Ketika kau berlayar di waduk ini
sore hari, pandanglah segala yang mengelilingimu. Kau akan mendapati dirimu
sedang dikepung pepohonan. Jangan menatapnya terlalu dalam, karena kau akan
mendapati mereka tiba-tiba bergerak. Bahwa alam memiliki lantunan nada dengan
jutaan warna, bahwa gunung melahap surya selayaknya kantung semar menjebak
serangga tak hanya kau nikmati sebagai deretan kata ini. Kau mungkin berpikir
kau juga akan mendapatkannya di lain tempat. Bisa jadi. Tapi, kau tak akan
mendapati seorang wanita yang berlari mengitarimu di tempat lain.
Jangan berharap kau akan mendapat
jawaban dari pertanyaan darimana datangnya, karena ia selalu muncul tanpa salam
peringatan. Terima saja, karena bahkan kuantum mengizinkan kemungkinan kau
tiba-tiba berpindah dari bumi ke mars.
Siluet kelapa melambaikan tangan
kepadanya, mendapatkan balasan serupa bersama senyuman persahabatan. Barangkali
ia tak mengerti bahwa pohon itu takkan memahaminya.
Sedari datangnya, telapak kakinya
telah polos. Dalam sudut pandangnya, butiran dalam pijakannya serupa dengan
dirinya. Jutaan tahun bergulat dengan unsur alam lain hingga padat susunan
kristalnya diremas hingga serapuh perasaannya. Entah bagaimana dalam sudut
pandang si hasil erosi.
Diam saja dan duduk di sana, tutup mulutmu! Kamu takkan pernah mengerti.
Sebenarnya kamu ini apa? Ia tiba-tiba
berkata demikian dalam hatinya. Tak ada yang bicara dari tadi. Entah kepada
siapa ia bicara, tak ada pendengar nyata. Tiba-tiba ia melesat. Tiada aba-aba bersedia, siap, mulai sebagaimana
hari-hari para pelari. Bukan jogging yang ia lakukan. Berlari, terus berlari,
begitulah dia. Ia takkan berhenti kalau itu baru separuh, tiga perempat, sembilan
persepuluh, atau sembilan-puluh-sembilan perseratus keliling waduk itu.
Sulit dibayangkan Dewi Logika
mampu melaluinya. Itu adalah sebutan yang pantas baginya. Alam mengilhaminya
dengan deretan angka, hingga mereka selalu berjajar rapi dalam perenungannya.
Orang biasanya ditaklukkann oleh pikiran, tapi ia mematahkannya.
”Indah bukan, bagaimana caramu berekspresi? Melontarkan seluruh tekanan
dalam hatimu seperti ketapel. Kau membuat dirimu menjadi seperti mereka.
Menyimpan energi potensial kemudian melepaskannya menjadi bentuk lain.”
Kata-kata itu tiba-tiba muncul tanpa sumber. Hanya bergema begitu saja dalam
hatinya. Terdengar seperti seorang anak yang bicara, tapi tak sekalipun ia
mengerti itu apa. Tapi ia bukanlah anak kecil. Kau akan paham jika kau terus
mendengar suara itu seperti dirinya.
Sang dewi ini memiliki nama lain
Ima. Kata sederhana yang sering bergema di telinga mereka yang berikatan
dengannya. Adakah yang seperti itu baginya? Mungkin setiap langkahnya adalah
jelmaan angka, namun dalam hatinya, emosi yang berlapis lapis mengitari dengan jutaan
putaran di tiap detiknya, seperti elektron.
Pernahkah kau mendengar kisah
mengenai elektron dari Bohr? Taksiran awan negatif pengitar inti. Apa yang
terjadi jika gelombang berfrekuensi tertentu mengenainya? Maka ia akan menjauh
dari inti, berpindah ke tingkat energi di atasnya. Bagaimana jika ia berpindah
lagi ke tingkat di bawahnya? Maka ia akan memancarkan gelombang.
Begitulah kiranya hati manusia, begitu
pula hati Ima. Segala yang terjadi di dalamnya berubah bentuk menjadi aksi
nyata sel-sel penyusun tubuhnya. Gerak, keringat, air muka. Energi, itulah
intinya. Seberapa besar yang ia buang ke lingkungan adalah seberapa besar yang
berkecamuk dalam dirinya. Aturan Tuhan ini orang sebut sebagai Hukum Termodinamika
I.
”Mengapa entropi dalam hatimu terlampau besar? Jika kau hanya menyimpan
semua itu sementara ruang dalam hatimu tetap, tekanan akan meningkat dan akan
merusak ikatan antarsel hatimu dan melukaimu. Apa kau berusaha memahami perasaan
alam sebagaimana kau memahami perasaanmu sendiri?” Suara itu bergema lagi.
