Teman, ingatkah kau bagaimana
dulu kehidupan kita? Sebelum rasa pahit udara membasuh kulit kita. Sebelum
bayang-bayang persegi panjang menumpuk di pandangan. Sebelum helai demi helai
daun berubah menjadi kertas, berguguran bahkan tanpa musim gugur, hingga mengubur.
Kita dulu adalah petualang. Pergi menjelajah rimba hutan hanya dengan kaki dan
tangan. Kurasa itu jauh lebih seru daripada sekarang, saat kau sering meloncat
ke negara orang dengan pesawat terbang. Aku ingat dulu kau benci mendekam di
rumahmu seharian. Tapi, kenapa kini kau hanya diam?
***
Pria ini mengibaskan tangan di
depan hidungnya. Ia melakukannya selama dua jam ini. Sesekali ia melirik ke
kanan dengan tatapan sengit.
Pria di meja sebelah masih
menikmati rokoknya sambil sibuk dengan handphone
dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian ia menyadari sesekali sepasang bola
mata menyorot tepat ke matanya. Ia hanya melirik sejenak, kemudian kembali tak
peduli.
Seandainya ada kursi lain yang
kososng. Ia bingung, bagaimana tempat seperti ini bisa ramai pengunjung. Kenapa
ada orang yang mau datang ke tempat terpencil seperti ini? Mungkin
masing-masing orang di sana menanyakan hal yang sama. Harga, tidak murah juga.
Tempat, tidak strategis. Tapi mereka tidak mengumbar pertanyaan itu. Mereka
justru berbicara dengan bisikan pada lawan bicara mereka, seolah ini sebuah
perpustakaan dengan penjaga perpustakaan yang akan membunuhmu jika mendengar
suara.
Kemudian seseorang masuk. Entah
bagaimana kedatangannya bisa menjernihkan kembali kedua mata pria yang sedari
tadi duduk di kursi paling pojok. Ia menutup payungnya yang basah sebelum
melangkah lebih dalam, lalu duduk di depan pria itu.
”Sore, Tuan Lubis. Kupikir kita
akan bertemu jam 2.” kata pria itu.
”Aku ada urusan.” Ia meletakkan
payungnya di lantai. ”Kau seharusnya tahu itu”
Pria itu kemudian menuangkan
minuman dari botol ke dua gelas berbentuk corong. Satu untuk dirinya, satu lagi
untuk Lubis, pria di hadapannya.
”Sebenarnya aku lebih suka kopi.”
kata Lubis.
”Kau harus mencobanya. Ini anggur
lokal. Selalu ada hal yang dilakukan untuk pertama kalinya, bukan?”
”Bukan begitu. Hanya saja, aku memang
lebih suka kopi.”
Pria itu menarik kembali gelasnya.
Kedua gelas kini di hadapannya, hanya untuknya. Ia mengangkat satu gelas,
meneguknya sendiri. Cairan itu mengalir melalui celah di antara kedua bibirnya,
hingga habis. Pikirannya lagi-lagi berbicara, kenapa mereka harus bertemu di
tempat seperti ini, padahal mereka bisa bertemu di kafe elit yang jauh lebih
rapi dan suasana yang lebih pantas untuk dibayar.
Lubis yakin pria itu mengira
mereka hanya pernah bertemu sekali sebelum ini. Padahal, Lubis ingat betul ia
pernah melihat secara langsung wajah itu dua kali. Namun hal itu bisa
dimaklumi, mengingat Lubis dulu bergerombol bersama orang lain ketika bertemu
dengan pria itu pertama kalinya.
Gerombolan itu menciptakan
suasana yang ramai, gaduh. Mereka setujuan, sebenarnya. Mereka berpakaian rapi,
ada yang membawa kamera, alat perekam suara, serta catatan kecil. Para pembawa
alat perekam berdesakan, berusaha mendapatkan posisi strategis di mana suaranya
dapat terdengar dengan jelas. Para pembawa kamera berusaha mendapatkan sudut
yang cocok untuk gambar mereka. Jepretan-jepretan lampu kilat turut melengkapi
suasana. Masing-masing mereka melempar tanya, hingga pria itu bingung pertanyaan
mana yang harus ia jawab. Akhirnya ia terpaksa menghentikan pertanyaan mereka.
