Naga yang seperti ular raksasa terbang bahkan tanpa sayap tepat di atas
Desa Domo. Ia menghirup napas, kemudian menghembuskan dengan mulutnya. Yang
muncul adalah api. Panasnya menghanguskan apapun yang dikenainya: pepohonan,
binatang, rumah penduduk, juga penduduknya. Mereka berhamburan, yang mampu mencoba
bertahan dengan melempar tombak juga meluncurkan anak panah. Namun, itu semua seolah
tak ada artinya. Satu-satunya kesempatan adalah menggunakan pedang pusaka yang
telah mereka simpan sekian lama. Salah seorang penduduk melemparnya, kemudian
memasuki mulut naga. Naga yang tadinya menggeram mengerikan kini memberi
jeritan kesakitan, memekakkan telinga. Ia terbang berputar-putar tanpa aturan
sebelum akhirnya menjauhi desa. Di tengah hutan, ia roboh. Naga yang mulutnya
menganga itu menjadi batu, dan terciptalah Gua Naga.
Ia melompati batu besar itu dalam
satu lompatan. Tenaganya kini berkali-kali lipat daripada saat ia kemari
sebelumnya. Matanya menatap tajam hingga dapat menusuk siapapun yang ia tatap.
Jejakan kakinya menghancurkan tumpukan daun kering yang ia lalui. Ia memukul
setiap ranting rendah yang menjadi penghalang baginya hingga banyak ranting
jatuh di sepanjang jalannya. Tampak di depan sana Gua Naga.
Tempat itu dulu selalu ramai.
Setiap hari, selalu ada yang datang. Bahkan, orang dari desa seberang pun
dipersilahkan. Mereka bersorak girang memberi semangat kepada orang yang
berusaha mencabut pedang itu dari sana. Tawa selalu mengiringi gua itu. Ketika
seorang di antara mereka menggeser sedikit saja pedang itu, yang lainnya akan
terkejut dan menambah teriakan penuh semangat mereka. Namun, nyatanya pedang
itu masih menancap di sini. Gua Naga telah ditinggalkan oleh semua itu.
Kegagalan mereka menyurutkan asa. Tak ada
yang dapat mencabut pedang itu, begitulah anggapan penduduk, paradigma yang
mencegah setiap jiwa yang hendak mencoba.
”Pedang itu dapat membuat apa
yang kau inginginkan menjadi kenyataan.” Begitulah tutur tetua desa ketika
seorang pemuda penuh semangat mendatanginya.
”Aku hanyalah pria biasa yang tak
terlalu berambisi. Aku takkan mengharapkan segala yang berlebihan. Keinginanku
sederhana saja.”
”Ya. Kau mengharapkan kekayaan,
kau mendapatkannya. Kau mengharapkan kekuatan, kau mendapatkannya. Bahkan jika
kau menginginkan cinta, kau mendapatkannya. Bagaimanapun, kau memiliki tujuan
dengan mencabut pedang itu. Kau harus berhati-hati dengan keinginanmu.”
”Aku telah memastikannya.
Bagaimana untuk mendapatkannya? Kenapa tak seorang pun dapat mencabut pedang
itu?”
”Orang telah dibutakan oleh
kedamaian. Mereka hidup seolah tanpa tujuan. Mereka tak mengenal keinginan
mereka. Selain itu, pedang itu hanya dapat dicabut di saat yang tepat.”
”Dan kapankah itu?”
Sang tetua terdiam sejenak. Ia
berjalan pelan ke sebatang bambu yang kedua ujungnya terikat tali ke
langit-langit. Ia mengelus elang yang sedang bertengger di sana, sementara si
pemuda tetap menatapnya menanti jawaban. ”Kau harus mencari jawabannya sendiri.
Pergilah ke utara. Ada sebuah tempat. Tempat dimana pedang itu ditempa.”
Ketika kristal bertaburan di
langit, ketika mata malam melotot tajam, ketika itu juga ia menyiapkan kudanya.
Ia tak lebih kuat dari orang yang pernah mencoba mencabut pedang itu. Namun, ia
tak peduli. Sama halnya ketika ia tak peduli pada paradigma masyarakat. Dengan
bekal makanan seadanya, ia berangkat ke utara. Bahkan ia belum tahu pasti
dimana tempatnya.