Suara anak kecil, perempuan.
Dalam kehidupan sehari-harinya,
orang mendapatinya sebagai seorang wanita tenang. Senyum hangat tidaklah sepi
jika bersamanya. Ia juga dapat tertawa jika ada canda gurau yang merangsang
hatinya. Percayalah, kau akan betah jika bercakap-cakap dengannya. Tutur bukan sekadar
kata jika itu keluar dari mulutnya. Perasaan sering kali berosilasi dan
merambat bersama suaranya.
Hanya itu yang orang tahu
tentangnya. Mereka takkan pernah menggapai perasaan Ima yang sebenarnya, karena
ia tak sekalipun menampakkannya. Lubuk hatinya mengerti secara spontan kapan ia
harus bersikap normal dan kapan harus melontarkan energi potensial yang
terkandung di dalamnya. Hukum aksi-reaksi seolah mendapat pengecualian karena
mereka takkan dapat membalas sebanding dengan apa yang Ima berikan.
”Mereka memperlihatkan segalanya padamu. Kau memahami mereka dan kau
merasa mereka akan memahamimu. Alam mengandung keindahan dan kau tahu itu. Alam
adalah jelmaan matematika dan kau juga tahu itu. Apa lagi yang kau coba pahami
darinya?” Suara itu lagi-lagi terngiang dalam pikirannya.
Tes! Kau mungkin akan mendengar suara
itu kalau saja angin tak mendesir, kalau saja burung tak bernyanyi, kalau saja daun-daun
kelapa tak saling bergesekan satu sama lain. Berkas cahaya jingga mengenainya
sebelum hancur karena batu yang ditimpanya, berkilau. Matanya terpejam, diremas
otot-otot dahinya. Titik lain mengembun darinya, kembali memancarkan kilauan
bintang.
Tiba-tiba, buk! Ia terjatuh. Beruntung daerah berbatu besar lagi tajam telah
tertinggal jauh di belakang. Beberapa butir pasir memasuki matanya, membuatnya
harus menggoresnya hingga memerah.
Sebuah suara meledak mengalahkan
lantunan nada alam. Ima menjatuhkan sauh menahan perasaannya, kemudian bergegas
menuju sumber suara. Tak heran jika tangis itu seolah uranium yang membelah. Ia
hanyalah seorang anak-anak, satu fase metamorfosis manusia yang rentan akan
luka.
”Maaf, Dik. Adik terluka?” Ia
memegang erat tubuh anak perempuan itu, menegakkannya. Ia tak lebih tinggi dari
perutnya. Tangan halusnya dengan lembut mengusap butiran tanah yang terikat
adhesi dengan kulit dan pakaian anak itu. Tangis belum mereda.
”Sini, Kakak gendong.” Ia kembali
memegang erat tubuh anak itu, mengangkatnya lebih tinggi, kemudian memeluknya
erat. ”Ibu dimana, Dik? Kenapa Adik sendiri?” Anak itu tak memberi jawaban
selain tangis yang tak kunjung reda. ”Sayang, ayo, kita jalan-jalan.” Jemari
tangan kirinya mengusap air mata dari wajah anak itu sementara tangan kanannya
menopang berat yang cukup menguras tenaga.
Anak itu masih mengambil napas
dengan tersendat, tapi binar di matanya mulai terlihat. Cahaya yang sedari tadi
mengantri di depan garis tipis tambang embun kini memasukinya
berbondong-bondong. Sosok dengan wajah berseri yang membelakangi mentari muncul
sebagai bayangan indah di matanya. Tanpa ia sadari, gerak naik turun seperti di
kapal terjadi padanya mengiringi setiap langkah yang Ima ambil.
Ima memberi tutur-tutur hiburan
bagi anak itu selagi ia menyusuri seluruh sisi waduk. Harapan akan bertemu
seorang yang peduli membara di hatinya. Ya, ia telah mengisap cukup banyak
oksigen untuk mendukung reaksi pembakaran itu.
Setiap sudut ia datangi.
Kepalanya muncul di setiap sisi batu besar seolah bermain petak umpet.
Jingga di barat telah sepenuhnya
padam. Gelap di timur menjalar menyelimutinya. Gradasi warna di langit telah
diaduk-aduk dengan kuas kuasa alam hingga menjadi hitam pekat. Sabit emas telah
menggantung berseri ditemani kawan-kawan kecilnya.
