Titik-titik iman yang bagai embun
berhias kerlip kilau membasahi hatinya, hingga merembes ke lubuknya yang
terdalam. Apa yang membuat ia di sini dengan pedang di sisinya? Maka ia keluar ketika langit terlelap. Titik
kilau itu ia pancarkan ke laut, kemudian ia melihat pantulannya. Sang Khalik
kemudian memberikannya kembali gambaran itu. Seketika kilau itu menjadi nyata
di matanya, kembali membasahi laut.
Ia tidak menyadari sebuah
bayangan ikut keluar. Muncul dari dalam sana, dari keremangan lentera-lentera
yang menggantung atau tegak bersama tiang. Kini bayangan itu mendekat di
belakangnya. Tapakan kakinya di dek tak membuahkan suara yang berarti di
telinga. ”Hai, prajurit. Apa yang membuat dirimu keluar ketika cahaya memudar?”
Ia tertegun, segera menghapus
embun dari matanya. ”Oh, Panglima Thariq. Adakah tugas yang harus saya
kerjakan?”
Thariq bin Ziyad, panglima gagah
berani, orang yang sekaum dan sesuku dengannya, terdiam sejenak, kemudian
berjalan ke arahnya. Dipandangnya langit yang sama. ”Kita baru saja
meninggalkan Maghribi. Aku tak ingin satu hal pun mengganggu konsentrasi satu
pun pasukanku. Ada apa gerangan yang membuatmu tak bisa tidur?”
”Apakah Allah akan memaafkan apa
yang telah diriku perbuat, wahai Thariq?” tanyanya bersama kesyahduan membasahi
matanya.
”Apa yang telah engkau lakukan?
Ceritakanlah.”
”Saya pikir tidak ada salahnya
jika saya menceritakan kepada Anda. Apalagi kita sama-sama berasal dari suku Berber.
Saya adalah pembantai kaum muslimin di Maghribi.”
Thariq bin Ziyad dengan binar di
matanya memperhatikan sang pasukan. Rambutnya menari-nari bersama angin di atas
selat itu.
Putih mendominasi Rabat, berlapis
jingga kecoklatan karena sang mentari di ujung barat. Panas yang sedari siang
menjalari setiap sisi kini menarik satu demi satu sulurnya. Beberapa orang Berber
masih berkeliaran di kota, sementara mereka yang telah barada dalam pengaruh
islam melakukan hal yang sama dengan apa yang orang-orang Arab lakukan
–meninggalkan aktivitas dan bersiap menghadap Sang Pencipta.
Salah seorang tentara Umayyah
melakukan demikian pula. Ia bersama yang lainnya menjalankan solat berjamaah di
sebuah masjid. Kemudian ia keluar. Tugasnya telah digantikan tentara lainnya.
Ia berjalan menembus rentetan bayangan menuju rumah dan keluarga yang
senantiasa menunggunya.
Sayangnya hari itu berbeda.
Sekelompok orang dengan pedang di masing-masing mereka tiba-tiba menariknya. Mereka
mengikat tangan dan kakinya sehingga gerakannya
terkunci. Mestinya ia merasa gemetar.
Salah seorang dari mereka pun
melempar tanya, ”Apa kau merasa takut, orang muslim?”
”Kenapa aku harus merasa takut?”
”Kau sebentar lagi akan mati.”
kata si pembunuh lagi sembari menarik pedang dan ujungnya menunjuk tepat di
depan mata si prajurit.
”Kenapa aku harus takut pada
kematian sementara ada siapa yang lebih aku takuti daripada itu?”
”Dan siapakah itu?”
”Tuhanku.”
”Jangan memakai topeng omong
kosong yang mengatasnamakan Tuhanmu seperti itu. Keinginan kalian orang muslim
hanya menginjak-injak tanah kami.”
Kemuadian pedang menusuk
jantungnya, nyawanya melayang bersama iringan jihad fi sabilillah, ideologi yang telah agamanya tanamkan kepadanya.
Darah memancar, membuat noda merah yang lebar di bajunya, juga mengalir di
sekujur tubuhnya, hingga membuat genangan pekat di lantai.
Kemudian mereka tinggalkan jasad
yang telah diselimuti angin itu. Pedang yang masih ternoda dengan darah tidak
ia bersihkan, tapi langsung dimasukkan ke dalam sarungnya. Mereka masuk ke
dalam bayangan.
