Jarum jam
berdetak. Berbunyi tiga kali. Tiga pagi ini hawa dingin menjalari kamar.
Dinding seolah berembun. Langit-langit berderak. Kayu. Kayu tua dan lama di
atas kamar kecil itu sudah minta ganti sejak lama. Tak ada orang peduli. Tak
ada yang mengganti.
Pukul tiga
sebelas menit. Sunyi sekitarnya. Gelap bayang di hadapannya. Silhuet meja,
kursi, lemari, bertumpuk di matanya. Padahal semua benda itu berdiri satu per
satu di tempat masing-masing.
Dia memandang
jemu. Pada sekitarnya. Pada meja kayu lingkaran itu. Dia teringat saat itu.
Ketika seorang wanita melempar salah satu vas ke arahnya. Memang pecah, tapi dia
tak mempedulikannya. Wanita itu tak muncul lagi sejak saat itu. Sepi pun
melanda. Dia merasa telah mengusirnya.
Kakinya
menuntunnya ke pintu, membukanya. Hembus dingin hanya memperkantuk matanya.
Tapi dia bertahan.
Seseorang
berdiri di sana. Kepalanya tertutup tudung mantel hitam. Tangannya memeluk
diri, seolah ini musim dingin seperti di barat sana.
Dia sempat berharap
wanita itu adalah dia. Dari belakang tampak mirip. Wanita itu
berbalik menampakkan mukanya. Ternyata bukan. Tentu ada kekecewaan, tapi dia bersedia menyambut ketika
wanita itu berjalan ke arahnya.
”Kau Alvin?”
”Ya. Ada
apa?”
”Ikuti aku!”
Jalan cepat, wanita itu menuju mobil merah di sana. ”Ayo!” Wanita itu membalik
muka mengetahui Alvin hanya diam.
Dengan celana
pendek dan kaus santai seperti itu, tentu setiap orang merasa tak pantas untuk
bepergian. Tapi dia penasaran dan tidak enak untuk mengabaikannya. Sudah
diputuskan. Dia akan ikut.
”Siapa yang
menyetir?” tanya Alvin yang duduk di kursi belakang, di samping wanita itu.
”Kau.”
”Aku? Aku
bahkan tak tahu kemana kau akan membawaku. Aku bahkan tak mengenalmu.”
”Aku
membawamu? Tidak. Kau yang akan membawaku.”
Alvin terdiam
bingung. Tapi melihat tatapan memaksa wanita itu, dia keluar, membanting pintu.
Dia kini berada di kursi depan, menyalakan mobil. ”Baik. Kemana?”
Wanita itu
tak menjawab. Dia hanya berkonsentrasi pada ponsel dalam genggamannya.
Sesuatu
bergetar di paha Alvin. ”Ini milikmu? Ada pesan.”
Wanita itu
masih tak menjawab.
Menyebalkan, pikir Alvin. Tanpa ijin yang tak berguna lagi, dia membuka
pesan itu. Lorong, kata itu saja yang
tertulis di pesan. Apa dia tidak bisa
bicara? kata Alvin dalam hati. Ngotot kesal dia menggerakkan tuas dan
menginjak gas.
Keluar dari
lantai tanah, ban mobil kini menginjak aspal. Tak seperti pagi biasanya.
Penjual sayur di tepi jalan selalu dapat mengisi kekosongannya. Kali ini, semua
terlewat begitu saja. Beberapa kali Alvin melirik ke kaca. Wanita itu masih
saja fokus pada ponsel.
Jalan di sisi
kiri seolah tak dipedulikan. Orang cenderung memilih melewati jalan kanan yang
lurus. Hanya angin yang menemaninya menukik ke dalam terowongan itu. Sunyi.
Hanya cahaya lampu yang setengah-setengah menerangi.
Dia berhenti.
Bunyi kesunyian mengisi telinga. Bahkan angin takut untuk berbisik di sana.
”Baiklah, kita sudah sampai. Sekarang apa? Jangan bilang kau hanya mau sopir
gratis.”