Segala bayang menumpuk di
matanya. Lentera terus menggantung di tangannya. Ia sadar takkan menemukannya
hanya dalam sehari. Ia lebih peduli pada kudanya hingga membiarkannya
beristirahat, sementara dirinya sendiri merasa tak memerlukannya.
Di malam berikutnya, gerbang di
antara tembok nan agung berdiri tepat di depannya. ”Siapa kau?” Suara itu
muncul dari balik tembok.
Si pemuda mencari-cari sumber
suara itu sebelum akhirnya menemukan celah penghubung luar-dalam. ”Em... aku
adalah penghuni lembah yang sedang dalam perjalanan. Aku ingin mencari penginapan
untuk malam ini.”
”Penghuni lembah? Oh, masuklah!”
Decitan gerbang menyambung katanya.
Segala yang dilihatnya telah
disusun dari batu, berbeda dengan desanya yang sepenuhnya kayu. Penerangan
susunan bintang yang terperangkap dalam kaca sungguh membuat perbedaan dari apa
yang dilihatnya di sepanjang jalan. Sembari menyusurinya, ia terus menanti hari
esok.
”Kapankah angin berhembus tanpa
sentuhan?” kata seorang wanita di depannya. Bibir tipisnya memberi senyum
manis.
”Sama halnya ketika rembulan pancarkan
kegelapan.”
”Kau tak perlu merasakan segala
kesakitan itu, Amer. Kau hanya perlu merasakan dunia ini. Segalanya selalu
memiliki arti.”
”Maka itulah jawabannya. Ketika
ia datang seperti gerimis di siang gerah. Atau embun yang mengintip dari balik
daun.” Ia memegang lengan wanita itu.
Bibir merah itu tersenyum semakin
lebar. ”Duduk dalam penantian, melihat api menari dengan riang. Tak segalanya
hanya kenangan, namun segalanya dapat terkenang. Dalam semua ini, aku akan
selalu ada untukmu.”
”Amora...” Si pemuda pun
terbangun, segela beranjak dari tempat tidurnya.
Sebuah pedang berayun di
belakangnya. Entah bagaimana ia menyadarinya, kemuadia menunduk dan berguling.
Orang misterius itu mendatanginya secepat pedangnya mengayun kembali. Ia
kembali berguling menghindarinya. Orang misterius kembali mengayunkan pedang.
Ia berusaha menangkisnya dengan sapu, namun sapunya langsung terbelah. Ia
melempar sebelah tangkainya pada orang misterius itu, namun orang itu
membelahnya. Orang itu mendekatinya lagi dan ia melompat ke belakang meja,
menendang meja itu hingga segala yang di atasnya berhamburan. Orang itu
berhasil melompatinya. Ia menggapai bantal dan melemparnya, mengenai pedang
hingga kapasnya berhamburan. Ia pun melompat ke arah orang itu hingga keduanya
melayang menabrak kaca jendela dan memecahkannya. Pedang itu terjatuh. Keduanya
berguling-guling di atas lantai. Tudung yang sedari tadi menutup muka orang itu
kini terbuka, namun wajahnya masih tertutup topeng. Orang itu melempar sebuah
bola. Ketika Amer menangkis dengan tangannya, bola itu meledak menjadi asap
pekat. Ia hanya bisa menutup mata dan hidungnya dalam kegelapan itu. Ketika
asap telah memudar, orang misterius itu sudah tidak berada di tempat terakhir
ia berdiri. Ia berlari ke sana kemari mencari orang itu, sambil tetap bersiaga
untuk serangan berikutnya. Orang itu benar-benar telah pergi. Tentu saja
pertanyaan di dalam hatinya adalah, siapa
dia?
Ketika ia menatap ke atas, mata malam
masih memelototinya. Cat langit hanya bertambah biru sedikit. Ia pun kembali ke
kamarnya.
Tergeletak di sana sebuah pedang.
Ia memegang dan memperhatikannya. Kilasan tentang apa yang pernah ia lihat
muncul di benaknya. Pedang itu sangat mirip. Tapi, bagaimana bisa?
Berbekal pertanyaan, Amer
mengelilingi daerah itu hanya dengan kakinya.
”Tidak mungkin!” kata seorang
pria tua yang Amer temui. ”Pedang ini seharusnya menancap di batu dan tak
seorang pun dapat mencabutnya.”