Orang-orang menemukan tubuh tanpa
nyawa itu paginya. Segeralah mayat itu dibersihkan, dikafani, kemudian
dikuburkan. Sedihlah keluarga yang ia tinggalkan –seorang istri dan seorang
putra. Meski sang ayah pernah berkata bahwa ada yang lebih patut dicintai
daripada dirinya, air mata tetap tak terbendung.
Di kemudian hari, peristiwa itu
menjadi bukan satu-satunya. Tragedi selanjutnya terjadi. Mayat lain, pelaku
yang sama. Mayat itu juga ditemukan dalam posisi kaki dan tangan terikat,
kemudian lantai bersimbah darah. Bukan hanya tentara Umayyah, melainkan warga
sipil juga. Secara umum, pembunuhan ditujukan kepada orang-orang muslim.
Awalnya orang-orang Arab saja, kemudian menjalari orang-orang muslim Berber.
Bahkan, setelah itu pembunuhan semacamnya tidak hanya terjadi di Rabat, namun
menjalar ke timur mengikuti garis pantai utara Maghribi.
Dapat disimpulkan bahwa
pembunuhan itu terjadi di tempat-tempat tertentu; tempat-tempat yang tak
seorang pun mengunjunginya. Si pembunuh juga bergerak semakin ke timur. Maka
para petinggi muslimin memperketat penjagaan. Tentara diperketat, warga sipil
pun semakin menjaga diri.
”Wahai pembunuh, apa yang
membuatmu melakukan hal yang sedemikian keji?” tanya seorang ulama yang menjadi
sasaran pembunuhan.
”Apa aku harus menjawab
pertanyaan itu?”
”Tentu saja. Perbuatan yang
seperti ini dapat membuatmu mendapat siksa di neraka. Tapi Allah pasti
memaafkanmu jika kau mau bertaubat. Jangan kau kotori masa mudamu ini dengan
dosa-dosa seperti ini.”
”Jangan sesumbar dengan omong
kosongmu. Ideologi kalian orang-orang muslim yang kalian bawa dari Tuhan kalian
hanyalah kematian. Pedang ini satu-satunya yang ayahku tinggalkan sebelum
kalian merenggutnya. Ini adalah pesan balas dendam.”
”Orang-orang muslim tidak akan
membunuh tanpa alasan. Hal yang demikian tidak dicontohkan oleh Rasul kami. Lagipula,
orang-orang Berber telah berbondong-bondong masuk islam.”
”Diamlah!” Si pembunuh pun
menusukkan pedang yang telah sering menyentuh darah itu. Darah suci menempel
pada ukiran di pedang itu, menghilangkan kilaunya. Darah juga mengubah warna
pakaian putih tanda suci menjadi merah tanda pengorbanan.
Sang ulama itu adalah mayat
terakhir, setidaknya untuk beberapa hari. Si pembunuh sepertinya tak beraksi
lagi untuk waktu yang lama dibanding interval antarpembunuhan yang sebelumnya terjadi.
Tiada lagi hal yang membuatnya terjadi selain meningkatnya keketatan pengawasan
pasukan Umayyah di segala penjuru Rabat, bahkan seluruh Maghribi.
Terlepas dari peristiwa ini,
masalah lain terjadi di tanah Maghribi.
”Apa yang terjadi?” tanya Uqbah bin
Nafi, sang gubernur.
”Orang-orang Berber banyak yang
meninggalkan islam.” jawab salah seorang petinggi Maghribi.
”Maksudku, apa yang membuat
mereka melakukannya?”
”Sepertinya mereka belum bisa menerima
islam sepenuhnya, wahai Uqbah.”
Orang-orang Berber kini banyak
yang murtad. Hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Mereka juga pernah masuk,
kemudian keluar islam, kemudian masuk lagi. Kini, mereka keluar lagi. Tak hanya
itu. Orang-orang Berber ini juga melakukan pemberontakan untuk beberapa kali.
Inikah buah yang sang gubernur dapat dari setahun penaklukannya?
Si pembunuh kemudian memanfaatkan
kesempatan ini. Ia menyusun rencana bersama kelompoknya untuk menjatuhkan
pemerintahan Umayyah atas suku Berber. Maka, mereka mengadakan pertemuan di
suatu daerah di luar Rabat.
”Inti dari semua ini adalah si gubernur,
Uqbah bin Nafi yang dulu menundukkan suku Berber.” kata si pembunuh.
”Ya, aku setuju. Kita sebaiknya
mengakhiri hidupnya.” kata salah seorang temannya. ”Dimana dia saat ini?”
”Tentu saja di Ifriqiyyah. Pusat
pemerintahan mereka. Qairuwan.”
