Timah, bahasa inggrisnya tin,
dalam tabel periodik disimbolkan sebagai Sn, dari bahasa latin stannum. Timah
dapat membentuk senyawa oksida yang sifatnya amfoter. Senyawa amfoter merupakan
senyawa yang dapat bertindak sebagai asam atau sebagai basa, menyesuaikan
dengan lingkungannya.
Mungkin kau menebak tulisan itu merupakan kutipan dari buku
teks kimia. Atau mungkin tulisan pada jurnal ilmiah? Tidak, itu salah. Itu dari
buku harianku, tapi bukan karena aku begitu rajin hingga menuliskannya di buku
harian.
Ini tentang seorang gadis.
Pertama kali melihatnya adalah saat aku menuju sebuah masjid.
Tak biasanya aku ke masjid itu saat maghrib. Kegelapan menyelimuti langit, tak
bersahabat. Aku berlari kecil sambil mengangkat plastik hitam untuk melindungi
kepalaku dari serdadu jarum air. Mataku secara autofocus menyapu dirinya sedang duduk manis ditemani teh hangat di
sebuah kantin. Sekedar melihatnya.
Sekembalinya aku dari masjid, murka langit telah berkurang.
Seekor kucing berdiri di bawah meja, menggigil. Gadis itu mendatanginya dengan
sebuah kardus kecil. Tanpa rasa takut atau jijik seperti yang dialami kebanyakan
gadis, gadis itu mengangkat kucing kecil itu dan memasukkannya ke dalam kardus,
seraya melindungi dari tetes yang tersisa. Dia terlalu baik. Aku saja pasti
merasa jijik kalau harus bersentuhan dengan binatang yang sedang basah. Apakah
tindakannya yang menarik perhatian langit hingga lupa akan murkanya? Dia pergi
dengan meninggalkan rasa penasaran yang lebih dalam diriku. Entah kenapa, rasa
penasaran dalam diriku begitu mengganjal dan memaksa untuk dipuaskan.
Setiap hari, selalu ada dia di kantin ini. Itu saja yang
menarik perhatianku. Terkadang, ketika aku memperhatikannya, dia menoleh ke
arahku, atau aku merasa dia menoleh ke arahku. Mungkin dia menyadari seseorang
sedang memperhatikannya. Aku hanya berharap dia tak menganggapku sebagai
penjahat yang mengintai mangsa.
Ketika seorang temannya dari jauh memanggilnya, baru aku tahu
namanya Tin. Untuk waktu-waktu berikutnya, nama itu akan terus membekas dalam
pikiranku. Padahal, aku tipe yang sulit mengingat nama. Entah bagaimana reaksi
di otakku sehingga ini terjadi.
Tak hanya di kantin, aku juga melihatnya ketika aku berjalan
di pasar. Di hari minggu. Dengan pakaian sesederhana para pedagang, dia
berkendara dengan sepeda.
Dengan sigap, aku mempercepat langkah. Aku tak boleh
kehilangan momen berharga itu. Ke mana ia pergi dan dari mana ia datang harus
aku ketahui saat itu. Dia berbelok di pertigaan. Jarak di antara kami masih
jauh. Aku khawatir akan kehilangan jejaknya. Kemungkinan itu terjadi sangat
tinggi hingga membuatku putus asa. Tanpa semangat, kepalaku muncul dari balik
sebuah toko menatap jalan kecil di pertigaan itu. Itu sepedanya. Biru polos dengan
kilauan. Tapi, Tin sendiri tak ada di sana.
Aku memasuki jalan itu, mencoba bersikap normal. Pandanganku
secara sembunyi-sembunyi mencoba mencari di setiap sudut, di setiap detail.
Pertempuran antara penjual dan pembeli bahkan tak mengusik konsentrasiku.
Padahal aku tak pernah bisa konsentrasi dengan suasana seperti itu. Kekuatan
magis apa yang dimiliki gadis itu hingga dapat membuat semua ini terjadi?
Masuk jauh ke sana tak membuatku menemukannya. Aku kembali.
Tin tiba-tiba di sampingku, berjalan mendahului. Sontak, aku terkejut.
Langkahku melambat. Dia menginjak pedal segera setelah memasukkan plastik penuh
itu ke keranjang depan. Entah apa isinya.
