Aku tak melihat adanya kelemahan
dalam diriku. Tampan rupawan, pemusik luar biasa, kaya raya, pandai merayu,
baik hati, dermawan, rajin menabung, dan tidak sombong, itulah aku. Sebutkan
satu hal luar biasa yang terlintas di pikiranmu. Lamborghini? Ada enam tercecer
di rumahku. Komputer tablet? Dulu ada sepuluh dan semua kusumbangkan ke anak
yatim piyatu. Sekarang masih ada beberapa dan biasa kugunakan sebagai pengganti
telenan kalau ibuku mau memasak. Rumah mewah? Aku sudah ganti lima kali. Pacar
cantik? Sudah dua belas yang kuputuskan. Tak ada yang kurang, bukan?
Tidak seperti orang di ujung sana
itu, yang pernah pergi ke pameran seni dan mengagumi sebuah lukisan simpanse.
Ternyata, senimannya datang dan berkata bahwa itu bukan lukisan, melainkan
cermin. Bahkan seorang seniman abstrak memandang wajahnya dan menggelengkan
kepala seraya berkata, ”Ini baru seni.”
Tidak pula seperti orang di ujung
satunya, yang setiap harinya memainkan suara yang ia anggap seni. Padahal
seorang anak menangis ketakutan mendengarnya hingga mengadu pada ayahnya. Ia
sampai dikejar massa ketika mengamen jam sebelas malam. Seorang ahli bahkan
mengelompokkannya ke dalam pencemar suara.
Kau tahu? Aku tidak sedang
menyombongkan diri, melainkan menceritakan fakta seperti bagaimana dosen
mengajar kalkulus.
Yang paling harus kau kenal
adalah orang yang duduk di kursi itu. Di sampingnya bertumpuk buku-buku kimia,
kalkulus, aljabar, geometri, serta pemrograman. Wajah menjengkelkannya ia
sembunyikan di belakang buku tebal berjudul Principle
of Physic karangan Halliday itu.
Aku pernah mengutuk nama yang
pernah melemparkan huruf E tepat di wajahku itu. Namun, dengan negosiasi berbau
jutaan rupiah pada dosenku, setidaknya aku mampu mengubahnya menjadi B. Tapi,
untuk apa juga huruf-huruf itu kalau aku sudah punya segalanya? Entahlah.
Sepertinya aku hanya ingin bersenang-senang.
Sungguh, aku ingin sekali-sekali
menampar wajah itu. Di antara semua orang, hanya dia yang berani menantang si
tampan rupawan ini. Dalam sebuah perdebatan, aku seharusnya menang kalau dia
tidak mengeluarkan jurus kecurangannya itu. Dia masih beruntung aku baik hati.
Kalau tidak, habislah dia. Coba kita kenang waktu itu.
Seperti biasa, dosen membosankan
ini sedang menceritakan dongeng pengantar tidur untuk semua mahasiswanya.
Hampir semua.
”Apakah ada pertanyaan?” kata
dosen itu kemudian.
Beberapa kepala kemudian
terangkat, seolah ada kode rahasia yang mampu membuatnya terjadi. ”Yes, hari
ini selesai lebih cepat!” Aku yakin itu yang terlintas di hati mereka, seperti
diriku.
”Kalau tidak ada, berarti kita
kuis. Masukkan buku kalian!” kata dosen itu dengan tatapan yang tidak enak.
Beberapa hampir pingsan karena
kata-kata itu. Kebanyakan hanya membentuk huruf O lebar dengan bibir mereka.
Tapi, aku tidak begitu. Begitu pula si menyebalkan itu. Kujalani kuis ini
dengan santai, tanpa kepanikan, dan penuh kepastian. Ya, penuh kepastian bahwa
banyak bagian kosong di kertas jawabanku. Aku pasti lulus. Dua jalan bisa
kutempuh untuk mencapainya. Pertama, negosiasi dengan dosen. Kedua, jika yang
pertama tidak memungkinkan, sewa seorang hacker
untuk mengutak-atik nilai di server kampus. Yah, segalanya begitu mudah, bukan?
