”Apa!? Judul macam apa itu?” kata
sosok yang tak tampak.
Diamlah! Aku pikir kata-kata
tidaklah memihakku. Aku berpikir, sebaiknya aku tak menulis. Aku tak tahu apa
yang sebaiknya kulakukan sekarang. Huh, aku bosan. Apa yang akan kulakukan di
saat seperti ini? Hm... aku lebih suka menonton Spongebob Squarepants. Namun aku sadar tak ada televisi di sini.
Ada, di kantin. Tapi mereka tidak menyetel Spongebob
Squarepants di sana. Kalau saja aku menemukan remotnya.... kalau saja?
Benarkah aku akan menggantinya? Ya, atau tidak? Tetu saja, meski ya, kupikir
itu takkan semenyenangkan dulu. Terlalu banyak adegan yang dipotong dalam
kartun itu.
Mungkin aku lebih suka menghitung
bintang. Satu.
”Hanya satu?” tanya sesosok yang
tak tampak.
Ya, hanya satu bintang yang
kudapati. Tentu saja, ini siang hari. Hanya satu bintang, matahari yang
berhadapan denganku.
”Benarkah?” kata sosok lainnya.
Ya, tentu saja. Hei, tunggu dulu!
Apa yang kau maksud dengan “benarkah”? Biar kupikir. Oh, aku paham. Kau ingin
aku membuka mataku? Ya, tentu saja. Aku dulu melihat bintang, bahkan ketika
mereka tak tampak. Itu saat yang menyenangkan. Aku tidak perlu ikut pelajaran
di kelas, aku bisa browsing sesukaku,
dan bahkan sekolah memberi sarapan dan makan siang gratis padaku.
Benar-benar saat yang
menyenangkan. Aku begitu bangga meski hanya lolos seleksi olimpiade astronomi
tingkat kabupaten. Di provinsi, aku jatuh. Dua tahun berturut-turut itu
terjadi. Setiap sore aku mengajar dua orang adik kelasku. Mereka setim
denganku. Kami menggambar bola langit di kertas. Lalu, kami meletakkan
bintang-bintang di sana. Ada Matahari, Aries, Rigel, Polaris, Alpha Centauri,
Aldebaran, Sirius, dan lainnya sesuai deklinasi dan asensiorekta masing-masing.
”Bintang apa yang paling besar?”
tanya sosok lain yang juga tak tampak.
Sebenarnya aku sudah lupa. Tentu
saja, aku lebih sering bermain-main dengan Matahari dan Aries. Merekalah yang
terpenting untuk menentukan Waktu Matahari dan Waktu Bintang.
”Tunggu tunggu tunggu!” kata
sosok kedua. ”Kenapa kau memaknai ‘benarkah’ dengan seperti itu?”
Apakah ada makna “benarkah” yang
lain? Biar kuingat. Oh, tentu saja! Itu saat-saat yang seru.
”Apa kau sadar berapa frasa ‘tentu
saja’ yang telah kau ucapkan?” kata sosok lain.
Biar kuselesaikan dulu ceritaku.
Ketika subuh, aku bersama adik dan ayahku pergi ke masjid. Tentu saja udara
begitu dingin. Ketika berjalan pulang, aku menatap langit. Entah kenapa aku
hanyut dalam suasana yang begitu tenang. Aku berpikir, aku harus pergi ke sana
suatu saat nanti. Tapi, setelah kupikir, kemungkinannya kecil. Tentu saja, itu
tak berhubungan dengan cita-citaku masuk Jurusan Teknik Kimia ITB.
Aku ingin melihat bintang di
sini. Aku ingin berbaring dan melihat ke atas, menatap bintang-bintang. Tapi
aku tak mendapatinya. Tentu saja, aku tidur di kamar, hanya melihat
langit-langit. Tidak juga. Terkadang aku tidur di sekretariat organisasiku.
”Apa kau pikir pembaca akan paham
jika kau menggunakan kata ganti ‘sosok yang tak tampak’ untuk kami? Maksudku,
kami berjumlah sangat banyak. Untuk membedakan kami, kau hanya menggunakan
frasa ’sosok lainnya’. Really?” kata
sosok tak tampak lainnya.
