Awan adalah tanah di sini, bisa
menopang setiap pijakan kaki. Anak itu berlarian di sana. Terasa diusap dengan
kapas lembut. Itu mengepul mendinginkan kakimu, kemudia menguap. ”Papa, Papa.
Apakah benar-benar ada negeri di bawah sana?”
”Ya, tentu saja. Di sana ada
tempat di mana bunga berkembang. Gunung berdiri dengan tegak. Lautan terhampar
dengan luas.”
”Apa papa pernah pergi ke sana?”
”Ya, tentu saja. Dulu Papa
tinggal di sana.”
”Apakah benar-benar ada naga yang
bisa menyemburkan api di sana?”
”Naga? Ha...ha...ha... Tidak,
Nak. Hal seperti itu tidak ada di dunia ini.”
”Apa Papa sudah menyusuri setiap
tempat di sana?”
”Hmmm, belum juga. Tapi, Papa
tahu. Seseorang memberi tahu Papa.”
”Bagaimana dengan Menara Tinggi?
Apakah itu juga dongeng?”
”Kalau itu bukan dongeng. Itu
benar-benar ada. Meskipun tak semua orang memercayainya.”
”Apakah Papa pernah melihatnya
sendiri?”
”Ya. Orang itu juga yang
memberitahu Papa tentang menara itu. Duduklah. Papa akan menceritakannya kepadamu.”
Seandainya kau bisa datang ke
sini, kau akan mendapati sesuatu yang lain. Rumput terhampar begitu luas,
seluas batas pandang matamu. Awan-awan indah selalu menggulung di atasnya. Setiap
orang selalu memandang langit setiap harinya, berharap bisa menginjakkan kaki
di kapas lembut yang beterbangan itu.
Hanya satu sungai yang mengaliri
tanah ini. Kabut tebal menggumpal di atasnya setiap hari. Sungai itu membelah
tanah menjadi dua daerah. Di sebelah barat disebut X, sementara bagian timur
sungai disebut X’. Tak hanya lebar, sungai ini juga deras. Bayangkan saja, kau
berlayar di atasnya, berharap bisa menyeberanginya sejauh jarak X ke X’, yang bernilai
sekitar seratus meter. Tentu saja jarak yang kau tempuh lebih besar dari itu,
tergantung seberapa cepat perahumu berlayar. Sayangnya, teknologi paling baik
di sini hanya bisa membawamu berlayar dengan kecepatan satu meter tiap
detiknya.
Tak banyak yang bisa menyeberangi
sungai ini. Bahkan, sudah hampir sepuluh tahun tak ada yang mampu
menyeberanginya. Orang pertama yang menyeberanginya adalah seorang pria yang
diusir dari barat. Orang-orang barat percaya bahwa dia pasti mati. Tapi, takdir
tidak berkata demikian. Dia mampu bertahan, kemudian menginjakkan kaki di
timur, sesuatu yang dianggap sangat baru.
Ternyata, dia bukanlah yang
pertama kali menginjakkan kaki di sana. Dia bertemu dengan Hutan, seorang
wanita yang kini dikenal dengan nama Abadi.
”Namaku Hutan. Itu karena aku
mendapat tugas untuk menjaga hutan di sini.” katanya, ketika pertama kali
mereka bertemu.
”Siapa yang memberimu tugas? Aku
tidak melihat ada orang lain di sini.”
”Memang tak ada orang lain di
sini. Aku mendapat tugas dari seseorang yang aku belum tahu nama dan wujudnya.”
”Bagaimana kau bisa mendapat
tugas dari seseorang yang bahkan belum pernah bertemu denganmu?”
”Tapi, dia benar-benar ada dan
dialah yang memberiku takdir itu. Dia datang dari tempat yang disebut Menara
Tinggi.”
Itulah pertama kalinya orang dari
X mendengar tentang Menara Tinggi. Mereka berdua menikah dan membangun
peradaban baru di sana, yang mereka namai X’. Lambat laun, peradaban semakin
berkembang dan sejajar dengan peradaban yang mendahuluinya, X. Orang-orang yang
penasaran melakukan pencarian terhadap Menara Tinggi. Kisah itu pun hanya
menjadi legenda.