”Ya, aku tahu. Itulah yang ingin
kutanyakan. Pedang ini tadinya menempel di Gua Naga.”
”Gua Naga? Tidak, tidak. Pedang
ini menancap di Air Terjun Layang.”
”Air Terjun Layang? Apa
Maksudnya?”
”Apa kau tadi bilang kau salah
seorang penghuni lembah?”
”Ya.”
”Jadi begitu. Ada tiga pedang
seperti ini. Pertama di Air Terjun Layang, kemudian di dasar Danau Kawah, dan
di Gua Naga. Jika salah satunya ada di sini, artinya ada yang berhasil
mencabutnya. Tapi siapa?”
”Ada orang aneh yang tiba-tiba
datang menyerangku pagi ini. Ia memakai topeng. Sepertinya, dialah yang
mencabutnya.”
”Apa!? Tidak mungkin orang itu.
Dia dulu diusir dari desa. Dia sepertinya datang untuk balas dendam. Keinginan
terdalamnya adalah kematian. Kau harus membawa pedang itu jauh dari sini. Aku
tidak ingin berurusan dengan ini.”
Amer berkuda sambil terus
memikirkan hal ini. Di tengah kegundahan itu, ia teringat akan tujuannya. Ia
hanya membutuhkan cara mencabut pedang itu. Namun, kini pedang itu ada di
tangannya. Haruskah ia menggunakannya? Atau haruskah ia tetap berusaha mencabut
pedang di Gua Naga?
Malam hari, Amer berjalan ke
selatan, hendak kembali ke desanya. Ia memutuskan untuk menggunakan pedang itu.
Ia akan menyerahkannya kepada seseorang. Tiba-tiba, hentakan kaki yang bukan
dari kudanya ia rasakan. Ketika menoleh ke belakang, penampakan jubah itu
segera merangsang pikirannya. Ia pun mempercepat laju kudanya. Namun, kuda yang
mengejarnya jauh lebih cepat. Amer pun menggunakan pedangnya untuk menyerang
musuh yang tepat di sampingnya, namun ditepis. Kedua pedang bersilangan, beradu
kekuatan. Pedang di tangan si penyerang patah, namun ia segera menghentakkan
kakinya ke perut Amer hingga jatuh berguling-guling dan cengkeramannya lepas.
Si penyerang pun turun dan segera menuju ke arah pedang pusaka. Begitu pula
dengan Amer. Keduanya bersamaan menyentuh pedang itu. Dalam tarik-menarik itu,
si penyerang melepaskannya namun segera menendang pedang ke atas hingga
melayang, menancap di dahan pohon. Si penyerang berusaha memanjat pohon, namun
Amer menggagalkannya. Keduanya beradu pukul di sana. Amer dapat dijatuhkan.
Namun, ketika si penyerang mendatanginya, Amer melempar batu ke kepalanya
hingga jatuh terbaring. Ketika itu juga, pedang yang tadinya menancap di dahan,
lepas seketika dan menusuk si penyerang yang sedang terbaring.
Si penyerang mungkin telah tiada,
namun itu tak membuat Amer semakin tenang. Kegundahannya meningkat. Selama ini
ia tak pernah mengotori tangannya dengan darah. Ia hanya menatapi tangannya
yang bergetar tak tentu. Dalam hatinya, ia terus berkata, ini bukan salahmu, ini bukan salahmu. Ketakutan yang melandanya
benar-benar menghapus segalanya. Ia segera menaiki kudanya dan berlari menjauh.
Desanya benar-benar kering
sesampainya ia di sana. Tak ada kilau mentari di atas alur yang ia seberangi.
Tak ada dedaunan yang memancarkan keceriaan. Setiap langkahnya seolah diiringi
bunyi kres! ”Pak, apa yang terjadi
dengan desa?” tanya Amer pada seorang pria yang sedang menarik gerobak berisi
dua kendi.
”Apa kau tidak tahu? Musim kering
terparah telah tiba. Hukuman dua puluh tahun lalu terulang kembali. Kalau kau ingin
tetap hidup, sebaiknya kau juga mencari air di tempat lain. Tempat yang jauh.”
Pria itu melanjutkan jalan.