Seperti biasa, setelah selesai, mereka
saling tanya tentang soal kuis itu, dan kuceritakan pada mereka tentang
kehebatanku. Bagaimana aku bisa menyelesaikan kuis itu hanya dalam beberapa
menit membuat mereka kagum, terutama para fansku. Apalagi itu kuceritakan
dengan penuh gaya ketampananku.
Tapi, dia tidak. Itulah pertama
kalinya ia bersikap berani padaku. Kedua tangannya yang selemah tangan bayi
mendorongku ke tembok. ”Aku sudah muak denganmu!” katanya.
Kuperhatikan sekeliling, mereka
mengerubungi kami, melingkar seolah hendak menyaksikan atraksi dari kami.
”Muak? Maksudmu iri? Ha... ha... ha...” Tentunya tawaku diikuti tawa para
fansku.
”Iri dengan orang sepertimu?
Jangan harap!”
”Kau hanya iri. Akui saja itu.”
”Kau curang. Kau memanipulasi
segalanya. Kau seperti rubah. Kau tahu hewan apa lagi yang selalu curang?”
Semua diam, tak ada jawaban.
”Ya kau itu. Ha... ha... ha...”
Tawanya meledak, tak ada sambutan.
Krik... krik...
”Ha... ha...” Tawanya mulai
canggung.
Krik... krik...
Tawanya mereda. ”Hei, kau, anak
biologi! Apa yang kau bawa itu?” Ia mengarahkan telunjuknya ke seorang mahasiswa
biologi yang baru lewat, melihatnya membawa kotak berisi jangkrik.
Pandangannya pun tertarik. Setiap
pasang mata menuju kepadanya. ”E... maksudmu ini?” Ia menunjukkan kotak yang
dibawanya. ”Aku membawa jangkrik untuk percobaan. Aku ingin melihat, apa yang
terjadi jika aku menaruh jangkrik ke dalam akuarium berisi ikan arwana.
Ternyata, ikan itu memakannya. Hebat bukan?”
”E... ya, hebat. Percobaan yang luar
biasa. Sangat jenius. Pergilah.” Pandangannya menajam kembali, tertuju padaku.
”Kau takkan bisa apa-apa tanpa uangmu, Son. Tapi, aku bisa melakukan sesuatu
dengan kejeniusanku. Aku bisa meretas nomer rekeningmu dan menyedot semua uang
elektronikmu.”
”Aku bisa menyedotnya kembali.
Aku masih punya banyak cara.”
”Bagaimana kau akan membayar
seorang hacker jika uangmu saja sudah
tidak ada?” Ia pun berpaling, kemudian melangkah menjauh.
Sudahlah. ”Ayo, aku traktir
kalian semua!” seruku pada mereka yang masih berkerumun.
”Ye...” Sorak kegirangan selalu
ramai ketika aku mengucapkannya.
Begitulah kisah perdebatan
singkat kami. Awal dari semua ini. Awal dari gertakan yang hingga aku bosan
mendengarnya. Aku mulai berpikir dia tidak benar-benar bisa melakukannya. Yah,
sudahlah. Tidak perlu memedulikannya.
Sekarang, biar kuceritakan
mengenai salah satu gadis hits di kampus. Ia bernama Ravia. Ia kaya, elit, tapi
belum mencapai levelku. Saat ini statusnya adalah salah satu dari dua belas
gadis cantik yang kuputuskan. Tapi, dia memiliki peran penting dalam kisah ini.
Yah, cukup penting.
”Kita putus.” kata pacar
kesepuluhku lewat handphone.
”Oke, baiklah. Dah sayang.”
Kututup handphone-ku, kemudian
kulanjutkan menyedot softdrink di
hadapanku serta menyantap ayam yang masih tersisa setengah di piringku. ”Baik.