Hari-hari berikutnya, dia masih sering ke kantin itu. Aku
mulai hafal siapa saja temannya, laki-laki maupun perempuan. Aku berkenalan
dengan mereka satu per satu, tentu saja di luar jangkauan Tin. Sesekali aku
bercakap-cakap dengan mereka. Secara halus dan teliti, aku memancing percakapan
itu menuju pembicaraan tentang Tin.
”Apa?! Anak bupati?” Aku terkejut mengetahui siapa dia dari
salah seorang temannya. Hal seperti itu tak pernah terlintas di pikiranku.
Tadinya kukira Tin hanyalah gadis biasa anak salah seorang pedagang di pasar.
Penampilannya benar-benar menipuku. Kurasa aku mulai mengerti untuk tidak
menilai seseorang dari penampilannya.
Semakin hari, semakin rasa penasaranku memuncak. Aku pernah
melihat Tin di suatu malam, di alun-alun. Dia membawa plastik hitam yang isinya
penuh dalam cangkingannya. Apa sebenarnya isinya? Kenapa dia selalu membawa
plastik hitam yang besar seperti itu? Aku berjalan mengikuti, mengendap-endap. Sesekali
aku membayangkannya seperti Cinderella yang cantik tapi sederhana. Bolehkah aku
menjadi pangeran? Huh, bayanganku terlalu menjadi-jadi. Apa dia benar-benar
memiliki kekuatan magis hingga dapat menciptakan ilusi-ilusi seperti itu?
Suatu hari aku menemukan kebenaran lain dari diri Tin, si
gadis berkekuatan magis. Sore hari, aku melewati sebuah SMA. Keberadaan Tin
secara tak sengaja tersapu kedua mataku, berjalan bersama seorang pria paruh
baya memasuki SMA itu. Sudah jelas dia bukan ayahnya yang pasti sangat sibuk di
saat-saat seperti ini. Aku hanya terdiam, mengamati dari jauh untuk beberapa
saat.
Saat aku hendak mengikutinya masuk jauh ke sana, dia muncul
terlebih dahulu, bersama pria itu, diikuti segerombolan anak. Setahuku, itu
seragam karate. Tin dan pria paruh baya itu satu-satunya yang telah dilengkapi
sabuk hitam. Aku masih mengamati dari kejauhan. Tak dapat kubayangkan. Gadis selembut
dirinya dapat mengubah suaranya menjadi lantang memimpin anak-anak itu berlatih
karate. Gerakannya sangat lincah, bertenaga. Aku pasti kalah jika beradu panco
dengannya.
Dia benar-benar berbeda ketika itu. Mulai saat itulah, aku
mendapat ide untuk menulis tulisan itu di buku harianku. Namanya Tin, sifatnya
juga seperti tin, yang dapat memiliki
sifat berbeda, sesuai dengan lingkungannya. Jika dia timah, dapatkah aku
menjadi oksigennya untuk membentuk timah oksida? Aku mengacau lagi.
Menurut legenda, Tin telah menapakkan kakinya dari gunung ke
gunung di rangkaian pegunungan sirkum mediteranian yang ada di Jawa. Tak hanya gunung
yang tak aktif, bahkan gunung-gunung aktif pun, yang termasuk Krakatau, ia
daki. Menyeramkan. Jelas aku yang baru mendaki dua gunung seumur hidupku kalah
telak. Mungkin suatu saat nanti aku dapat mendaki gunung bersamanya.
Sapaan demi sapaan, aku justru semakin akrab dengan
teman-teman Tin. Aku dapat menyebutkan mereka satu per satu, tapi kau pasti
akan bosan. Kami memiliki rencana di akhir pekan ini.
”Apa dia ikut?” tanyaku.
”Entahlah.” jawab Arul, orang yang memiliki ide ini.
Tentu itu tak sesuai dengan harapanku. Tapi, entah kenapa aku merasa dia menampakkan hal lain di cara
bicaranya. Dia orang yang kreatif.
Setidaknya, aku memiliki alasan untuk bicara dengan Tin. Aku
bersandar di sebuah pohon. Beberapa meter di depan sana adalah kantin itu.
Dengan buku yang aku genggam, bukan berarti aku sedang membaca. Konsentrasiku tetap
ke depan sana. Menunggu. Tetes pertama telah menyambutku. Dia belum juga hadir.
Tetes demi tetes, hingga akhirnya suasana berakhir seperti saat itu. Kali ini,
tak ada yang dapat menenangkan langit. Cambuk-cambuk kilat tak ada yang
meredam. Aku terkepung. Inilah satu-satunya tempat dimana aku bisa bersembunyi
dari pasukan hujan.