Lalu, apa yang sebaiknya
kulakukan? Mungkin aku harus memulai dari awal. Anggap saja kalimat di atas ini
tidak ada. Tapi, aku tak mau menghapusnya. Itu sia-sia. Tentu saja aku akan
memulai dari perkenalan. Namaku Arsyad Maulana Dzulqornain, juga dikenal
sebagai The Legend from Magelang.
”Benarkah?” Sesosok yang tak
tampak menyipitkan mata, meragukan.
Diamlah! Ini ceritaku, aku bisa
melakukan apa pun di sini. Baik, kita lanjutkan. Namaku Arsyad, dan sosok-sosok
yang tak tampak ini adalah teman-temanku. Mereka berjumlah ribuan, tapi aku takkan
menyuarakan semua sosok yang tak tampak ini di sini. Tentu saja ini akan
melelahkan. Biar kuperkenalkan. Itu A-001, itu Ar-007, itu S-555, lalu itu
A-010, itu M-22A, kemudian itu Y-221, lalu itu D-Ars, itu M-123L, itu Dz-4Lq,
dan itu Qor-1.
”Pertanyaan!” Qor-1 mengangkat
tangan. Sebenarnya itu hal yang tak perlu dilakukan. Mungkin dia berpikir ini adalah
kelas. ”Apa konflik cerita ini?”
Mereka mulai ribut. Masing masing
menanyakan kembali pertanyaan itu. ”Iya, ya. Apa konflik cerita ini?” Keributan
ini seperti di pasar.
Tek! Kujentikkan jari tengahku dengan
ibu jari. Tiba-tiba tanah bergoyang. Mereka saling bertatapan, kemudian menatap
lantai. Druak! Atap berlubang,
moncong raksasa muncul. Gigi-gigi tajam menempel di rahang itu.
”Waaaaa! Ada dinosauruuuus!”
Salah satu sosok yang tak tampak mulai menjerit, namun yang lain tidak
memedulikan.
Mereka lebih memilih menatap ke
bawah, mencari sumber getaran. Mereka tahu mereka tak perlu takut pada
dinosaurus jika itu semacam compsognatus atau scipionix.
”Tepatnya, itu tyrannosaurus!
Wuaaaaaa!” Ia melihat mata tyrannosaurus itu penuh kekejaman, penuh nafsu untuk
makan.
”Wuaaaa!” mereka mulai menatap ke
atas, menjerit, berlarian, lalu berhamburan. Mereka berusaha menemukan pintu.
Hanya ada satu pintu di sini dan pintu itu tersembunyi. Suasana seketika
menjadi kacau, tak ada yang fokus pada ceritaku.
Sesosok yang tak tampak, A-001,
tiba-tiba berhenti. Ia meletakkan jari telunjuk dan ibu jarinya ke dagu,
mencoba memahami sesuatu. ”Tunggu dulu! Bukannya kau bilang kami adalah sosok
yang tak tampak? Kenapa dinosaurus itu bisa melihat kita? Mungkin ini semua
hanya mimpi.” Ia lalu menutup mata dan fokus.
Aku berjalan ke arahnya santai.
Kudekatkan mulutku dengan telinganya dan membisikkan, ”Ini bukan mimpi. Ini
adalah cerita. Jangan menyangkal. Apapun bisa terjadi dalam cerita.” Ia masih
tak menanggapiku. ”Baik, biar kubuat ini menjadi logis. Ini adalah dimensi
‘yang tak tampak’ dan dinosaurus itu adalah salah satu makhluk ‘yang tak
tampak’.”
A-001 kemudian membuka mata,
jernih dan berlukis senyuman seraya mengatakan, ”Nah, itu baru masuk akal.”
Namun, seketika senyuman itu menjadi jeritan, mendapati rahang dinosaurus yang
terbuka mendekatinya. Dinosaurus itu menelannya.
”Dia menelan A-001!” seru S-555.