Hutan meninggal jauh setelah
suaminya meninggal, yaitu seribu tahun. Bukan karena tua. Ia tak bertambah tua
sedikit pun. Itu karena ia dibunuh dalam sebuah peristiwa perang saudara. Penerusnya
mengabadikannya dengan sebuah bintang yang bersinar terang, yang disebut Cahaya
Abadi. Kisah tentang Menara Tinggi pun menjadi mitos, dan semakin hilang.
Kembali ke masa kini. Seseorang
mengapung di atas sungai. Pandangannya menatap tajam sebuah pohon yang
dilewatinya. Apa yang dilakukannya? Satu,
dua, tiga, empat, lima! Ia menghitung detik dalam hatinya. Pohon itu kini
sekitar lima puluh meter di belakangnya. Oh,
jadi begitu, kata orang itu dalam hatinya.
“Jadi, berapa jarak terpendek
yang harus ditempuh dari X’ ke X?”
kataku.
”Hm... biar kuhitung dulu.” Orang
itu merenung. ”Sekitar seribu meter?”
”Ya, benar. Akhirnya kau
mengerti. Tapi, itu masih sekitar.” kataku.
”Ya, aku mengerti itu sekarang.
Tapi, aku masih belum mengerti. Kenapa aku tak bisa melihatmu? Bagaimana
wujudmu?”
”Tentu saja tidak. Kau tak mampu
melihatku karena aku berada di dimensi yang berbeda denganmu.”
”Dimensi yang berbeda, ya? Aku
masih belum paham. Huh, sudahlah. Kapan kita bisa sampai ke X? Kenapa harus ada
kabut menyebalkan ini, sih.”
”Kabut ini sangat berperan dalam
takdir dunia ini. Lagipula, lebih seru bukan, berlayar di antara kabut?”
”Ya, seru. Dan menakutkan.
Bagaimana kalau kita tersesat? Semua selalu begitu.”
”Kali ini tidak. Kau tidak akan
tersesat.”
”Ya, aku percaya padamu. Sudahlah
aku mau tidur.”
Setelah beberapa saat, perahunya
menyenggol daratan. Ia pun membuka mata. Tampak kantuk masih menempel di sana.
”Sudah berapa lama ini? Tiga jam? Aku biasanya lupa waktu kalau sedang tidur.”
”Semua orang juga begitu. Tapi
tenang saja. Kau hanya tidur satu menit.”
”Satu menit? Aku akan butuh tidur
lagi.”
”Baiklah. Sampai di sini, kau
melanjutkannya sendiri.”
”Apa? Aku tidak bisa melakukannya
tanpamu. Kenapa aku harus sendiri?”
”Ya... tidak ada alasan yang
pasti. Hanya saja, cerita ini butuh konflik.” Aku pun pergi.
”Hei, tunggu!” Ia memanggil, tapi
aku tak memberinya jawaban. Aku hanya memperhatikannya dari kejauhan, meski ia
tak dapat memperhatikanku. Ia menghela napas, sepertinya pasrah.
Setelah kaki berlapis sepatu botnya masing-masing mengayun sekitar
lima ratus kali, gerbang raksasa menyambutnya. Tembok besar nan tebal
mengapitnya. Setelah melewati seleksi oleh penjaga gerbang, akhirnya kota itu
memasuki penglihatannya. Kota megah yang selama ini hanya ia dengar sebagai
suara. Kota yang telah lama menjadi legenda. Kota di mana para raja agung
dikuburkan. Kota di mana segalanya dimulai. Kota yang orang-orang menyebutnya
sebagai pusat X. Kota yang juga memiliki nama Siti.
Meski peradaban di X’ telah
berkembang dengan baik, peradaban di sini tampak lebih maju. Orang-orang
menyusuri jalan dengan kereta kuda. Desainnya tampak memiliki ciri yang berbeda
dengan desain kereta di timur, meski ada beberapa kesamaan. Tentu saja, karena
peradaban di timur berasal dari sana.
Bangunannya pun demikian. Setiap
rumah berwarna putih dan selalu memiliki pilar di depannya. Pilar itu berbentuk
lingkaran yang semakin ke atas, jari-jarinya semakin besar. Kalau kau bingung,
bayangkan saja seperti grafik logaritma natural. Entah dari mana ide bangunan
seperti itu datang.