Ayo, ceritakan padaku tentang gadis itu, Will.” kataku pada teman makan siangku
hari ini yang duduk berhadapan denganku. Ia biasa dipanggil Will, sementara
nama panjangnya Wilyono.
Mulut yang menempel di wajah
konyolnya menganga mengambil ancang-ancang sebelum membual seperti biasa. ”Aku
sedang makan di warteg bersama temanku, Rio. Dia bilang dia mengenal seseorang
dan kebetulan seseorang itu tiba-tiba datang. Ia memiliki kenalan dan
mengenalkannya padaku. Orang itu pernah bekerja sebagai sales yang menjual
sabun-sabun. Dia bercerita, ’Selamat siang, Pak. Kami menawarkan produk
istimewa kami. Ini dia, Sabun Ampuh. Sumpah, ini bisa membersihkan diri Anda
lebih dari sabun lain.’ Bapak itu membalas, ’Mana buktinya?’ Orang itu kemudian
berkata, ‘Sumpah Pak, biar saya buktikan. Bapak punya toilet?’ Bapak itu
mengangguk dan menuntunnya ke toilet. Kemudian dia menuangkan cairan hijau
baunya ke kloset. ’Lihat, Pak. Kloset saja bisa bersih pakai ini, apalagi badan
Bapak.’ Kemudian Bapak itu berkata, ’Wah, hebat sekali. Saya beli sepuluh.’”
”Hei, hei. Fokus, Will. Langsung
saja ke inti cerita.” kataku tidak sabar.
”Baiklah. Sales itu lulusan SMA
yang tidak diterima kuliah mana pun di tahun pertama, tapi sekarang menjadi
senior kita. Dia punya adik kelas di SMA-nya, yang sekarang menjadi adik
tingkat kita. Dia cantik, seksi, punya banyak mantan, dan kaya. Mereka pernah
berpacaran, tapi kemudian putus dan perempuan itu berpacaran dengan orang lain.
Tapi, dia memutuskannya karena alasan yang aneh. Dia single, terkenal di berbagai media sosial, dan banyak yang
menyukainya, tapi dia sering menolak orang. Kau seharusnya membuka instagram-mu sekali-sekali.”
Cerita itu menarik, juga
menantang. Apalagi ketika kubuka instagramku, dan benar apa yang dikatakan
Will. Kuputuskan membuat strategi bergaya rayuan mautku seperti biasa. Dimualai
dari chatting, kami pun membuat
jadwal pertemuan. Namanya Ravia. Setelah pertemuan pertama, dia mengajakku
pergi ke rumahnya.
”Anjing!” seru Ravia memanggil.
Binatang berkaki empat di depan sana itu pun melangkah dengan lucu mendatangi
kami berdua.
”Anjing? Itukah namanya?” Aku
tentunya heran dengan itu.
”Ya. Apakah masalah?”
”Tidak juga. Maksudku, ya, ya.
Tentu saja masalah. Dia kucing. Kenapa kau memberinya nama Anjing?”
Kucing berbulu tebal itu
benar-banar menikmati ketika Ravia memberi belaian di kepala hingga
punggungnya. Ravia mengangkatnya seolah menggendong bayi, masih mengelusnya.
”Dia suka dipanggil begitu sejak masih kecil. Ya kan, sayang.” Ia menatap
kucingnya penuh perhatian.
Dasar kucing genit.
Itu memang pertemuan yang aneh.
Tapi aku mulai terbiasa dengannya, dengan kehidupannya. Hari-hariku dengannya
kujalani dengan indah. Bagiku, di antara yang lainnya, dialah yang mampu
mengalahkan cahaya sang surya. Namun, itu mulai mereda ketika Will
menghubungiku lewat handphone dan berkata,
”Bung, ini gawat!”
