Sesuatu berlandas hati manusia
tak pernah memiliki standar tertentu sebagaimana fenomena fisik yang selalu
dapat diukur. Seram memiliki ukuran berbeda di tiap orang. Namun, apabila
diambil rata-rata mengenai ukuran seram dari berbagai belahan bumi, maka ya,
rumah ini seram; rumah besar dengan banyak bagian tembok telah telanjang, sulur
retak menyelimuti, sarang laba-laba di setiap sudut, ditambah lagi gerbang besi
penuh karat. Tapi tak ada pilihan. Hujan, badai, petir, semua itu seolah
berkolaborasi untuk memaksaku berhenti. Tempat itu satu-satunya perlindungan
bagiku.
Decitan pintu yang bahkan
mengalahkan petir membuka kembali ilusi berbasis ingatan dalam kepalaku. Beberapa
waktu yang lalu, aku singgah ke sebuah desa. Desa yang telah kutinggalkan di
belakang sana, namun masih dalam alur jalan yang sama ditambah satu atau dua
belantara di antaranya.
Masyarakat percaya akan adanya
sesuatu yang bersemayam di rumah besar di utara, rumah ini sepertinya. Mereka
yang berani memasukinya akan tiba-tiba tertidur dan bangun entah di mana.
Beberapa orang pernah melihat sosoknya.
”Kulitnya sepucat kutukan es.
Matanya semerah darah berpendar dalam gulita. Taringnya setajam jarum suntik, penuh
gairah menusuk lehermu dan mengisap darahmu hingga membuatmu seperti balon
kempes.” Begitulah kata seseorang yang menceritakan hal itu padaku.
”Kau masih terhitung beruntung
jika hanya mengalami hal itu di dalam sana. Tapi, jika kau telah mendengar
suaranya, berakhir sudah. Kau bisa bayangkan itu sebagai... suara terakhir yang
akan kau dengar di dunia yang indah ini.”
”Apa maksudnya?” Aku terheran.
Ia menuntunku ke sebuah rumah,
membuka tirai merah. Seseorang terbaring di sana. Mulutnya menganga, bibirnya
gemetar, pandangan hanya tertuju pada kegelapan.
Ah, sudahlah. Aku tak boleh membiarkan
ilusi itu mengusikku.
Di banyak film, pintu akan
langsung tertutup dengan sendirinya begitu seseorang memasuki gedung
berpenghuni kegelapan seperti ini. Namun, aturan alam mensyaratkan adanya aksi
untuk memunculkan reaksi. Aku menutup pintu ini dengan tanganku.
Langkah sekecil apapun akan berubah
menjadi energi bunyi, dan bunyi itu terwujud dengan pasti di kepalaku. Entah
bagaimana, seolah kesunyian dapat meredam kecamuk di luar. Aku tak yakin bahwa
kegelapan merupakan keberadaan. Nyatanya, foton yang merupakan perwujudan
cahayalah keberadaan. Namun, kegelapan terasa bertumpuk di mataku. Apakah ini
pendukung teori tentang materi gelap?
Tapi tunggu! Apa itu? Ada yang
bergerak di sana. Dua titik cahaya merah, tapi aku tak yakin karena itu datang
kemudian pergi seperti angin. Aku mulai teringat akan keberadaan senter di
ranselku, meski tak yakin apakah masih menyala. Benar dugaanku. Memang wajar,
mengingat aku tak mengisi baterainya sejak di desa itu. Namun, setelah beberapa
pukulan, akhirnya cahaya remang menyorot. Tak ada apa-apa.
Sudahlah, orang selalu
berlebihan, sesuai pandanganku. Jauh lebih baik duduk di atas kursi tua ini.
Meski acak-acakan, tak teratur, beberapa bahkan tak berdiri, ini lebih baik
daripada menentang sesuatu yang besar di luar sana atau mengukur sesuatu dalam
kegelapan yang bahkan tak ada. Ah, enaknya.
Indra penglihatanku terpejam, tak
jauh beda ketika terbuka. Sayangnya, hanya ini yang mampu kupejamkan. Gas
memanglah wujud paling bandel. Tanpa permisi, beberapa molekul melewati lubang
hidungku, menyentuh reseptor. Bau terasa, menyengat tapi samar-samar, entah apa
namanya.
Jika diingat, ada mitos yang
hidup di banyak masyarakat desa. Ketika bau-bauan tertentu tercium, sesuatu
yang ghaib ada di sekitar sana. Setiap bau mengindikasikan hantu tertentu. Tapi
itu hanyalah mitos, dalam pandanganku.