”Pak, apa Anda tahu dimana Menara
Tinggi itu?” tanyanya hampir kepada setiap orang yang dijumpainya. Sekitar 70%
menggelengkan kepala, 20% berkata tidak tahu, sisanya tidak peduli.
Kisah tentang Menara Tinggi
memang telah sampai di sana. Beberapa orang dari timur dulu menyeberangi
sungai, membawa kisah itu sebagai dongeng. Namun, dongeng itu tak menjalari
masyarakat barat dengan baik. Justru yang menjadi daya tarik adalah bagaimana
ada orang datang dari dalam kabut. Mereka kemudian berusaha lebih keras untuk
menyeberangi sungai itu. Dalam program penyeberangan seratus orang, delapan
puluh orang tewas, sebelas luka-luka kemudian tewas, yang lainnya luka-luka
tapi selamat. Sejak saat itu, mereka saling mengetahui peradaban masing-masing.
Kabut hampir mengisap matahari
dilihat dari sini, sebuah bangunan yang cukup tinggi. Ia hanya memandangnya,
namun ada keputusasaan di wajahnya. Angin menyapanya, namun ia tak membalas.
Hal yang paling ia inginkan adalah apa yang masyarakatnya paling inginkan;
menginjakkan kaki pada awan di atas sana, serta melihat hujan yang masih
menggantung. Itu pasti akan menyenangkan.
Tiba-tiba pintu di belakangnya
terbuka, dua orang pria berseragam menatap tajam dan berjalan ke arahnya.
Mereka memegang lengannya kemudian menggeretnya ke dalam sana. Ia sempat
menolak, tapi sebuah pukulan merobohkan kesadarannya.
”Siapa kau? Apa urusanmu dengan
Menara Tinggi?” kata seseorang yang berdiri di depannya ketika ia terbangun.
”Aku akan menemukannya.”
”Hal itu tidak ada.”
”Tentu saja ada. Dia sendiri yang
mengatakannya kepadaku.”
”Legenda Sang Penulis? Orang yang
bisa mewujudkan tulisannya menjadi nyata? Orang itu tidak benar-benar ada.”
”Tentu saja ada.”
”Dulu pernah ada yang datang dan
membawa kisah itu. Dongeng itu mengacaukan negeri ini. Sejak saat itu, aku
bersumpah untuk menepis kisah itu dari sini. Gantung dia!”
Dua orang pasukan di dekat sana
kembali memegang pundaknya, kemudian menyeretnya. Semua usahanya untuk
melepaskan diri tak ada artinya. Namun, takdir tak mengijinkan mereka untuk
membunuhnya. Kedua pasukan itu tiba-tiba terjatuh.
”Apa yang terjadi?” Pria
misterius itu kebingungan.
Seseorang muncul dari dalam
kegelapan, berjalan lambat. ”Kenapa kau tidak percaya pada kisah itu? Kisah itu
benar-benar ada. Buktinya, kisah ini ada. Apa kau tidak apa-apa, El?”
Ia menghela napas. ”Akhirnya kau
datang.”
”Ya. Ini sesuai takdir yang
tertulis. Aku hanya ingin pamer.” Orang itu akhirnya menampakkan diri dalam
cahaya. Pria berkaus hijau kekuningan dan berkaca mata. Ia tak tampak
mengerikan.
”Siapa kau?” Pria itu terheran.
”Aku adalah Sang Penulis yang kau
sebutkan itu.” Ia masih terus berjalan. ”Namaku Arsyad Maulana Dzulqornain.”
Ya, aku membuat wujudku sendiri dalam kisah ini untuk menemui karakter
ciptaanku ini.
”Jadi, itu namamu?” tanya El.
”Ya. Baru kalian berdua yang
melihatku. Namun, ini bukan wujud asliku. Kalian takkan mampu melihatku secara
langsung karena aku berada di dimensi lain.”
”Hmh, mari kita buktikan.” Dia
melesat, menyeret pedangnya, segera menusukku. Aku pun terjatuh. ”Sang
Penulis? Yang benar saja. Kalau memang benar, aku telah membunuhnya.”
