Gelap pekat
lengket menempel di belahan bumi ini. Melalui senja, malam menempati posisi
siang, bulan menempati posisi mentari. Meski begitu, merah saga padanya
dihalangi gumpalan gelap yang menggantung di bawahnya. Namun, matanya yang semu
masih menatap sayu kepadaku. Kuyakin ia tak mampu menyalahkanku seperti aku tak
bisa menyalahkannya.
Kalau saja aku juga mampu
menutupi merah yang menyelimuti pikiranku. Merah yang ketika aku mengedipkan
mata, itu muncul. Bau anyir menguap darinya. Entah bagaimana itu terjadi,
padahal tinggal aktivitas neuron dalam kepalaku. Mereka mengalir seperti
listrik.
Itulah kenapa aku datang. Padahal
jauh di sana mereka bersenang-senang. Menikmati brownies lezat bersama dengan
wine di tangan mereka, juga berdansa riang bersama kekasih cantik mereka. Di
tempat aku pernah berbaur. Namun kini aku yakin itu bukan tempat yang baik
untuk bersatu, bukan juga tempat berindu.
Segala warna di bawah maupun di
atasnya luntur. Cipratan dari sang mentari tak memiliki arti. Sesekali ia
mengecatnya kembali, ketika elektron di sana bergerak dengan cepat. Pengikutnya,
petir, menjadi penegas keberadaannya.
Ketika itu pistol mulai terlepas
dari genggamanku. Lagi-lagi itu terwujud sebagai aktivitas neuronku. Merah.
Bercucuran dari lubang yang tercipta tidak lebih dari satu detik. Lebih sering
dari yang bisa kau bayangkan. Itu mengacaukan otakku, atau mungkin juga hatiku.
Inilah yang kucari. Ketika ia
menangis, ia menjadi refleksi hatiku. Bersamanya aku menatap laut di bawahku. Laut
yang menyerukan panggilannya dengan gulungan ombak. Ia berkecipak menampar
batuan. Ia memanggilku, memanggil hatiku.
Hmmm, hati. Bagaimanapun orang
memberitahuku, aku tetap tak mampu membedakan dua hal: hati dan pikiran. Bukankah
hati hanya perwujudan dari pikiran? Aliran impuls, sinapsis, neurotransmitter,
itu semua menjadi inti dari perasaan manusia bukan? Sementara, hati sejatinya
adalah organ untuk mencucurkan empedu, juga menetralkan racun. Bahkan
orang-orang menunjuk dada ketika mengatakan hati, padahal itu tempat jantung
berdetak mengikuti detik. Sebegitu abstrakkah manusia?
Yah, dia telah telah pergi. Tak
ada lagi yang bisa mengingatkanku.
Kala itu laut juga menyerukan
panggilannya. Dengan ombaknya, ia menampar airnya sendiri. Dengan angin yang
bagai jarum, senja menusuk kulitku. Tapi pasti lebih menyakitkan ia yang
kulitnya tertembus peluru, yang tubuhnya menjadi sarang berikutnya setelah
pistol ini.
Lagi-lagi merah bercucuran. Ia
belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada dunia. Dalam rinai hujan dan
keheningan, ia terjatuh. Darahnya menggenang bersama air, beriak ditetesi air
lainnya. Matanya masih memelototi dunia, tapi aku yakin hanya kegelapan yang
merangsang sarafnya.
Bagaimanapun, aku
menyelamatkannya dari rasa sakit. Tubuhku juga digoresi luka sebagaimana papan
tulis digores kapur. Pistol yang terlepas dari tanganku diterima oleh genangan
air. Aku membutuhkan kedua tanganku untuk mengangkat dan membuangnya ke jurang.
Ombak tak segan-segan buka mulut memakannya. Napasku berhembus cepat, tapi tak
lebih cepat dari detak jantungku. Kurasakan tetes darah mengalir dari dahi
hingga kaki. Aku pergi.