Aku tak menghiraukannya ketika ia
mengatakan itu untuk pertama kalinya. Aku lebih memilih untuk hanyut dalam
dialog tanpa pandang dengannya yang jauh di sana. Keasyikan ini berlangsung
sejak pagi. Dering telponku membuatku tersenyum di pagi hari. Kau bercerita
semalam kita bertemu dalam mimpi. Aku di sini dan kau di sana. Hanya berjumpa
via suara. Namun ku slalu, menunggu saat kita akan berjumpa. Ah, kenapa aku
malah bernyanyi?
Tapi, di satu waktu, Will
mengucapkan nama terkutuk dalam selingan percakapan kami. ”Apa!?” seruku,
kemudian mengajaknya bertemu di kafe seperti biasa.
Seperti biasa, mulutnya menganga
berancang-ancang menyemprotkan bualannya. ”Aku bertemu dengan teman dari
temanku yang memang sedang bersama temanku. ’Saat itu aku memancing di sungai
bersama adikku.’ begitu kata temanku, namun temannya berkata, ’Ya iya lah, masa
mancing di kolam.’ Kemudian teman dari temanku yang juga merupakan teman dari
teman dari temanku berkata, ’Mancing di kolam juga bisa, kali.’ Lalu temanku
berkata, ’mungkin yang dia maksud kolam renang.’ Jadi, kau tahu, teman dari
temanku adalah temanku juga dan mereka ada dua. Maksudku, temanku ditambah
temannya dan kemudian temannya lagi, jumlahnya jadi tiga. Ini hanya semacam
matematika SD.”
Aku menurunkan kelopak mataku.
”Oh iya, inti cerita. Sungai. Eh,
bukan sungai. Mereka punya teman dan menceritakannya pada temannya yang
kemudian menceritakan padaku, dan karena ia tahu bahwa kau temanku, kemudian
aku diberi tahu sesuatu. Di kolam. Di kolam, ternyata ada air! Eh bukan,
maksudku yang lain. Apa itu? Oh iya, aku belum bercerita. Kolam yang kumaksud
adalah kolam renang. Mereka berdua memancing!”
Kesabaranku hampir habis. Mataku
mau meloncat keluar.
”Eh, bukan. Apa itu? Mereka tidak
memancing. Ada kata yang mau kuucapkan tapi rasanya itu sudah tertelan sampai
ke usus buntuku. Oh iya, aku melihat mereka berdua!”
”Ravia? Dan musuhku, Aljafar?”
”Bukan. Aku melihat Anjing dan
Alfonso Borquez Endalfo DeMadio Elrado Fernaolin Gelardiño.”
”Siapa itu Alfonso Bor.. Bor...
Fo... O... ah, entahlah.”
”Biar kau mudah menyebutkannya,
biasanya namanya disingkat, menjadi ABCDEFG.”
”I...tu nama terpanjang yang
pernah kudengar. Siapa itu ABCDEFG?” kataku penasaran dan tak sabar.
”Kau tidak tahu? Itu nama kucing
peliharaan milik Aljafar. Kau harus sedikit lebih perhatian pada musuhmu.”
Aku berdiri, hampir
meninggalkannya.
”Hei, hei tunggu! Ada lagi!
Anjing dan ABCDEFG terlihat sangat akrab dan sepertinya dari dulu memang
begitu. Dan, jika kedua harimau itu, eh maksudku kucing itu ada di sana, mereka
berdua pasti juga ada di sana. Seperti kata-kata ada gula ada kecoa.”
”Semut.” kataku.
”Semu tidak serima. Lebih enak
diucapkan kalau kecoa.”
Kemudian aku benar-benar pergi.
Yah, sejak saat itu, aku memutuskan untuk putus dengannya. Masih banyak
perempuan yang mau menjadi pacarku. Yah, itulah beberapa kisah dari masa lalu.
Sebenarnya, kisah dari beberapa minggu yang lalu. Aku berhenti dari berhenti.