”Orang tua Adik dimana, ya? Dari
tadi nggak ketemu nih.” Ima mulai risau.
”Orang tua? Apa itu orang tua?”
Ima hanya menatapnya tak
mengerti. Anak seusianya seharusnya mengerti apa arti ibu, ayah, atau keluarga.
Atau mungkin ia memang tak pernah mengenali mereka? Ima mengambil langkah baru
sekiranya menginjakkan kaki di setiap butir tanah di sekeliling waduk takkan
berhasil. ”Kita ke rumah Kakak dulu, yuk.” katanya sambil tersenyum.
Hanya bayangan yang menyambut
kepulangannya. Inikah yang ia rasakan? Hanya ditemani nyala lentera setiap
harinya. Api bahkan hanyalah bentuk energi, tercipta dari minyak yang menyambut
kemudian berikatan dengan oksigen, bukan berikatan perasaan dengan manusia. Ima
tetap tersenyum kepadanya.
”Kenapa tidak ada siapa-siapa di
sini?” Anak itu mulai buka mulut.
”Yah... semuanya telah... pergi.”
Ima lesu, kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali cerah. ”Kita lihat
bintang aja, yuk. Hari ini begitu cerah.”
Ima menggelar tikar menyelimuti
rerumputan kecil di depan rumahnya. Ia tak ingin merasakan sensasi perbedaan
suhu tubuhnya dengan rerumputan yang dingin. Mereka terbaring bersama di sana,
menikmati pesona antariksa yang baginya tak hanya memancarkan cahaya, namun
juga pesona angka. ”Indah, ya? Seperti gula.”
”Hm? Gula?” kata anak itu.
”Maksudmu sukrosa? Bagaimana mungkin hidrogen bertekanan tinggi disamakan
dengan sukrosa yang wujudnya kristal?” kata anak kecil itu.
Ima terperanjat. Seorang anak
yang tak memahami makna keluarga bahkan memahami konsepsi alam yang sedemikian
rupa. Siapa sebenarnya anak itu?
”He...he... ya, sukrosa. Glukosa
dengan fruktosa. Tentu saja. Aku bingung bagaimana aku bertemu denganmu.
Seperti ini telah direncanakan.”
”Begitu banyak konsep alam yang
terwujud dalam bilangan, bukan? Ruang bertemu waktu, kemudian saling rajut.
Itukah inti dari segalanya? Inti dari rencana?” kata anak itu.
”Ya. Susunan yang begitu
teratur.”
”Apakah Kakak memiliki teman? Di
kehidupan nyata, maksudku.”
Ima termangu. Bola matanya
semakin redup, lebih redup dari magnitudo bintang yang berada pada jutaan
paralaks ditambah efek resapan dari berbagai debu yang bertebaran di antaranya.
”Ya. Mereka teman-teman yang baik dan aku menyayangi mereka. Apakah kamu pernah
merasakan kehilangan?”
”Kehilangan? Apakah seperti
ketika ketika atom kehilangan elektronnya dan menjadi ion positif?”
”Namun tidak begitu. Kehilangan
tidak memberikan sesuatu yang positif bagiku.” Matanya kembali berembun. Ikatan
yang ia bentuk bersama sesama manusia lebih dari bagaimana ikatan antarmanusia
pada umumnya. Tak sekadar singgung antarorbital atom, melainkan saling tarik
menarik dengan kuat, tumpang tindih seolah ikatan sigma, membentuk sesuatu yang
baru. Sesuatu yang apabila kemudian itu terlepas darinya, ruang dalam hatinya
seolah orbital yang kosong.
”Apakah ikatan begitu indah?”
Ima tersenyum, masih menambang
air mata. Pandangannya jauh ke atas, menambus bintang-bintang menuju tepi
semesta, menerobosnya. ”Ya, begitu indah. Mereka bisa mengubahmu menjadi
sesuatu yang baru. Kamu bisa membayangkannya seperti hibridisasi orbital.”
”Hmmm... sepertinya aku juga
harus memiliki ikatan. Tapi dengan siapa ya? Apa Kakak mau berikatan denganku?”
Ia mendongak menatap wajah Ima.
Ima balas menatapnya dan tampak
kebeningan tercipta di antaranya. ”Ya, tentu saja. Sepertinya kita telah
terikat.” Suaranya bersembunyi di balik angin. Tangannya membelai rambut licin
anak itu, kemudian mendekapnya. ”Kamu anak yang lucu. Kakak belum tanya, siapa
namamu?”
”Aku tidak tahu.”
”Tapi kamu harus memiliki nama
sebagai penanda. Itu akan mempermudahmu membentuk ikatan.”