Jdarrr! Frekuensi sebesar itu tentu
memaksa tanganku berefleks menutup lubang telingaku. Begitu juga bagaimana
otot-otot dahi meremas mataku. Pengikut kilat itu datang lebih cepat dari
biasanya. Ketika mataku terbuka, sisa cahayanya masih tertinggal di jendela
besar penuh retakan di depan sana. Sesosok berpakaian putih berdiri di sana.
Karena mataku baru saja terpejam, aku hanya mampu melihat setengahnya, kemudian
lenyap bersama cahaya yang tersisa. Segera kuarahkan cahaya remangku ke sana, tapi
tak ada apa-apa. Sudahlah, itu pasti hanya halusinasi. Orang-orang desa itu
terlalu memengaruhi pikiranku. Aku tak boleh terganggu. Fokuslah, fokuslah, begitu gema di hatiku ketika mataku kembali
terpejam. Padam.
Mataku terbuka, namun tak ada cahaya
yang berebutan menyentuh saraf penglihatanku seolah fans yang meminta tanda
tangan. Gelap masih pekat. Kepalaku terasa pusing, seolah ada yang
berputar-putar di dalamnya. Kuperhatikan sekeliling.
Apa yang terjadi? Kenapa aku tak
berada tepat dimana aku memejamkan mata? Ingatanku lewat begitu saja. Kalau kau berani memasukinya, kau akan
tiba-tiba tertidur dan terbangun entah dimana. Apakah kata-kata itu benar?
Aku harus mengeceknya lagi. Ketika aku berdiri, aku baru menyadari ranselku tak
bersamaku.
Bulan purnama penuh malam ini.
Menurut mitos, ada seorang manusia yang kemudian menjadi srigala ketika malam
ini datang. Tapi seperti yang kukatakan, mitos. Kecuali kalau mungkin pria itu
telah mengalami rekayasa genetika dimana genom tertentu srigala ditanamkan
dalam kromosomnya. Hal semacam itu belum ada saat ini.
Aku berjalan tak kenal arah di
bawah lingkaran emas. Terus berjalan, sampai akhirnya kusadari aku hanya
berputar-putar. Kucoba jalan lain, tak ada ujungnya. Kucoba lagi, aku tersesat
berkali-kali. Mungkin tak akan ada habisnya jika kegelapan masih menyelimuti.
Apalagi posisiku berada dalam kepungan pepohonan, semak-semak, serta
rerumputan. Menyebalkan.
Jdarrr! Lagi-lagi langit mengamuk.
Cahayanya menerangi sekitarku meski sementara. Dia di sini! Aku terperanjat,
hampir melihat wujudnya. Tampak dua lingkaran merah berpendar di atas pakaian
putih itu, menyorot tajam ke arahku, kemudian memadam.
Kukuatkan hatiku, meredam gemetar
yang hampir tercipta, kemudian berlari ke arahnya. Aku sudah muak dengan semua
ini. Tapi tak ada apapun di sana, juga di sekitarnya. Tak terlihat juga ia
terbang atau semacamnya. Namun bagaimanapun, teori relativitas menyatakan tak
ada yang lebih cepat dari kecepatan cahaya. Itu adalah mutlak.
Aku berlari ke sana kemari di sekitar
titik itu. Benar-benar tak ada apa-apa, sampai pendar merah itu kembali
terlihat jauh di depan sana. Aku sempat kaget, tapi kembali kukuatkan diriku.
Pendar merah itu telah menghilang sebelum aku sempat mencapainya. Dengan
adrenalin mengalir deras bersama darahku, aku kembali berlari tak tentu arah.
Entah seberapa jauh posisiku dari
titik asal, setidaknya perpindahanku memiliki nilai, bukannya berputar
menghasilkan resultan nol. Di satu titik, tanah yang kupijak tak memberi gaya
yang cukup untuk menopang beratku. ”Hua...!” teriakku kaget. Aku terperosok ke
dalam sana. Butiran tanah menggesek kulitku, terbentuk energi panas. Beberapa
memasuki mulut dan mataku, sampai akhirnya kaki dan pantatku mendarat
bersamaan. Kubersihkan diriku terlebih dulu sebelum bangkit dan menatap
permukaan. Enam meter, perkiraanku.
Aku tak mampu mencapainya, tapi
ada jalan di belakangku. Sebuah gua. Gelap. Tak satu titik pun tampak di
mataku. Aku sempat kaget sesuatu bergetar di pahaku. Oh, ya, tentu saja. Aku
hampir lupa aku membawa handphone.