”Kenapa kau
membawaku ke sini?”
”Kau yang
memintaku.”
”Aku tak pernah memintamu.”
”Tapi, pesan
itu…” Alvin terdiam kesal.
”Pesan apa?”
”Baik,
katakan saja apa yang harus kulakukan!”
Wanita itu
keluar, menutup pintu.
”Hei, jangan
pergi begitu saja! Apa kau ingin aku menjaga mobilmu selagi kau pergi?”
”Mobilku?
Siapa bilang ini mobilku.” Wanita itu berpaling. Ponselnya dia simpan di tas merah
di cangkingannya, mulai melangkah.
”Jadi, kau
mencurinya?” teriak Alvin hingga suaranya menembus kaca mobil yang
masih tertutup. Dia berpikir telah membantu kabur
seorang pencuri.
Wanita itu
tak peduli. Dia
menuju sebuah ruang kosong.
Kesal, Alvin
keluar mengejarnya. Ketika dia buka pintu itu, tak ada orang di dalam sana.
Yang ada hanya goresan-goresan cat yang tak tertata. Kursi dan meja tak ada
yang utuh. Lampu neon hanya berkedip-kedip dengan periode tak tentu. Tak ada pintu lain untuk keluar. Wanita
itu pergi seperti hantu. Atau, dia memang hantu?
Sementara
waktu Alvin berada di dalam ruangan itu, menyusurinya. Benar-benar tak ada
siapapun. Dia mulai gelisah. Dia lebih memilih kembali ke mobil merah itu.
Mobil itu tak seperti mulanya. Ada coretan putih di
mana-mana. Sekedar coretan, tak membentuk apa pun. Dia terkejut, tapi
tak mempedulikannya. Setelah masuk, dia menginjak gas dan melesat secepatnya.
Kemunculannya dari lorong seperti kapal Flying Dutchman yang naik ke permukaan.
Bumi seolah tak bergerak. Kesunyian masih menemani. Dia baru sadar.
Ponsel yang dia
tinggalkan di sana tak ada di tempatnya lagi. Sepucuk surat menggantikannya. Dia
membukanya. Hanya satu kata, Lurus. Dia
menginjak rem sekuatnya, berhenti. Dia mulai berpikir. Seseorang telah
memasukkannya ke dalam permainan. Siapa dalangnya, dia penasaran.
Alvin benar-benar memaknai kata lurus itu secara detail. Tiga buah pertigaan, lima buah perempatan,
dan dua jalan melingkar dia
lewati. Itu termasuk jalan kecil yang belum terlapis aspal. Memang sial, atau
ada makna lain? Mobilnya mogok di jalan, kehabisan bensin. Pepohonan
mengepungnya. Tak ada apa-apa. Tadi dia sempat melihat sebuah toko yang menjual bensin eceran
cukup jauh di belakang. Dia
berjalan ke sana.
Ketika dia kembali, sesuatu kembali berubah. Mobilnya ada
tiga dalam satu baris. Merah dengan coretan putih. Memang coretan itu acak,
tapi dia tak
dapat membedakannya. Pintu di ketiga mobil tak terkunci. Semua kehabisan
bensin. Setelah diperhatikan, diantara coretan-coretan itu, ada coretan yang
membentuk sesuatu. Itu menarik perhatiannya. Dia mengisikan bensin ke mobil
itu, lantas mengendarainya dan meninggalkan dua mobil lain.
”Jangan menengok!” Sebuah suara muncul dari belakang.
Jantungnya
berdegup kencang. Alvin merasakan todongan pistol tepat di belakang
kepalanya. Dia baru menyadari tidak ada cermin yang menggantung seperti mobil
sebelumnya.
”Terus jalan!” Pria bersuara berat itu memaksa.
Tak ada pilihan lain, Alvin terus menjalankan mobilnya.
”Sia...”
”Diam! Terus jalan!”
Benar-benar terdesak. Dia tak dapat melakukan apa pun
lagi. Tidak selama mulut pistol itu menempel tepat di belakang kepalanya.