Aku memandangnya santai, tanpa
perasaan. Bukan karena aku tak memiliki perasaan. Aku hanya ingin melihat apa
yang terjadi, menguji hipotesaku. Kemudian aku menepukkan tangan dua kali dan
berkata, ”Nah, kupikir ini yang kalian...” Belum sempat aku selesai bicara, aku
merasakan beban yang begitu berat di kepalaku, juga punggungku. Ini terjadi
begitu saja. Ugh, terlalu berat.
”Dinosaurus itu menginjak
Arsyad!” seru M-22A. ”Tiidaaaaaak!” serunya penuh penyesalan. Yah, lebih
cenderung berteriak lebai. ”Kalau penulisnya tidak ada, apa yang akan terjadi
dengan cerita ini?”
Seketika terbentuk suatu pusaran.
Mereka semua berputar-putar di dalamnya bersama jeritan. Begitu pula dengan
ruangan itu. Bangunannya rapuh, hancur, lalu ikut berputar-putar dalam pusaran.
Tentu saja kalau bangunan itu tidak kuat, apalagi tyrannosaurus itu. Ia
menggeram, seolah merasakan kesalahan telah menginjakku. Aku hanya menahan tawa
melihat mereka semua.
SELESAI
Jangan percaya pada tulisan
selesai itu, wahai kalian pembaca. Tulisan di atas sebenarnya hanyalah typo. Tulisan yang benar adalah “MULAI
KEMBALI”. Hm... sebenarnya aku bingung, kata dari bahasa apakah typo itu. Aku tak menemukannya dalam
KBBI. Tapi, setelah kucari lagi, ternyata itu bahasa inggris. Aku baru tahu,
sebenarnya. Tulisan ini benar-benar membantuku. Tentu saja.
”Seberapa banyak kau akan menulis
frasa ‘tentu saja’?” tanya A-001 yang sudah berada di posisinya semula.
Pertanyaannya itu sedikit masuk
akal, sedikit tak masuk akal. Memangnya aku harus menghitung jumlah kata yang
aku tulis? Tapi, jika memang itu maunya, sampai saat ini jumlah kata yang aku
tulis ada 1.111, sementara frasa ‘tentu saja’ yang sudah aku tulis ada lima
belas. Sudahlah, kembali ke pokok bahasan. ”Itu yang kalian inginkan, bukan?
Konflik dalam cerita? Apa kalian menginginkan konflik lagi?”
Semuanya menggelengkan kepala,
kecuali A-001 yang masih berpikir, meski dia sudah dimakan. ”Konflik ini masih
tak masuk akal. Bagaimana ada dinosaurus di zaman seperti ini?”
Dengan tatapan tak menyenangkan,
kuacungkan tanganku ke A-001. Seketika terbentuk lubang hitam di belakangnya.
Itu menyeretnya. Teriakan “Wuaaaaa”-nya semakin teredam, kemudian lubang hitam
itu tertutup. Masing-masing mereka hanya menatap bekas lubang hitam itu.
Kemudian terbuka lagi lubang
hitam, kali ini di atap. Di sana, muncul A-001. Ia terjatuh menghantam lantai.
Tapi ia tak merasa sakit.
”Kau masih menginginkan konflik
di cerita ini?” tanyaku.
Ia hanya menggelengkan kepala.
Maka hipotesaku benar.
Tokoh-tokoh dalam cerita pasti juga ingin menjalani kehidupan seperti yang
mereka inginkan, tanpa konflik-konflik aneh seperti di kebanyakan cerita:
percintaan, psikopat, juga pembunuhan. Sama halnya ketika kau ditanya oleh
Tuhanmu, ”Apa kau ingin aku mematikan seseorang yang kau sayangi malam ini?”
Kau pasti akan menjawab tidak.
Aku berpikir lagi,
menimbang-nimbang. Sepertinya cerita ini semakin aneh. Bagaimana bisa menjadi
seperti ini? Kurasa di awal cerita aku hanya menceritakan kebosananku.