Ia menyukai pekerjaan ini dan
terus menekuninya. Soal bayaran tidak perlu diragukan lagi. Jalas ia mampu
bertahan hidup dengan bayaran itu. Prestasinya dalam profesi itu begitu
gemilang. Dengan kecerdasan serta keberaniannya, ia mendapat banyak pujian dari
mana-mana. Berbagai kasus dapat ia selidiki secara mendalam, kemudian
memaparkannya di media.
Pria itu masih menatap Lubis.
Kedua tangannya saling genggam, berdiri di atas meja layaknya menara. Ia
menunggu pria di hadapannya itu selesai dengan urusannya mengetuk-ngetuk layar
dengan ibu jarinya.
Di kota gelap seperti ini, semua
orang memiliki urusan. Beberapa untuk diri mereka sendiri, beberapa untuk
golongan mereka. Beberapa cukup terang-terangan, beberapa yang lain harus
dirahasiakan. Orang-orang selalu ingin memiliki dunia untuk mereka sendiri.
Tentu saja. Mana ada orang yang ingin hidup susah?
Itulah kenapa ada tempat seperti
ini. Tempat yang memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki urusan serius.
Tempat yang tak perlu memperhatikan harga dagangan, suasana tempat, maupun
posisi strategis. Cukup bermodalkan tanah dan bangunan serta minuman seadanya.
Seperti warung-warung biasa di pinggir jalan. Hanya saja, si penjaga kedai
harus bersiap menghadapi bermacam-macam hal: pemerasan, penarikan hutang yang
tak kunjung dibayar, serta hal lain yang berbau uang. Itu semua dapat memicu
perkelahian.
Sebagai seseorang yang memulai
karirnya benar-benar dari bawah, Lubis pasti sudah terbiasa dengan suasana
seperti ini. Suasana warung sederhana maksudnya, bukan perkelahian-perkelahian
dalam kegelapan seperti itu. Warung-warung sederhana menjadi langganannya
setiap hari. Apalagi ketika ia masih kuliah dulu.
Cita-citanya masuk akal untuk
seorang mahasiswa jurusan manajemen: menjadi seorang pengusaha. Namun,
keahliannya lebih dari itu. Ia memiliki otak pebisnis sekaligus matematikawan
atau saintis. Analisanya luar biasa. Bukan hanya analisa pasar untuk menentukan
harga, namun analisa strategis yang memerlukan keahlian bermain catur. Ia juga
akan cocok untuk menjadi detektif. Sebenarnya, itu memang cita-citanya ketika
kecil.
Ketertarikannya dalam bisnis
justru baru tampak setelah ia masuk ke jurusannya. Uang memang memiliki daya
tarik tersendiri. Nilainya, iya. Tapi bukan hanya karena itu. Itu lebih kepada
strategi tentang bagaimana untuk mendapatkannya. Ia mulai bermain-main dengan
itu ketika kuliah. Berjualan makanan, distributor kaos, dan sebagainya. Ia
menyukainya. Kemampuannya dalam marketing memang luar biasa. Tentu saja itu
berhubungan dengan kemampuan komunikasinya.
Kuliahnya selesai dan ia melamar
sebuah pekerjaan di perusahaan media atau pers. Mulai saat itulah, kehidupannya
berada di level yang lebih tinggi. Urusannya dengan orang-orang aneh pun
dimulai hingga sedikit demi sedikit itu merasuk ke dalam dirinya. Beriringan
dengan itu, sedikit demi sedikit ia mendaki menuju puncak. Strategi-strateginya
seolah berhenti. Uang mengalir begitu saja kepadanya ketika ia berada di
puncak. Inilah zona bahaya dirinya.
Berbeda dengan pria di
seberangnya. Ayahnya adalah seorang pebisnis. Sejak kecil ia sudah berurusan
dengan hal semacam itu. Ketika SMA, ia telah memegang lembaran-lembaran saham.
Uang mengalir melaluinya. Hal yang mengasyikkan adalah menjaga bagaimana agar
uang itu tetap mengalir. Kesehariannya adalah untuk mengamati dan menganalisa
naik turunnya grafik. Ketika uangnya tiba-tiba merosot, itulah zona bahaya
baginya.