Selama perjalanan, si penodong terus memaksanya berjalan
kemana pun yang dia inginkan. Dia tinggal berkata kanan atau kiri.
”Berhenti!”
Alvin menginjak rem sekuatnya. Sesuatu dilempar dari
belakang, jatuh di kursi di samping Alvin –sebuah pistol.
”Lima menit lagi bus akan berhenti di halte itu. Ada seseorang
yang akan turun. Kau harus membunuhnya dengan pistol itu.”
Alvin terkejut. Jantungnya berdegup lebih kencang lagi. ”Kalau aku
menolak?”
”Maka kau yang akan mati.”
”Aku orang yang berpengalaman. Aku bisa juga membunuhmu.”
”Aku tahu siapa kau. Tapi, sebelum kau sempat, aku akan
menarik granat dan menghancurkan seluruh mobil.”
Alvin semakin terpojok. Belum pernah dia membunuh orang
seumur hidupnya. Tak ada keputusan yang dapat dia ambil. Haruskah dia mengotori
tangannya dengan darah untuk mencegah darah? Dia bahkan belum sanggup untuk
menggenggam pistol itu. Hanya ada dua pilihan. Membunuh, atau dibunuh.
Sepertinya dia telah masuk ke dalam sebuah permainan yang sulit. ”Jika aku yang
membunuhnya, kau tetap akan ditangkap. Seseorang akan mengenali mobil ini dan
melaporkannya.”
Sesuatu kembali dilempar menjatuhi pistol tadi.
Alvin mengambilnya. Itu STNK. STNK mobil ini. Tertera
namanya di sana. Pria itu lebih cerdas dari yang Alvin kira. Dia menyiapkan
segalanya dengan matang. Jika polisi melacak mobil itu, tentu Alvin yang akan
ditangkap. Pilihannya semakin sulit. Mati, atau hidup dalam bayang-bayang
kesalahan.
”Apa lagi yang kau bantah? Ayo, mainkan permainannya!”
Alvin benar-benar tak bisa membantahnya lagi. Semakin
berjalannya waktu, semakin dia gelisah. Dia harus menentukan pilihannya dalam dua
menit ini. Dua menit yang dapat menjadi akhir hidupnya. Dia teringat dengan wanita tadi. Mobil
itu bukan mobilnya, itu lah yang dikatakan wanita tadi. Mobil itu miliknya,
sesuai dengan apa yang ada di STNK itu. Artinya, wanita itu ada hubungannya
dengan si pembunuh ini. Tapi bagaimana?
Bus putih pucat berhenti di sana.
Getar kaku tangan Alvin meraih pistol itu. Keputusannya
masih belum bulat. Masalah ini melibatkan nyawa. Tapi, dia tidak ingin
kehilangan nyawa. Belum. Ada keinginan yang timbul beberapa hari terakhir ini
dan keinginan itu belum dapat dia penuhi. Dia ingin bertemu wanita yang
melemparnya dengan vas beberapa hari yang lalu.
Bus putih itu memutar rodanya kembali. Dari baliknya,
muncul sesosok manusia yang sedang berdiri –seorang wanita. Mengejutkannya,
wanita itu adalah dia. Wanita yang selalu bersama Alvin. Wanita yang bersamanya
mengucap janji satu tahun lalu. Wanita paling sabar yang pernah dia temui.
Tapi, orang sabar yang marah akan lebih mengerikan dari seorang pemarah yang
marah, seperti beberapa hari yang lalu. Saat wanita itu melemparnya dengan vas.
”Bunuh aku.” Alvin menjatuhkan kembali pistol itu, pasrah.
Kesunyian kembali menyelimutinya. Bahkan suara gesekan kecil dapat dia rasakan.
Gesekan dari bergeraknnya pelatuk pistol. Sebuah sengatan sempat dia rasakan.
”Tamat.”
Alvin membuka matanya. Dimulai dari segaris tipis. Dia
terbangun dari tidur panjangnya. ”Apa? Siapa itu?”
”Sudah tamat. Aku membaca novel sampai tamat untuk
menunggumu bangun.”