Hujan masih riuh. Dengan irama musik
roknya, angin mengiringi jogetan pepohonan. Senja seperti menghina diriku yang
sedang berdiri di balik papan transparan ini. Lukaku telah dibasuh oleh air
mata langit yang baik hati, meski ia begitu karena bertanya, ”Bagaimana kau
tega melakukan semua itu?”
Aku tak peduli. Sebuah belaian di
rambut kutitipkan untuk putriku, begitu juga kecupan di keningnya. Pelupuk
mataku hampir tak tahan membendung air yang menekan. Itu lebih kuat dari
tekanan osmosis yang mampu melisis sel. Tangannya ditusuk jarum, mulut dan
hidungnya dibungkam, bagaimana aku tahan? Hidup matinya bergantung pada
benda-benda yang mengitarinya. Seolah tak ada lagi aliran impuls yang indah
dalam neuronku.
Pintu terbuka. Wanita berseragam
putih itu tak menyadari keberadaanku di sana. Ya, aku telah melompat ke jendela
sebelum itu terjadi. Ia memeriksa jendela yang terbuka. Gerakanku yang seperti
angin tentu takkan disadarinya. Menghilang, itulah modeku.
Jemariku membenahi dasi merah
yang kukalungkan. Ujungnya terselip di dalam jas hitam tanpa kerutan ini.
Gedung cukup tinggi tegak berdiri di depanku, menjadi tujuanku. Pintu berdaun
duanya kemudian diikuti beberapa pintu otomatis. Aku tak merasakan sengatan
dalam diriku seperti dorongan untuk mundur. Aku bahkan tak setuju bahwa apa
yang kulakukan ini salah. Pintu itu telah berhadapan denganku.
Kuselipkan tanganku ke dalam jas.
Kotak hitam kecil, itulah yang kudapatkan. Sebuah bola mata tersimpan di
dalamnya. Mata yang telah terlepas dari kepala busuknya yang akan lebih busuk. Kode
tersimpan di dalamnya, terbaca bila laser merah telah melewati pupil di tengah
iris hitam itu. Kode berwujud kombinasi unik penyusun retina kemudian
dienkripsikan sebagai angka-angka tertentu. Dengan begitu, pintu itu
mempersilahkanku masuk.
Udara terasa menangis. Ia memberi
sentuhan dingin di seluruh permukaan kulitku. Namun ia kehilangan air matanya.
Kau harus menyalahkan mesin yang menempel di dinding itu, udara. Karenanya ia
mengubah kecenderungan alam. Seharusnya kalor bergerak menuju temperatur rendah.
Karenanya kau kehilangan titik-titik kecil air matamu. Seharusnya aku lebih
merasakan tangisanmu. Masa bodoh. Mesin itu membuatku tak acuh.
Loker demi loker kubuka. Laci
demi laci kuseret. Ia cukup mahir bermain petak umpet, tak kusangka. Fajar,
dapatkah kau memahamiku lebih dari senja?
”Untuk apa aku memahamimu? Aku mengerti perasaan senja. Ia memahamimu,
ia menangis untukmu, tapi ia selalu melihatmu menghancurkannya. Dapatkah kau
sedikit saja memahami makna sesungguhnya dari kehidupan ini?” kata fajar.
Apa perlumu berbicara untuk
senja, fajar? Kalian berdua adalah hal yang berseberangan. Kalian berdua tidak
pernah bertemu. Senja membawa malam, sementara fajar mengusir malam. Tak ada
faedah bagimu berbicara untuknya. Bahkan tak ada konsepsi yang mampu
menjelaskan kau seharusnya berbicara. Kalian bukan keberadaan yang tersusun
atas karbon. Kalian tak memiliki saraf untuk merasakan. Kalian adalah bentukan
dari dimensi, persepsi dari putaran bumi, sebuah massa yang tak ada apa-apanya
di dalam lautan ruang ini.
”Bukankah begitu sebaiknya kau memahami dunia? Kau hanya bentuk kecil
yang berjalan di dalam dimensi, termasuk waktu. Kau hanya melihat aliran di
depanmu, bukan di belakangmu. Aku adalah salah satu utusan sekaligus bentukan
dari dimensi itu. Begitu pula senja dan kami semua. Kau selalu mengotori aliran
waktu dengan tanganmu yang telah kotor dengan darah.”
