” Aku masih menahan air mataku tapi aku tak kuasa. ”Ya, aku tahu. Aku tahu. Kau adalah anak yang menjengkelkan, aku paham. Apa kau mau bilang kalau aku adalah anak baik hati, kaya raya, dan tidak sombong? Aku tahu itu, aku tahu itu, Far.” kataku sambil terus mengusap air mata.
”Kenapa... ke... kenapa... kenapa tidak ada yang memasang tanda lantai licin?” begitulah katanya. Sayangnya, itu adalah kata-kata terakhirnya.
”Tidaaaaaaaaaaaaak!” teriakku menggema di setiap sisi ruangan.

3 komentar:

  1. Unik sih menurut saya. Agak menggelitik juga. Ada kalimat di awal2 yang saya rasa aneh. Yang tentang tablet dijadiin talenan. Coba dibaca ulang. Saya tadi bingung. Satu lagi, bisa lebih didetailin lagi tuh (menurut saya). Karena ga dijelasin terpeleset kok bisa mati. Kecuali emang itu ngangkat hal2 yang ajaib ya.

    BalasHapus
  2. Itu saking kayanya mas. Tablet aja dijadiin telenan. Hahaha...

    BalasHapus
  3. Lucu Syad. Apalagi yang bagian jangkrik xD itu aku cerna dulu, baru ketawa *maaf lola haha

    Ada typo tuh Syad. Ravia jadi Revika. Atau aku yg salah baca?

    Lah, kok tiba2 mati? Bikin kaget .

    Keren.
    Lanjutkan

    BalasHapus

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com