”Ya, aku paham. Seperti atom
dengan satu proton bernama hidrogen, atom dengan sembilan proton bernama
fluorin. Mereka berikatan dengan kuat, ya? Kalau begitu, aku ingin memiliki
nama...” Anak itu menimbang-nimbang. ”Ima!” katanya.
”Tapi, itu namaku.” Kata Ima.
”Tapi, aku ingin memiliki nama
itu.” Anak itu merengek.
”Baiklah. Kalau begitu, kita
berdua adalah Ima, setuju?”
”Setuju.” Ia tersenyum lebar.
Langit tak pernah lelap. Tentu
saja, karena ia bukan keberadaan yang tersusun dari karbon seperti mereka yang
diselimutinya. Kebetulan hari ini 21 Maret, titik Aries. Bukan berarti bintang
ini akan terlihat. Justru ketika ini Aries mustahil terlihat.
”Jadi, inikah yang kau coba pahami?” Suara itu kembali bergema di
pikiran Ima.
”Diam! Pergilah dari mimpiku! Jangan menggaggu kebahagiaan yang sedang
kualami!”
”Ternyata kamu tak mengerti, ya. Apakah kamu mencoba memahami tentang
luka?”
”Luka di hati. Itu tak seperti luka di tubuh. Bagaimanapun aku
memahaminya, luka seperti itu tak pernah bisa terwujud secara logika. Darimana
sebenarnya datangnya luka? Itu seperti bilangan imajiner, tapi bukan. Luka itu
nyata, ada.”
”Dari sinilah keberadaanku, keberadaan kita, bukan begitu. Dari dunia
dimana akar min satu datang.”
”Aku terwujud oleh realita, dan kau bukan.”
”Aku hanya berusaha menemanimu. Apa kamu tidak mengerti? Keberadaanku
ada karena keberadaanmu. Dan aku terwujud seperti luka yang terwujud dalam
hatimu.”
Segalanya kemudian memudar,
dan...
Kedua matanya terbuka, segera.
Emas berkilau di timur sana dengan cahayanya sendiri, seolah menyapa selamat
pagi. Tiba-tiba, semak-semak bergesekan. Ia menatap ke kirinya dan Ima kecil
sudah tak ada di tempatnya. Terlonjak, jiwa dan raganya terbangun sepenuhnya,
kemudian melangkah cepat ke belantara.
Ini adalah jalan yang biasa
dilaluinya. Jalan yang selalu menuntunnya menuju perwujudan ekspresinya.
Gesek-gesek dedaunan semakin menggeser posisinya, menuju pintu cahaya.
Sampailah ia di ruang terbuka.
Tempat di mana air yang hijau karena lumut menggenang. Tempat daun kuning
berlayar karena tegangan permukaan. Tak hanya daun ternyata, namun sampan kecil
juga mengapung bersamanya. Sampan dimana seorang anak berpakaian putih berdiri
di atasnya. ”Ima!” Seru Ima, berharap Ima kecil akan berpaling dari posisinya.
Tiba-tiba, sampan itu hancur begitu saja hingga Ima kecil masuk sepenuhnya
dalam air. Jantung Ima berdegup semakin kencang, mengalirkan adrenalin yang
konsentrasinya meningkat drastis.
Ia segera mengambil langkah,
berlari seperti biasanya. Energi potensial yang terkandung di dalam dikeluarkan
sepenuhnya. Ketika ia berada di tepian yang cukup dekat dengan tempat Ima kecil
tenggelam, ia masuk dalam air, berenang ke arahnya. Namun, pandangannya semakin
buram. Gerakannya semakin lambat. Tenaganya dikalahkan oleh air, kemudian
raganya dilahap. Dengan keremangan cahaya di dalam sana, ia masih bisa menatap
Ima kecil yang tak jauh darinya. Ia mendapati Ima kecil yang tenggelam tak
berdaya, dengan kelopak mata mengatup, namun bibirnya tersenyum.
***
Orang-orang berkerumun di tepian
waduk. Beberapa kemudian datang mengangkat tubuh yang telah dilahap air. Kuyup.
”Waduk ini telah tercemar. Kandungan ion mangannya sangat tinggi.” kata salah
satu orang itu.
”Apakah ada orang lain yang
tenggelam?”
”Tidak. Dia sendiri.”
***
Di tempat yang cahaya tak
mencapainya, suara Ima kecil terdengar. ”Aku
adalah Ima. Dan aku datang dari dunia di mana akar min satu datang.”
Arsyad M.D.
0 Komentar:
Posting Komentar