Dor! Begitulah bunyi propelan
dalam senjata pada genggaman tangan kiriku, membuat proyektil terlepas dari
selongsong. Energi kinetiknya disalurkan dengan menembus dada pria yang
kedatangannya kusadari dengan cepat. Jaringan yang sobek karenanya memuntahkan
darah.
Koper berlumur darah bawaannya
memberiku sesuatu; benda yang cocok dipasangkan dengan benda lain di atas meja.
Benda itu memancarkan laser hijau, lurus mengarah ke tembok. Di sampingnya,
terbuka lubang persegi. Tabung kecil berisi cairan merah bersembunyi di sana.
Melesat bagai angin, menghilang bagai hantu, itulah yang kulakukan setelah
mendapatkannya.
Matahari sudah naik. Dia
memelototiku begitu bengisnya. Sepertinya fajar mengadu padanya. Ia merambat
sangat cepat hingga secepat apapun aku menghindar, ia menangkapku. Tentu saja
karena ia tak perlu melalui sinapsis atau dibungkus nodus renvier untuk
bergerak. Kau tak perlu menunjukkan rasa sakit seperti itu, siang. Aku telah
merasakan yang jauh lebih pedih. Rasa itu selalu bersarang dalam ingatanku, seperti
kalsium mengendap dalam ginjal.
Pria berjas hitam datang, duduk
di seberangku. Rambutnya sewarna dengan giginya. ”Jadi, kau kembali di
kehidupan lamamu? Apa kehidupan sipil tidak cocok?” kata pria itu.
”Aku tidak bisa terlepas dari
itu, Dokter. Seperti jantung yang tidak bisa terlepas dari tubuh. Meski kau
telah menarikku dari sana, jantung tetaplah jantung. Aku bahkan masih tak
paham. Bagaimana sarjana kedokteran sepertiku bisa masuk ke sana?”
”Kau tidak memiliki trauma pada
peperangan, kau justru merindukannya. Dalam kehidupan sipilmu pun, semua itu
tetap mengitarimu. Sepertinya itu telah diatur dalam genmu.”
”Genom berisi rangkaian kode yang
disusun oleh DNA. Apakah penderitaan juga diatur di sana? Setahuku itu hanya
mengatur bentuk biologis kita sebagai makhluk hidup. Aku tidak yakin ada unit
yang mengatur susunan manusia sebagai manusia.”
”Ada. Hatimu. Jangan bilang hati
yang kumaksudkan adalah liver. Hati adalah persepsi dari pikiran, bentukan dari
otak, aktivitas neuron, juga hormon-hormon dalam tubuhmu. Dopamin akan
memberimu rasa bahagia. Tapi, melalui apa kau merasakan bahagia? Hatimu.”
”Tidakkah itu memerlukan kerja
ganda?” tanyaku.
”Saat kau bergerak, sistem
koordinasimu melakukan kerja ganda, dan itu lebih mudah, kan? Manusia
memerlukan persepsi subjektif bagi diri mereka, seberapa abstrak pun itu. Tapi,
manusia sebagai manusia memang dibentuk oleh berbagai probabilitas dan
ketidakpastian, dan itu memang terasa abstrak bagi seseorang sepertimu.”
”Bagaimana dengan dirimu sendiri,
Dokter? Apa kau benar-benar bisa merasakannya?”
”Aku memang bukan sepertimu, agen
ganda yang diincar semua orang, tidak memiliki teman di dunia nyata, tapi kita
berdua sama-sama memercayai konsep pasti yang disusun berdasar logika. Hanya
saja kau masih dihitung baru dalam bermain-main dengan konsepsi abstrak seperti
itu. Kita berdua sama dan itulah alasan aku memahami perasaanmu, cintamu pada
istri dan putrimu. Itulah kenapa aku akan berusaha membantumu sepenuhnya.”