Syukurlah baterainya masih tersisa setengah. Cukup untuk setidaknya membuat
jalan tampak di mataku. Dengan cahaya yang tak seberapa itu, aku menyusuri gua.
Ternyata bukan jalan buntu. Gua
ini menuntunku pada ruang lebar di ujungnya. Kususuri ruangan itu. Yang
membuatku khawatir adalah tak adanya penopang di sana. Jika tanah di atasku runtuh,
habislah aku. Hei, apa ini? Kuarahkan layar handphoneku
ke sana. Merah, berkilau, indah. Batu safir. Runcing, menjulang dari dalam
tanah. Wow, bagaimana batu mulia sebesar ini ada di sini?
Tanpa kusadari, sesuatu mendekat
padaku dari belakang. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat leherku,
mencegah aliran fluida dalam tenggorokanku. Ia menjepitku di antara dirinya dan
tembok tanah. ”Arrrgh!” Aku hanya menggeram kesakitan, apalagi ketika kuku
hitam tajamnya ditusukkan ke leherku. Aku memaksakan kepalaku berputar dan itu
membuatku terkejut. Kulit putih pucat seolah kutukan es, mata yang berpendar
semerah darah, taring tajam, semua itu ada dalam satu paket wujud itu. Namun
mataku semakin terpejam. Semua itu hilang.
”Rumah itu telah ditinggalkan
bertahun-tahun.” kata orang di desa yang terngiang dalam ingatanku.
”Memangnya, apa yang terjadi?”
Ia terdiam sejenak. ”Pria itu
baru tinggal di sana tiga tahun. Ia bersama istrinya. Hal itu terjadi di malam
hari. Orang-orang misterius tiba-tiba mendobrak rumah itu, menyeret pria itu
dan membunuhnya. Mereka kemudian membakar rumah itu. Kebetulan setelahnya hujan
deras mengguyur, jadi tak seluruh rumah terbakar. Tetap saja, beberapa bagian
hangus. Istrinya meninggal dalam kebakaran itu.”
”Memangnya, apa yang membuat
orang-orang itu membunuhnya?”
”Sudah kubilang, mereka orang
misterius. Mereka menghilang tanpa jejak. Seseorang mengunjungi rumah itu dua
tahun setelahnya dan ketika kembali, ia menjadi gila. Beberapa orang juga
mengunjunginya. Awalnya tak ada apa-apa, tapi keanehan-keanehan kemudian
terjadi.”
Lagi-lagi aku terbangun dan tak
berada di tempat semula. Hei, bukannya ini tempat aku tertidur di kursi? Aku
berada di sini lagi. Apakah yang terjadi barusan hanyalah mimpi? Tapi, untuk
mimpi, itu semua terasa terlalu nyata. Tidak, itu bukan mimpi. Aku yakin itu.
Kuangkat kembali handphoneku sebagai
penerangan. Namun sebelum itu, kusadari sesuatu yang aneh. Aku mengutak-atik handphoneku beberapa saat, baru
berjalan. Langit mulai tampak keunguan dari jendela besar penuh retak itu. Titik
air yang terkondensasi di langit sepertinya telah habis diperas.
Aku harus menyelesaikan masalah
ini. Kakiku menuntunku melalui beberapa pintu. Aku menoleh ke sana kemari
sembari mengarahkan layar handphoneku,
kemudian menempelkan punggungku di permukaan tembok. Kasar karena retak terasa
bersama dingin.
Dengan asumsi setiap getar adalah
langkah kaki, aku menyergapnya segera ketika ia melewati pintu yang kujaga. Kudorong
dirinya hingga ia terjepit di antara diriku dan tembok.
”Obat tidur berbentuk aerosol,
disemprotkan dengan Chloro Fluoro Carbon.
Kau menambahkan bau-bauan pada campuran itu. Apa itu, hm? Alkanon? Apa mungkin
dari golongan merkaptan? Tentu saja bukan satu zat seperti etil merkaptan. Bau
itu terlalu mirip gas LPG. Sepertinya campuran beberapa. Itu agak kacau.”
”Le...lepaskan aku!” Ia merintih.
Tentu saja karena aku memegang lehernya sebagaimana ia memegang leherku.
Kulepaskan dirinya. Aku juga
memiliki perasaan, apapun yang telah ia lakukan padaku. Meski ia telah
menusukkan jarum ketika aku tertidur, memasukkan cairan halusinogen yang
mengacaukan sarafku, membuat semua ilusi yang bersarang dalam pikiranku tampak
semakin nyata.
Matahari naik secara relatif,
meski nyatanya bumilah yang berputar hingga cahaya bintang itu semakin terasa
di belahan yang dikenainya. Rumah ini salah satu yang disiramnya. Beberapa
berkas masuk melalui jendela.