Artinya, sekarang aku berjalan. Kulalui lorong itu. Tiba-tiba dua orang laki-laki
datang, menghadangku. Mereka adalah si wajah abstrak dan si pemusik yang tak
tahu musik.
”Bukankah ini orang yang selalu
mengejek kita?” kata si wajah abstrak.
”Sepertinya begitu.” kata si
pemusik yang tak tahu musik. ”Dia terlihat kecil.” kanjutnya.
”Kalian mau berkelahi? Aku bisa
melawan kalian berdua sekaligus.” kataku, kemudian memasang beberapa gaya
gerakan kungfu yang terlihat keren. Tiba-tiba sesuatu yang menyakitkan mengenai
wajahku. Aku tak sadar seketika.
Ketika aku bangun, aku berada di
sebuah ruangan. Remang-remang. Mungkin karena mereka menonjok mataku. Kulihat
pintu di sana terbuka. Seseorang melangkahkan kaki masuk ke sana. Itu Aljafar!
”Akhirnya kau bangun. Sudah
kubilang aku muak dengan kelakuanmu.” katanya.
”Lalu kau mau apa? Aku yakin kau
tidak bisa meretas rekeningku. Itu hanya gertakan.”
”Ravia menemukan sesuatu yang
sangat berharga bagimu.” Ia merogoh sesuatu dari dalam tasnya. ”Akte
kelahiranmu! Tamatlah riwayatmu, Son.”
Mataku terbelalak.
”Aku akan menyebarkan ini di
seluruh kampus. Di sini tertulis nama lengkapmu Son, yaitu Sontoloyo!”
”Tidaaaaaaaaaaak!” teriakku.
”Hentikan itu!” teriakku padanya yang sibuk mengutak-atik handphone.
Ia kemudian melangkah
lambat-lambat padaku, namun kemudian terpeleset dan jatuh.
”Aljafar!” Aku kaget, segera
menyongsongnya. Kulihat hidungnya mengeluarkan darah. Namun matanya terbuka.
”Aljafar! Aljafar! Bertahanlah, jangan mati!” Entah kenapa, rasanya air mataku
mau keluar. ”Bertahanlah! Kalau kau mati, siapa lagi yang harus kubenci?
Terlalu banyak orang yang menyukaiku.”
Aljafar berbicara dengan suara
yang tertahan. ”Ke... kenapa... kenapa...”
”Kau ingin mengucapkan sesuatu?”
Aku masih menahan air mataku tapi aku tak kuasa. ”Ya, aku tahu. Aku tahu. Kau
adalah anak yang menjengkelkan, aku paham. Apa kau mau bilang kalau aku adalah
anak baik hati, kaya raya, dan tidak sombong? Aku tahu itu, aku tahu itu, Far.”
kataku sambil terus mengusap air mata.
”Kenapa... ke... kenapa... kenapa
tidak ada yang memasang tanda lantai licin?” begitulah katanya. Sayangnya, itu
adalah kata-kata terakhirnya.
”Tidaaaaaaaaaaaaak!” teriakku
menggema di setiap sisi ruangan.
Unik sih menurut saya. Agak menggelitik juga. Ada kalimat di awal2 yang saya rasa aneh. Yang tentang tablet dijadiin talenan. Coba dibaca ulang. Saya tadi bingung. Satu lagi, bisa lebih didetailin lagi tuh (menurut saya). Karena ga dijelasin terpeleset kok bisa mati. Kecuali emang itu ngangkat hal2 yang ajaib ya.
BalasHapusItu saking kayanya mas. Tablet aja dijadiin telenan. Hahaha...
BalasHapusLucu Syad. Apalagi yang bagian jangkrik xD itu aku cerna dulu, baru ketawa *maaf lola haha
BalasHapusAda typo tuh Syad. Ravia jadi Revika. Atau aku yg salah baca?
Lah, kok tiba2 mati? Bikin kaget .
Keren.
Lanjutkan