Aku membungkam diri, merogoh ke
balik jas hitamku. Tabung kecil berisi cairan merah, itulah yang kudapatkan.
Sang dokter segera
menyembunyikannya di balik jas hitamnya segera setelah tabung itu berpindah
tangan. ”Baiklah. Temui aku ketika matahari di ufuk barat.” katanya sambil
berdiri, kemudian melangkah pergi.
Setelah melakukan apa pun yang
kuperlukan, lagi-lagi aku datang kemari, ke tempat di mana aku bisa bercerita
sepenuh hati. Matahari cenderung di barat, di hadapanku. Ombak riang gembira
bergulung di bawahku, menampar tebing ini dan tak merasakan sakit. Kalau saja
itu juga berlaku untukku, aku bisa bebas melakukan aksi apa pun tanpa merasakan
sakit.
Kalau aku melihat masa lalu,
selalu merah. Aku tak memiliki perasaan khusus soal itu. Merah telah memenuhi
kehidupanku. Bagaimana pun aku mencari kesenangan, berbaur di mana pun, itu tak
pernah lepas. Aku berpikir aku mencari kesenangan, tapi kini aku sadar bukanlah
kesenangan yang kudapat.
Mengenakan jas hitam, masuk ke
tempat di mana semua orang saling sulang, beberapa sengaja meredupkan kesadaran
demi kesenangan. Itu juga berlaku bagiku, apalagi ketika berurusan dengan
orang-orang serius yang juga menyukai kesenangan ilusi. Melompat ke sana
kemari, menciptakan teman, kemudian mengubahnya menjadi pembenci. Seolah itu
semua unsur dari kesenangan, padahal pada kenyataannya kebahagiaan memiliki
nilai lebih.
Matahari semakin jatuh, ombak
semakin riuh. Kenapa kau mengecat langit dengan warna merah? Itu warna yang
menyakitkan.
”Sudah sejak dulu kita berbicara. Aku terus mendengar ceritamu, begitu
pula denganmu. Padahal kita membicarakan hal yang sama. Entah kenapa ini
terjadi khusus untukmu. Tapi, aku lebih tahu darimu. Kau adalah keberadaan yang
mengikuti aliranku.” kata senja.
Kupejamkan sejenak mataku,
kemudian bangkit.
Rumahku tak jauh dari tepian laut
ini. Ia berdiri sendiri. Dulu aku memiliki rumah, sederhana. Kemudian mengikuti
arus kehidupanku, rumahku ter-upgrade.
Tapi, hidupku berubah lagi. Kini ia dipakai oleh orang yang cukup kaya dengan
ganti beberapa lembar uang untukku. Saat itulah aku mendengar seruan laut. Itu
bukan semacam gelombang berfrekuensi tinggi seperti cara lumba-lumba
berkomunikasi. Di ujung sana, surya dengan lingkaran sempurnanya berbicara
padaku. Ini lebih seperti konsep abstrak yang kususun sendiri. Mungkin ini
adalah pengganti hati. Sejak itulah percakapanku dengan bentukan-bentukan
dimensi dimulai.
Kini rumahku menjadi cukup kecil.
Berdiri sendiri di antara hamparan tanah bercampur pasir serta tumbuh-tumbuhan
kecil. Di sanalah aku mengisi hidupku bersama putriku ketika istriku pergi.
Tidak, bukan pergi. Ia direnggut dariku. Itu hasil dari sisa kehidupanku dulu
yang tak bisa terlepas. Seperti hidupku telah mengendap di sana.
Gelap mengisinya. Tapi aku lahir
dari bayangan. Aku bisa melihat cukup jelas di dalamnya. Aku merasakan
keberadaan energi termal di sana. Ia hanya menamakkan wujudnya sebagai
bayangan, tapi aku tahu siapa itu.
Keberadaannya, perasaannya,
keinginannya, seolah aku bisa tahu semua itu. Padahal para bentukan dimensi
mengatakan aku tak akan bisa melihat arus di belakangku. Aku sadar semua hal
ada sebagai akibat dari suatu sebab, reaksi dari aksi, tapi entah kenapa ini
terjadi begitu saja.