Maka, bersiaplah mereka. Mereka
menyiapkan segala perbekalan untuk menembus panas dalam jarak yang panjang.
Pedang dan senjata lain dibersihkan, diasah. Malam itu juga, mereka berangkat
dengan kuda.
Semua kekacauan yang sedang
dialami orang-orang Umayyah ini benar-benar membantu bagi mereka. Ketika
orang-orang Berber membangun kekuatan, mereka juga harus membangun kekuatan.
Maka sekian jauhlah konsentrasi mereka pada pembunuhan-pembunuhan yang telah
terjadi, karena ada kematian lain yang lebih terang-terangan terjadi. Apalagi,
tak satu pun orang pernah menjadi saksi atas kematian-kematian yang si pembunuh
dan kelompoknya ciptakan.
Dengan berbekal pakaian-pakaian
selayaknya pedagang Arab, mereka menembus berbagai daerah. Ketika mereka
temukan sejumlah pasukan Umayyah di suatu daerah, mereka melewatinya dengan
tenang. Tak satu pun orang menyadari bahwa mereka sekelompok pembunuh.
Si pembunuh juga merupakan orang
yang cerdas dan lihai bersembunyi. Hal itu terbukti ketika ia jumpai prajurit
Umayyah di siang hari. Ketika ia ditanya siapa dirinya dan kelompoknya itu, ia
menjawab, ”Kami hanyalah para pedagang biasa.”
Namun, prajurit Umayyah itu masih
memiliki kecurigaan terhadap mereka. Kemudian diceknya karung yang dibawa si pembunuh.
Karung itu adalah karung yang pembunuh gunakan untuk menyimpan senjata-senjata
mereka. Gemetarlah anggota si pembunuh yang berjumlah empat orang itu, namun
tidak bagi si pembunuh sendiri. Ternyata si prajurit membiarkan mereka terus
berjalan.
Keempat anggotanya dibuat
terheran karenanya. Padahal mereka yakin, di sanalah mereka menyembunyikan
senjata-senjata mereka. Ternyata, apa yang dilihat si prajurit adalah setumpuk
gandum. Si pembunuh telah menyiapkan hal ini ketika mereka istirahat di malam sebelumnya.
Itulah yang membuat si prajurit percaya bahwa mereka hanya membawa gandum.
Keberuntungan berpaling darinya.
Di suatu malam, ia melihat seorang prajurit Umayyah yang sedang sendiri.
Teringat kembali ia pada ayahnya, ketika suatu malam mereka sendiri dan datang
sekelompok orang berpakaian selayaknya orang arab menggeret ayahnya,
meninggalkannya sendiri. Emosinya memuncak dan ia hendak melakukan hal yang
sama.
Mereka mendatanginya diam-diam,
kemudian mengepungnya. Namun, si prajurit lebih tangkas dari siapapun yang
pernah dihadapinya selama ini. Lima lawan satu, seharusnya menang lima. Tapi
kali ini imbang, untuk sementara. Datanglah prajurit lain yang menyadari hal
ini. Bantuan datang, mengubah perbandingan. Lima lawan belasan. Menyadari tak
bisa menang, si pembunuh dengan kelompoknya lari dengan kuda mereka. Sayangnya,
salah satu anggota berhasil ditangkap, dan mereka membiarkannya. Kekhawatiran
kini mulai ia rasakan, meski Qairuwan sudah dekat.
Dengan penuh kehati-hatian, empat
orang itu tetap berhasil menjejakkan kaki di Qairuwan. Di depan sana adalah
kediaman sang gubernur. Saat itu adalah tengah malam. Waktu yang paling tepat.
Dengan kehati-hatian yang sebagaimana ia berhati-hati sejak kejadian itu,
mereka mendekatinya.
Satu hal yang lupa ia
perhitungkan, penjagaan kini lebih ketat. Kata lainnya, para prajurit telah
menunggu kehadiran si pembunuh di sana. Tingkah laku mencurigakan mereka
langsung membuat seorang prajurit memergoki mereka. Datanglah prajurit lainnya.
Rencana mereka telah gagal dan kini mereka harus beradu pedang dengan beberapa
prajurit. Semakin lama, kekalahan mereka semakin pasti. Kembali mereka mengendarai
kuda secepatnya.
Dalam pelarian, ketiga anggotanya
yang tersisa tertangkap. Kini ia sendiri. Rasa takut yang bercampur amarah
mengaduk-aduk hatinya, membuatnya tak peduli pada apa yang terjadi di
sekitarnya. Ia hanya harus menjauh, terus menjauh, bahkan tanpa tahu ke arah
mana ia menjauh.