Amer kembali menggerakkan
kudanya. Sebuah rumah di seberang sungai adalah tujuannya. Hanya pepohonan
bersama paduan suara alam yang menemani rumah itu. Megah dibanding lainnya. Ia
masuk tergesa-gesa ke dalamnya.
”Hari ini telah datang, ya?
Ketika angin berhembus tanpa sentuhan dan rembulan pancarkan kegelapan.” kata
seorang wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.
”Amora. Apa yang terjadi? Dapatkah
kau jelaskan kenapa embun harus menetes? Haruskah rasa selalu diiringi luka?”
”Segalanya takkan dirasa ketika
kau di sini, Amer. Kau adalah sebuah harapan. Gemerlap bintang ketika mataku
terpejam.”
”Kemanakah ayahmu pergi?”
”Ia mencari air untukku. Tapi aku
khawatir ia tak kunjung kembali.”
”Aku harus meminta maaf
kepadanya, juga kepadamu, Amora. Aku tak mendapatkan apa yang ia harapkan untuk
aku bawa.”
”Sudahlah, jangan pikirkan itu.”
Ia menggenggam tangan Amer. ”Keberadaanmu di sini lebih dari sejuta bintang.
Uhuk... uhuk...” Ia menutup kalimatnya dengan batuk.
”Amora, penyakitmu semakin parah.
Aku tidak ingin...” Ia menahannya, hanya menatap kekosongan.
”Kau tidak ingin?”
”Aku hanya ingin selalu
bersamamu.” Ia menarik diri. ”Aku akan segera kembali, Amora. Aku janji.”
Langkah pertama segera disusul dengan langkah kedua dan selanjutnya.
Angin bahkan terbelah karena
larinya. Tak ada yang bisa menghalanginya saat ini seolah ia telah memperoleh
kekuatan lebih. Rerumputan tinggi di depannya ia sisir, ular yang
menghalanginya ia tangkap dan dilempar jauh. Ia lebih memilih mendaki tanah
terjal meski ada jalan yang lebih landai.
Ia melompati batu besar itu dalam
satu lompatan. Tenaganya kini berkali-kali lipat daripada saat ia kemari
sebelumnya. Matanya menatap tajam hingga dapat menusuk siapapun yang ia tatap.
Jejakan kakinya menghancurkan tumpukan daun kering yang ia lalui. Ia memukul
setiap ranting rendah yang menjadi penghalang baginya hingga banyak ranting
jatuh di sepanjang jalannya. Tampak di depan sana Gua Naga.
Sama seperti sebelumnya, ia masuk
tak terlalu dalam ke sana dan tampaklah pedang itu. Segera ia siapkan
otot-ototnya dan menarik pedang itu sekuat tenaga. Dengan terus menegangkan
ototnya tanpa henti, akhirnya pedang itu sedikit bergeser. Tak ada yang ia
pedulikan, bahkan apa yang disebut rasa sakit. Paradigma itu akhirnya
dipatahkan. Ia mengangkat pedang itu tinggi-tinggi atas kemenangan ini.
Tak hanya pedang yang keluar dari
batu itu. Air menyembur keluar dengan deras yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya. Semburan itu dapat mendorongnya hingga berguling-guling dan hampir
jatuh ke jurang. Namun, tanpa peduli lagi, ia mengambil langkah. Baru ia
teringat sesuatu.
Setelah kiranya segalanya telah
siap, ia kembali menuju rumah Amora. Namun, sesuatu membuatnya menjatuhkan
batok kelapa berisi penuh air di tangannya. Gerak cepat ia mendatanginya.
Nadinya ia raba dan semua ternyata telah berakhir. Tak ada satu hal pun di
dunia ini yang dapat menahan air matanya. Ia merintih akan luka yang terbuka
lebar di hatinya. Tangannya menggenggam erat, seolah Amora dapat merasakannya. Tangannya
yang sebelah menggenggam erat gagang pedang yang dengan seluruh pengorbanan ia
dapatkan. Seolah itu semua tak ada artinya sekarang. Tapi, sesuatu dari hatinya
memicu ayunan pedang ke perutnya sendiri. Ketika masih sadar, ia membaringkan
diri di samping Amora, sambil sedikit demi sedikit dunia lenyap di matanya.
Arsyad M.D.
0 Komentar:
Posting Komentar