Tapi aku ingat mereka juga
mengatakan adanya hal spesial dalam hidupku. Seolah aku bisa berada di belakang
diriku sendiri dan melihat arus itu. Sesuatu bergelayut dalam benakku, menjadi
faktor pengaruh dalam aktifitas neuronku, tapi aku belum memastikan itu apa.
”Kau ada karena suatu alasan. Aku
tidak ingin kau mengingkari alasan itu.” katanya.
Konsep logis manusia sebagai
makhluk hidup, serta konsep abstrak manusia sebagai manusia, sepertinya itu
akan berpuncak di sini. Kata-kata itu tak cukup pantas untuk diucapkan oleh
nonpencipta. Tapi, itu menyirat makna yang dapat membuat jembatan kehidupan
yang kubangun selama ini runtuh. Membuat merah dalam hidupku terasa kembali
nyata. Apakah kehidupanku hanya untuk kematian orang lain?
”Klon.” katanya.
Benar saja, jembatan itu runtuh
dalam hati yang rapuh. Apa arti kehidupanku selama ini? Segala pemikiran,
konsep, persepsi kini membuka topeng mereka. Dan kau tahu apa yang kulihat? Tak
ada apa pun di sana. Aku bahkan mulai mempertanyakan apakah aku sebenarnya
sarjana kedokteran. Namun apa gunanya. Kumantapkan mataku yang terbelalak dan
melompat kepadanya dengan pisau dari sakuku.
Lampu menyala dan itu membuatku
berhenti, membeku. Aku berada pada triple
point dalam diagram fasa. Takut, sedih, dan senang, itu ada bersamaan. Aku
tak mampu memutuskan ke mana diriku seharusnya, melihat putriku diikat di
kursi, namun ia tampak sehat. Terlebih lagi, pistol ditodongkan kepadanya. ”Aku
memiliki kehidupanku sendiri, Dokter.” kataku.
”Kau seharusnya menjadi pionku.
Kau tak seharusnya merasakan kasih sayang. Akulah, manusia sejati yang pantas
merasakannya. Kau diproses di dalam tabung. Konsep abstrak itu seharusnya
dihapuskan darimu. Aku lebih membutuhkan formula itu untuk memenuhi kebutuhanku
akan konsep itu. Tapi kau malah menukarnya dengan yang palsu dan menggunakannya
sendiri.”
Aku mengernyitkan kening dan
seolah semua energi potensial terkumpul dalam satu titik. Kekuatan, kecepatan,
kelincahan adalah aspek jasmani manusia yang kupegang erat. Kemudian aku
melepaskannya seraya melepas pisauku, meluncur ke pistol itu, menghancurkannya.
Keterkejutannya membuatnya tak menyadari tinjuku mengarah ke pipi keriputnya.
***
Yah, di sinilah aku. Ditemani
riuh hujan yang bercampur aduk gemuruh ombak serta sang utusan kilat. Merah
telah memenuhi hidupku. Bahkan itu juga terjadi beberapa menit yang lalu. Namun
sepertinya bentukan dimensi tak mampu lagi menyalahkanku. Kini aku menyadari
rahasia yang terkandung di dalamnya. Apakah aku mampu melanjutkan hidupku lagi?
Diriku yang datang dari aliran di
belakangku telah memberiku konsep itu, meski kini alam telah memilih. Namun aku
masih bertanya-tanya; apakah konsep logis dan persepsi abstrak itu berkaitan
erat? Gen yang kubawa darinya tentu memengaruhi morfologi, fisiologi, serta
anatomi tubuhku. Tapi, hati adalah unit lain. Apakah perasaannya juga
terkandung dalam tubuhku?
Kubuka tanganku yang sedari tadi
menggenggam. Istri dan putriku yang manis, kalian ada di sana. Kupikir, inilah
kebahagiaan yang ditimbulkan dari persepsi abstrak itu. Aku tersenyum.
0 Komentar:
Posting Komentar