Kemudian, tiba-tiba ada dinosaurus. Kurasa aku hanya menuliskan apa yang
tiba-tiba tertangkap pikiranku. Ah, terserah. Aku tidak memiliki ide lagi.
Kata-kata tidaklah di pihakku. Sepertinya tak sebaiknya aku memaksakan ide dan
menulis cerita setiap minggu.
Jika kuingat lagi masa kecilku,
aku pernah bercita-cita menjadi ahli paleontologi, ahli dinosaurus, bukannya
seorang penulis. Tidak, itu beberapa tahun setelahnya, setelah aku pertama
kalinya tahu apa itu “cita-cita”. Di kelas dua MI, guruku menyuruh, atau
halusnya meminta muridnya, termasuk aku, menuliskan cita-cita. Aku masih tak
peham apa artinya “cita-cita” itu. Kuputuskan untuk menyontek temanku. Dia
menuliskan bahwa cita-citanya adalah menjadi preman. Tentu saja aku menuliskan
hal yang sama. Aku masih belum paham betul apa itu “cita-cita”.
Tentu saja, di rumah, setelah
ayah dan omku membaca catatan sekolahku, mereka menertawakannya. Baru setelah
mereka menjelaskan apa itu “cita-cita”, aku benar-benar paham.
”Cita-cita itu ya jadi guru, atau
dokter, gitu.” kata salah satu dari ayah atau omku, aku lupa.
”Tulis saja menjadi preman yang
berbudi, preman yang membela negara.” kata salah satu dari ayah dan omku.
Kemudian aku sering membaca
majalah “Bobo”. Majalah itu memaparkan informasi mengenai dinosaurus. Di edisi
lain, majalah itu memberi rujukan jika ingin membaca buku dinosaurus. Tentu
saja buku itu dari penerbit yang sama dengan penerbit majalah itu. Aku sadar
itu adalah iklan. Tapi, aku benar-benar mengajak ayahku untuk mencari buku itu.
Tapi, kami tak menemukannya di sebuah toko buku di Muntilan. Untuk menutupi kekecewaanku,
aku membeli buku lain, tapi juga tentang dinosaurus. Buku itu berjudul “Halo
Dino! Scipionix” dan memiliki hard cover.
Aku menyukainya dan lain hari, aku membeli serial lain dari “Halo Dino!”.
”Jadi, itulah kenapa tiba-tiba
dinosaurus muncul begitu saja dalam pikiranmu?” tanya Ar-007.
Jika kuingat, sebenarnya tidak
juga. Beberapa hari yang lalu aku mendapat kiriman di grup Line kata-kata “Dinosaurs didn’t read. Now, they are extinc.”
dengan gambar fosil dinosaurus. Aku berpikir, apa benar mereka punah karena
tidak membaca? Setelah kupikir-pikir, kalimat yang benar seharusnya “Dinosaurs are extinc. Now, they didn’t read.”.
Ya, dinosaurus tidak membaca karena mereka sudah punah sebelum ada tulisan.
Tentu saja, jika mereka masih hidup, mereka akan duduk di sampingku dan membaca
ceritaku, bangga karena mereka masuk dalam tulisan Sang Legenda.
Kulihat jam. Setengah lima.
Kenapa hanya dengan menulis hal seperti ini begitu memakan waktuku? Aku menulis
sejak sebelum zuhur. Aku memiliki rencana memperbaiki sepedaku, tapi aku merasa
malas. Aku memiliki rencana pergi ke Masjid Salman, tapi aku juga malas. Alasan
yang lebih kuat adalah kalimat “realita takkan semulus rencana”. Teman-temanku,
sepertinya pelampiasan kebosananku ini sudah cukup. Ini sudah enam halaman. Aku
harus menyelesaikan tugas kimiaku yang berjumlah lima puluh enam butir soal dan
tugas pendahuluan praktikum fisika. Sekian.
”Tunggu! Ayolah, satu halaman
lagi.” kata A-010.
Aku tak jadi menutup Aplikasi
Microsoft Word 2013 ini. Tapi aku bingung, apa lagi yang akan kutuangkan di
cerita kacau ini. Aku menghela napas, kemudian berkata, ”Jika kau ingin lanjut,
maka bacalah tulisan berikut ini.”