”Perusahaan itu tiba-tiba
mengalami lonjakan yang pesat. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka bisa
seperti itu. Tapi itu patut untuk dicurigai.” kata pria itu sambil terus
memegangi batang kecil gelas itu. Ia mengetuk-ngetukkannya dengan meja, seolah
itu hal yang sangat mengasyikkan.
”Setiap hal mencurigakan patut
untuk dicurigai. Aku ahli dalam hal itu. Sebenarnya, kau tahu? Akulah raja
sesungguhnya di negeri ini. Aku bisa mengendalikan pikiran orang-orang hanya
dengan jariku. Aku juga mengendalikan negara ini. Segalanya bisa diatur.” kata
Lubis.
Pria itu tersenyum masam. ”Jangan
sombong.” Ia kemudian mengulurkan lengannya ke bawah, kemudian mengangkat koper
logam. Ia membaringkannya di atas meja, kemudian membukanya. ”Jatuhkan
perusahaan itu.”
”Sebenarnya aku benci korupsi.
Atau apapun bentuknya. Juga para pejabat yang selalu berpikir merekalah pemilik
segalanya.” kata Lubis. Akhir-akhir ini ia memiliki sengketa dengan seorang
dalam pemerintahan. Hanya saja mereka tak saling menanggapi secara frontal. Ini
adalah perang dingin.
”Kau masih perlu belajar untuk
menyingkirkan pikiran seperti itu. Ini dunia nyata. Cobalah untuk memandangnya
sebagai wujud aslinya, sebagai realita.”
”Yah, itu benar juga. Segalanya
hanya tentang permainan. Dunia ini memang tempat bermain yang asyik.” Ia
menyeret koper itu, lalu menutupnya kembali. Kini itu resmi menjadi miliknya.
Kilat beserta petir masih
sesekali muncul. Cahayanya masuk melalui pintu, juga jendela-jendela. Orang-orang
di dalam sana jangankan memperhatikannya, di antara mereka bahkan ada yang
seolah tak mendengarnya karena fokus pada bisikan-bisikan dengan lawan
bicaranya. Hanya kegelapan dan kerahasiaan yang mereka rasakan. Masing-masing
takkan memedulikan bisikan pada percakapan orang lain. Tapi, seseorang yang
baru pertama kali masuk ke sini pasti akan merasa tempat ini seperti pasar.
Seseorang masuk, hanya berdiri di
pintu. Benar ia merasakannya. Dengan badan besar tegap, pakaian serta kacamata
serba hitam, ia tampak menakutkan. Namun memang ekspresi seperti itu yang cocok
untuk berpasangan dengan wajahnya. Jika kau melihatnya, kemudian
membayangkannya tersenyum manis, kau pasti akan mendapati ada hal yang janggal.
Mata berlapis kaca hitam itu menyorot ke sudut ruangan.
Pria di sudut ruangan melihat ke
jam tangannya. Percakapan itu hanya beberapa menit, tapi itu sudah cukup
baginya. Ia memiliki kesibukan lain di luar sana. Kesibukan dengan pekerjaan
sebenarnya tentunya. ”Senang berbisnis denganmu.” Setelah berjabat tangan, ia
segera menuju ke pintu, berjalan melewati pria berwajah menakutkan itu.
Kemudian pria berwajah menakutkan itu berjalan mengikutinya seperti anak ayam
mengikuti induknya.
”Sampai jumpa, Tuan Ran.” Kata
Lubis. Giliran Lubis yang sendiri. Bedanya, perokok di meja sebelah sudah tak
di sana. Ia tak perlu saling lirik tajam dengan si perokok itu, seperti yang
dilakukan Ran. Ia selalu membenci asap rokok yang menghalangi konsentrasinya.
Ia merogoh sesuatu dari balik
jasnya, kemudian memakai sarung tangan karet itu. Sangat tipis. Ia memegang
salah satu dari dua gelas corong di depannya, mengangkatnya hingga tepat di
depan kedua matanya. Ia memutar-mutarnya dan memperhatikannya saksama. Kemudian
ia mengambil solasi, menempelkannya ke gelas itu, kemudian melepaskannya
kembali. Sembarangan meninggalkan sidik
jari, pikirnya. Baru setelah itu ia melangkah pergi.