Semua tampak lebih jelas, namun
aku terkejut karenanya. Kulit sepucat kutukan es, mata yang berpendar semerah
darah, taring setajam jarum, memang semua itu tak ada padanya seperti dugaanku.
Yang ada adalah kulit jernih, mata coklat berbinar dengan keindahan melebihi pendar
aurora.
”Kalau kamu berusaha mengusirku,
kenapa kamu membawaku kembali ke sini?” tanyaku.
Ia telah selesai mengatur
napasnya. ”Aku tak memiliki masalah denganmu. Aku belum pernah melihatmu.
Sepertinya kamu bukan warga desa. Kamu cukup cerdik, juga berani.”
Aku tersipu dengan sanjungan itu,
tapi tak kutampakkan ekspresi dari impresi itu. ”Bagaimana aku menangkapmu?
Hanya kebetulan aku menyadari ada sambungan wifi yang aktif. Ada beberapa. Itu
berasal dari kamera inframerah yang kamu pasang untuk mengawasi jika ada orang
masuk. Aku meretasnya dengan handphoneku
sehingga kamu tak bisa mengawasiku.”
”Aku belum pernah bertemu orang
sepertimu.”
”Apa yang sebenarnya kamu
lakukan?”
Ia tak langsung menjawab. ”Ayo,
duduklah di ruang tamu. Kamu tamu pertamaku setelah beberapa tahun.” Ia
berjalan dan aku mengikutinya. Begitu pula ketika ia duduk.
”Orang di desa tak mengatakan
pemilik rumah ini memiliki anak perempuan.”
”Mereka berpikir aku juga mati
dalam kebakaran itu, tapi tidak. Aku bersembunyi. Aku hanyalah anak yang tak
tahu apa-apa ketika itu. Yang kutahu adalah bahwa dunia ini indah, tempat untuk
main-main. Tapi mereka datang dan merenggut segalanya. Aku tak menyadari apa
yang sebenarnya terjadi. Aku hanya bersembunyi dari orang-orang, berpura-pura
menjadi orang lain ketika keluar. Semakin hari, semakin aku menyadarinya.”
”Menyadari apa?”
”Siapa orang-orang itu dan kenapa
mereka membunuh orang tuaku.”
”Batu safir itu.”
”Ya. Ayahku membeli tanah dari
seseorang di desa itu. Setelah tiga tahun, baru ia menyadari adanya batu
berharga di sana. Ia menyewa beberapa orang untuk membunuh ayahku. Namun,
mereka terlalu banyak meninggalkan bukti hingga harus menjauh ke kota. Setelah
dua tahun, ia kembali lagi.”
”Dan kau membuatnya menjadi
gila.”
”Nada tertentu berfrekuensi
tinggi dan berkesinambungan memperkuat pengaruh halusinogen aerosol yang ia
hirup. Ia menjadi gila, dan aku semakin takut karenanya.” Ia menunduk, kilau di
matanya semakin nyata. ”Banyak orang datang setelah itu.”
”Bagaimanapun, kamu orang yang
baik. Kamu tidak tega melakukan itu pada orang-orang desa yang tak bersalah.
Kamu hanya melindungi dirimu di dalam sini.”
Semakin banyak kata keluar dari
mulutnya, semakin banyak pula kata keluar dari mulutku. Kami hanyut dalam
percakapan penuh perasaan di antara kami. Terlalu banyak kalimat berhias nada
lembut darinya menyentuh hatiku. Apalagi tatapan sebening kacanya semakin
memiliki rasa. Aku tak begitu yakin
bahwa ini rasa, yang dalam pembagiannya hanya ada empat: manis, asin, asam,
pahit. Inikah cinta? Sebuah fenomena alam tanpa ukuran, sebuah gelombang yang
entah transversal atau longitudinal.
Hanyut dalam romansa berlatar
hitam antariksa, berhias titik-titik surya. Perasaan itu selembut makhluk
lembut hingga aku tak mempu merasakannya. Apakah masih rasa namanya jika tak
mampu kurasakan?
Dialog kami semakin berubah kecenderungan
semakin tingginya posisi matahari, seperti perubahan gradien pada polinomial orde
dua.
Wajahnya terasa semakin manis
ketika ia memulai senyum pertamanya. Seperti penyusunan asam amino dari jajaran
tiga kodon, otakku secara spontan merangkai kata yang merangsang senyumnya. Deg! Jantungku seolah berhenti ketika ia
tertawa. Dia benar-benar memiliki taring!
0 Komentar:
Posting Komentar