Ia terus berlari sampai ia
menyadari bahwa ia tiba di sebuah gurun. Ia semakin ke selatan. Para prajurit
tak lagi menjangkaunya, itulah yang membuatnya dapat bernapas lega. Baru
setelahnya, ia teringat akan teman-temannya. Amarahnya semakin memuncak dan
rasa ingin balas dendamnya pun meningkat.
Terlepas dari para prajurit tak
membuatnya terlepas dari masalah. Para prajurit tak menjangkaunya, namun ia
kini tak dapat menjangkau sumber kehidupan. Kemana pun ia menuntun kudanya, tak
juga ia menemukan air. Matahari semakin tinggi, semakin panjang pula sulur
sinarnya, dan semakin kuat sengatannya. Si pembunuh hanya terjemur seharian
penuh di gurun itu. Tanpa air, tanpa makanan. Bagaimana ia dapat bertahan?
Dua hari ia terkurung di gurun
ini. Hanya berjalan ke sana kemari, berharap ada sesuatu yang dapat memuaskan
dahaganya. Umurnya yang masih sangat muda ini yang membuatnya belum pernah
menjelajah sampai ke sana. Satu-satunya yang dapat ia lakukan hanya berjalan ke
utara. Namun, itu akan membuatnya tertangkap prajurit Umayyah.
Sore hari, ia turun dari kudanya,
berjalan terhuyun-huyun ke arah sebuah tebing, menjatuhkan diri. Ia hanya
terbaring, menatap langit, sampai sebuah pemandangan menarik perhatiannya.
Seseorang dengan pakaian orang Arab sedang menuju utara dengan untanya. Kain
menutup seluruh mukanya, selain tentu saja kedua mata. Orang muslim, pikir si pembunuh, yang kemudian memutuskan untuk
membunuhnya. Selain itu, ia pasti membawa perbekalan.
Si pembunuh berlari ke sebuah
batu, bersembunyi di baliknya. Ketika orang itu melewatinya, ia akan segera
menyargapnya.
Maka hal itu terjadi. Ia melompat
ke atas unta, sehingga penunggangnya terjatuh. Keduanya berguling, si pembunuh
memberi beberapa pukulan. Si pembunuh kemudian menarik pedang dari sarungnya
dan mengayunkannya pada si penunggang. Si penunggang ternyata juga membawa pedang
dan ia menepisnya. Entah kenapa, tiba-tiba ia menjatuhkan senjatanya, padahal
seharusnya ia dapat menepis serangan selanjutnya. Mata pedang pun menembus
perutnya. Darah bercucuran, terserap oleh tumpukan pasir tebal di bawahnya.
Tubuhnya tergelepar.
Penunggang telah dibereskan,
saatnya mengambil seluruh hartanya. Ia juga mengambil pedang si penunggang. Baru
setelah itu ia perhatikan sungguh-sungguh pedang itu –sangat mirip dengan
pedangnya, bahkan sama. Ia semakin dibuat penasaran oleh si penunggang yang
bahkan sudah mati itu. Ia membuka kain yang menutup muka si penunggang, dan
ketika itu, ia terperengah. Lututnya lemas. Ia tak sanggup berdiri. Kedua
pedang yang sama itu jatuh, saling silang, sementara dirinya terbaring tanpa
daya sejajar dengan si penunggang.
”Kau membunuh ayahmu sendiri?”
tanya Thariq yang bukan dengan amarah pada si mantan pembunuh, melainkan rasa
empati.
”Ya, wahai Thariq. Tanganku telah
dipenuhi oleh dosa, dan yang terakhir adalah kejahatanku yang paling
mengerikan.”
”Musa kini benar-benar menanamkan
nilai-nilai islam kepada orang-orang Berber, termasuk dirimu. Dan kau kini
memiliki posisi seperti prajurit yang telah kau bunuh. Kalau kau benar-benar
menanamkan nilai seperti bagaimana mereka menanamkan nilai-nilai islam di hati
mereka, maka Allah akan memaafkanmu. Dan buktikan bahwa kau sama berharganya
dengan mereka.” Thariq terenyum dan menepuk pundak si prajurit, kemudian ia
berbalik, berjalan.
”Oh, iya. Siapa namamu?” Thariq
sementara menghentikan langkahnya.
”Walid bin Ghafar.”
Arsyad M.D.
0 Komentar:
Posting Komentar