Ia masih memikirkan konfliknya
dengan Ridwan, si pejabat pemerintah itu; seorang ketua PanasDingin (Partai
Nasional untuk Demokrasi Negara Indonesia) yang menempati salah satu kursi di
DPR. Ia juga bertugas mengawasi kegiatan ekspor-impor di negeri ini; melakukan
pendataan barang, kuota impor, pajak, dan lain-lain. Perangai baik, sabar,
dermawan, bijaksana, serta taat beragama, itulah yang membuatnya disukai
anggota partainya, bahkan juga masyarakat umum. Faktor lain adalah karena masa
lalunya sebagai seorang anak desa biasa. Ia bahkan seorang yatim piatu. Ia
kemudian menaiki tangga sedikit demi sedikit dengan usahanya hingga berada di
puncak negeri. Kisah hebatnya itu sering dimuat di berbagai buku dan media.
Mereka cukup dekat sejak kuliah,
yaitu Ridwan si pejabat dengan Lubis, sang penguasa pers. Namun akhir-akhir ini
ia mendapati Lubis senang main api. Ia tahu itu pertanda apa. Ia tahu orang
seperti apa Lubis itu. Kegemaran Lubis dalam memainkan strategi kian lama kian
tak terasa. Lubis merasa tak ada lagi yang perlu diurus. Uang sudah mengalir
dengan sendirinya. Begitu dan terus begitu, hingga akhirnya ia berada di titik
bosan, sebuah titik bahaya Lubis, yang juga titik percikan api.
Beberapa hari yang lalu ia
mendapati Lubis bermain catur. Bukan di atas papan, tapi di atas tanah negeri.
Anehnya, ia bermain seorang diri. Ia menciptakan musuh-musuhnya sendiri,
kemudian menggerakkan bidak-bidaknya untuk membasmi musuh-musuh ciptaannya itu.
Beberapa orang harus mendekam di penjara karenanya.
Ia mencoba mengajaknya berbicara
di sebuah pertemuan, tapi itu tak berjalan dengan mulus. Lubis justru
mengatakan dengan pasti bahwa ia mampu melakukan apapun di negeri ini, karena
ia telah memiliki negeri ini.
***
Matahari sudah sedikit di atas
tanah. Tak tampak begitu jelas karena ada bukit di timur sana. Dinginnya udara
masih terasa lebih dominan.
Pagi ini seorang pria paruh baya
telah menerima tumpukan koran dari atasannya untuk diedarkan. Sudah sejak ayam
berkokok ia mengucapkan ”sampai jumpa lagi” pada istrinya. Kini ia masih ingin
menghangatkan tubuhnya. Secangkir teh akan sangat membantu. Tak perlu di kafe
elit tempat nongkrong anak-anak muda. Sebuah warung kecil di pinggir jalan jauh
lebih menghangatkan. Sambil begitu, ia mengamati satu demi satu korannya
korannya. Kemudian ia berhenti di sebuah koran. Halaman pertamanya begitu
menarik perhatian.
Pyar! Cangkir yang ia pegang jatuh,
namun ia tak menyadarinya. Ia tak peduli jika harus menggantinya. ‘Ketua
PanasDingin, Ridwan Ansori ditahan karena melakukan kontrak kerja sama terkait
pengimporan gandum dengan direktur PT Merviand di luar peraturan pemerintah.
Hal itu dibuktikan dengan persetujuan sidik jari Ran Saliva, direktur PT
Merviand.’ Itulah yang tertulis di halaman koran itu.
Teman, apa yang mengubahmu
menjadi seperti ini? Apa kau tak ingat kehidupan kita dulu? Dua anak yatim
piatu, sang petualang. Kita teman para binatang. Kau benci duduk seharian di
rumah. Kau selalu menyumbangkan ide-ide brilianmu untuk petualangan kita. Kau
adalah seseorang yang paling cerdas dan baik yang pernah kukenal. Aku selalu
percaya dan penuh harapan padamu bahwa suatu saat kau akan menjadi seseorang
yang berguna dengan kecerdasanmu. Tidak sepertiku yang hanya memiliki
kecerdasan terbatas. Kenapa setelah kau mendapatkannya, kau justru membuat
posisi itu berada di atas hatimu dan lembar-lembar itu menguburmu?
Ah, maaf kawan, aku
mengucapkannya terlalu cepat. Apakah semua ini benar? Tolong, ceritakanlah.
0 Komentar:
Posting Komentar