Sesosok wanita duduk di sampingnya. Sekali lagi dia
bertemu dengan seseorang yang tak dikenalinya. Lebih mengejutkan lagi, dia
masih hidup. Dia juga berada di mobil yang sama. ”Seharusnya aku sudah mati.”
”Kenapa sih, ada seseorang yang tidak menikmati
hidupnya?”
”Apa? Tidak. Aku bukan tipe bunuh diri. Maksudku,
seseorang telah membunuhku.”
”Mimpi buruk. Itu sering terjadi.”
”Jam berapa sekarang?”
”Lihat ini!” Wanita itu menyodorkan lengannya yang
berhias jam tangan mewah. 11:03. Sudah lama sejak terakhir dia sadar.
”Kau orang misterius ketiga yang kutemui hari ini.”
”Hm?”
”Wanita yang kutemui tadi ada hubungannya dengan
pembunuh...” Sesuatu menyangkut di pikiran Alvin. ”Oh, tidak!” Kedua tangannya
meremas kepalanya sendiri. ”Katakan! Apa ada pembunuhan yang terjadi hari ini?”
”Entahlah. Aku jarang membaca koran.”
”Katakan, dimana posisi kita!”
”Kenapa kau jadi memaksaku begitu? Ayo, sebaiknya kita ke
tujuan kita!”
Alvin menginjak gas dan membanting stir, berputar seratus
delapan puluh derajat.
”Eh... eh... eh...” Wanita itu berusaha mempertahankan
posisinya meski sabuk pengaman telah siap melindungi.
Gang elit menjadi tujuannya. Di sana, rumah-rumah dengan
bentuk sama tertata rapi. Satu rumah dengan rumah lain berbatas pagar alami.
Harmonis. Di antara
banyak rumah itu, satu rumah menjadi tujuan khususnya. Dia berhenti tepat di
depannya. Setelah turun, dia sempat kaget coretan-coretan putih sudah tidak ada
lagi. Tapi dia tak peduli.
Dia membuka pintu rumah. Ada seorang wanita, tapi bukan
wanita yang dia inginkan. Dia adalah wanita pertama yang dia temui hari ini.
”Kenapa kau di sini? Kau pasti bekerja sama dengan si...”
Seseorang muncul dari balik tirai hijau. Itu adalah dia.
Wanita yang ingin dia temui. Tak ada kata-kata yang dapat diluncurkan. Alvin
seolah membeku. Seolah dia
sedang terbawa arus sebuah teater indah. Dia berjalan pelan sambil mencoba
memahami apa yang terjadi. ”Arini...” Dia memandang seperti melihat hantu.
Wanita itu, Arini, hanya tersenyum tipis.
Alvin mempercepat langkah, memeluk erat kekasihnya itu.
Arini balas memberi pelukan. Keduanya secara tak langsung sepakat untuk bersama
lagi. Sepercik api yang
tersisa kini benar-benar padam.
”Arini!” Suara seorang pria memecah perasaan Alvin. Pria
itu muncul dari balik tirai hijau, sama seperti Arini.
Meski sebenarnya tidak, Alvin merasa mengenalinya. Bukan
dari mukanya, melainkan suaranya. Suara itu pernah membuat hidupnya hampir
berakhir. Alvin menatapnya seperti bagaimana dia menatap Arini. ”Kau... suara
itu...”
”Dia kakakku.” kata Arini. ”Maaf telah membuatmu
mengalami hari yang sulit.”
”Apa maksudnya?”
”Ada banyak lorong di kota ini dan kau memilih lorong
itu. Ada tiga mobil dan kau memilih mobil itu. Artinya, kau masih
mengingatku. Kenangan
kita. Dan aku tahu kita berdua ingin kembali, hanya tidak tahu bagaimana. Maaf atas apa
yang kulakukan saat itu.”
Alvin tersenyum. Permainan ini tak sesulit seperti dalam pikirannya dan
dalangnya tak sejahat seperti dalam pikirannya.
0 Komentar:
Posting Komentar