Demi Tuhanku, penguasa langit dan bumi, serta hari akhir, aku berjanji akan
menganggap cerita ini sebagai cerita terbaik sepanjang masa, sekacau apa pun
itu.
Yes, kena kau, pembaca! Aku yakin
kau adalah orang yang beriman. Maka, tepatilah janjimu!
”Aku masih memikirkan kata-kata
tentang dinosaurus itu.” kata Ar-007. ”Dinosaurus punah karena mereka tidak membaca?
Tapi, binatang lain tidak punah meski mereka tidak membaca.”
”Itu hanya alasan saja, agar
aggota Line yang lain membaca Line-nya.” kata M-22A. ”Memangnya, hewan
apa yang sudah ada sejak dulu dan belum punah?” tanyanya.
”Apel!” seru Ar-007.
Semuanya menurunkan kelopak mata
mereka hingga setengah menutup. ”Apel bukan hewan.” kata mereka.
”Oh, benarkah? Lalu, makhluk
macam apa itu? Ah, sudahlah. Yang penting, apel adalah makhluk hebat yang tak
punah meski tak membaca, bukan? Ia muncul di foto-foto model, di resep masakan,
di buku ilmiah, dan ia bahkan sudah ada di surga sebelum manusia ada.” kata
Ar-007.
Mereka tentu paham apa maksudnya.
Ini seperti di cerpen beberapa minggu yang lalu. Ya, tentu saja. Aku hanya
merangkumnya untuk kemudian dikatakan oleh Ar-007. Tapi, sebagian besar dari mereka
sepertinya meragukannya. Buah yang ada di surga adalah buah kuldi atau ada yang
menyebutnya eden, bukan apel. Jika banyak orang menulis buah kuldi adalah apel,
maka banyak orang salah. Yang benar saja, sang manusia pertama dilarang memakan
buah itu, tapi keturunannya diperbolehkan. Tentu saja itu tak mungkin,
mengingat Tuhan Mahaadil.
Tapi sepertinya, itu ada
benarnya. Buah apel sudah ada sejak lama di muka bumi, jika kita menggunakan
teori evolusi Charles Darwin. Mereka hanya beradaptasi, menyesuaikan diri
dengan lingkungan, kemudian memiliki keturunan. Apel tak membaca, tapi mereka
masih ada sampai sekarang. Dinosaurus dan apel memiliki banyak kesamaan: mereka
sama-sama pernah hidup, mereka sama-sama ciptaan Tuhan, mereka sama-sama ada di
bumi, mereka sama-sama merasakan kematian, mereka sama-sama memiliki massa,
mereka sama-sama memiliki ukuran, mereka sama-sama memiliki kulit, dan yang
terpenting, mereka sama-sama tak membaca.
Jadi, tak ada alasan untuk
menyalahkan dinosaurus punah karena tidak membaca. Mereka punah karena mereka
tidak mampu beradaptasi ketika meteor raksasa menghantam Meksiko enam puluh
lima juta tahun yang lalu. Apel tidak membaca tapi mereka mampu mempertahankan
kehidupan.
Jadi, kesimpulannya, hidup ini
adalah pilihan. Apa kau ingin menjadi seperti dinosaurus, atau apel. Tunggu!
Aku mulai mempertanyakan apa pentingnya aku membahas tentang ini.
”Aku lebih suka menjadi diri
sendiri.” kata Dz-4Lq.
”Diamlah!” kataku, kemudian
menengadahkan tangan dan menciptakan bom di sana. Kemudian aku membantingnya ke
lantai dan meledak. Cerita ini pun berakhir. Ya, ini sudah tujuh halaman tepat.
Sebenarnya aku bisa melanjutkan hingga seratus halaman, tapi kurasa sudah cukup.
Sepertinya menghitung jumlah kata
dalam cerpen ini sama serunya dengan menghitung bintang. Ah, jumlah yang unik,
2222. Apakah ini kebetulan? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
0 Komentar:
Posting Komentar