”Benarkah?” Suaraku muncul dari
belakangnya. Ia tampak memandangku dengan kesal, apalagi ketika ia melihat
tempatku terbaring sebelumnya dan tidak ada apa pun di sana. Ia kembali
menyiapkan pedangnya.
”Sudahlah. Kau takkan bisa
mengalahkanku. Takdirmu ada di tanganku. Akulah yang mengaturnya. Aku bisa
menjadikan tulisanku menjadi kenyataan di sini.” Seketika pedang itu melesat
dan menusukku. Aku tak merasakan apa pun. ”Ayolah. Apa yang terjadi di sini
adalah sesuai kehendakku. Aku telah menentukan alur ini, takdir ini.” kataku
sambil mencabut pedang itu dari perutku. Tak ada darah yang keluar. ”Aku
memberi diriku kemampuan seperti yang aku inginkan dan aku memberimu kelemahan
seperti yang aku inginkan.” Aku melempar pedang itu padanya, dan dengan
kehendakku dalam kisah ini, pedang itu membelah diri menjadi dua dan menusuk kedua
sepatunya. Dengan kehendakku, pedang itu tak melukainya. Ia hanya tak bisa
bergerak.
Aku menghilang, kemudian muncul
tiba-tiba di hadapannya. Tentu hal itu membuatnya kaget. Tanpa aksi apapun,
kubuat dia melayang tinggi hingga kedua sepatunya terlepas dan tertinggal di
tanah. Setelah cukup tinggi, aku menjatuhkannya.
Ia menjerit, sampai aku
menghentikan kejatuhannya. Ia hanya mengambang di udara. ”Turunkan aku!”
katanya.
”Kukira kau takut diturunkan.”
Aku pun menurunkannya perlahan. ”Baiklah. Aku akan memberi tahu kalian berdua
tentang Menara Tinggi.” Setiap sisi ruangan sedikit demi sedikit menjadi abu,
beterbangan mengelilingi kami, membentuk pusaran angin. Abu-abu itu kemudian
membentuk sebuah ruangan yang baru, gedung yang baru.
”Jadi, inikah Menara Tinggi?”
tanya El.
”Sebenarnya, aku bisa membuat
Menara Tinggi di mana pun di dunia ini. Sin, apa kau juga ingin pergi ke suatu
tempat?”
”Bagaimana kau tahu namaku?”
”Sudah kubilang. Semua yang
terjadi di sini sesuai dengan alur yang telah kugariskan. Kau adalah hasil dari
imajinasiku, hasil tulisanku, ciptaanku”
”Tidak. Aku tidak akan
meninggalkan kotaku.”
”Ya, aku mengerti. Kau memang
mencintai kotamu. Bagaimana denganmu, El? Apa kau siap untuk pergi?”
”Ya. Tapi, boleh aku bertanya
satu hal?”
”Kau pasti akan bertanya, ‘kenapa
kau membantuku sampai sejauh ini?’ Baiklah, aku jawab saja langsung. Aku ingin
kau membuka kisah baru di sana. Seperti bagaimana kisah baru di X’. Kau akan
bertemu seorang wanita di sana, namanya Hujan. Kau akan menikahinya dan membangun
peradaban baru. Sebut saja Y.”
”Baiklah, aku mengerti.” Ia
tersenyum
”Duduklah di kursi itu.” Aku
menunjuk sebuah kursi di tengah ruangan.
Ia mendudukinya, dan setelah itu
energi dahsyat datang dari langit, mengenainya. Ia seolah diisap dalam kumpulan
cahaya aneka warna itu. Kemudian, dia menghilang.
”Jadi, Papa pernah bertemu Sang
Penulis?” tanya anak itu.
”Ya. Papa adalah orang pertama.”
”Apakah aku juga bisa bertemu
dengannya?”
”M... entahlah. Tapi, dia
menyerahkan negeri Y padaku. Kita harus mencoba membangkitkan kisah tanpa dia
terlibat di dalamnya. Kalau dia terlibat lagi, semua terlalu mudah menjadi
beres. Kita harus melakukannya dengan usaha kita sendiri.”
Anak itu mangut-mangut.
Arsyad M.D.
0 Komentar:
Posting Komentar