Azan maghrib dikumandangkan. Dia belum hadir. Mungkin memang
tidak akan hadir. Tasku satu-satunya yang dapat kujadikan pelindung untuk
berlari di tengah-tengah penyerbuan.
Maghrib berakhir, kemudian isya’, masih saja hujan. Aku
terkurung. Langit, kenapa kau lakukan ini padaku? Mungkin langit juga sedang
mencarinya. Mungkin langit masih menunggunya dan ingin aku menemaninya
menunggu. Baiklah. Satu-satunya pilihan adalah tidur di masjid.
Aku bangun. Azan subuh belum dikumandangkan. Ketika melihat
jam, memang masih lama sampai subuh dikumandangkan. Jarum pendek hampir menunjuk
angka empat.
Aku keluar menyegarkan badan, mencelupkan badan dalam
genangan udara. Molekul-molekul udara seolah keluar masuk pori-poriku,
menggesek setiap sel dalam tubuhku. Batu-batu lingkaran sepanjang jalan aku injak
satu per satu. Kesepian ini menghiburku. Keluar dari kompleks masjid, menuju
jalan raya, dan…
Sepeda biru itu melesat cepat. Aku terkejut mengetahui itu
dia. Ketika aku berjalan cepat mengejarnya, tiba-tiba dia berhenti, turun.
”Ada apa, Mbak?” tanyaku.
Dia masih menekan-nekan ban, sejenak menoleh kepadaku. ”Aduh,
sepertinya bannya bocor.”
”Aku kenal orang yang punya bengkel di sana, tapi jam segini
masih tutup. Biar aku sms.” kataku sembari mengeluarkan ponsel.
”Kayanya aku pernah melihatmu. Namamu Ali?”
Aku terkejut. Ternyata dia menghafalku, bahkan mengetahui
namaku. ”Kamu kenal Arul?”
”Oh, iya. Kamu temannya?”
”Iya. Namamu Tin, kan? Aku pernah lihat kamu dengannya.
Sebenarnya, aku kenal banyak temanmu. Kami punya rencana mendaki Merapi di
akhir pekan.”
”Ha? Mereka mengajakku mendaki Sundoro di akhir pekan.”
Kami hanya saling tatap. Ada yang tidak beres di sini.
Terlepas dari itu, aku lega dapat bicara dengannya.
Selagi temanku menambal ban sepeda yang bocor, Tin berjalan
membawa salah satu plastik yang tadi menggantung di sepedanya. Masih tersisa
satu plastik penuh yang ditinggalkan di kursi, terasa menarikku. Balok berlapis
kertas kado. Apa isinya, aku semakin penasaran.
”Kemana kamu akan pergi?” tanyaku selepas ban sepedanya
sembuh.
”Hmmm… aku mau jalan-jalan. Sebentar, bukan jalan-jalan.
Sepedaan.”
”Kemana?”
”Tempat favoritku. Mau ikut?”
”Ril.” Aku memanggil temanku, si pemilik bengkel. ”Boleh aku
meminjam sepedamu?”
Kami berangkat setelah solat subuh. Tin mengayun sepedanya di
depanku. Sudut jalan semakin besar. Tenaga yang harus kukeluarkan semakin besar
seiring meningkatnya energi potensial. Tapi, Tin kelihatan baik-baik saja. Dia
tetap cepat. Tak hanya menanjak, jalan semakin sempit. Ada satu titik peralihan
dari jalan aspal menjadi jalan tanah. Lalu, naik turun naik turun.
Bagaimanapun, aku menikmatinya. Banyaknya pepohonan di sini begitu mendukung suasana. Beberapa tetes embun menyiramku. Dedaunan yang gugur
membuatku merasa ada bumbu keromantisan.
Aku lega. Akhirnya kami berhenti, memarkirkan sepeda. Dia
masih di depan, menaiki setiap anak tangga. Ia juga membawa balok itu. Kenapa?
Aku penasaran. Melelahkan, tapi akhirnya kami berada di puncak. Dingin, tapi
segar. Langit ungu gelap. Bintang masih terlihat bertaburan. Begitu indah.
Beberapa menit setelah itu, ada satu titik berkilau. Titik
itu muncul dari ujung timur sana. Begitu indah. Kehangatannya masih belum
terasa di raga, namun begitu terasa di hati, menciptakan sebuah keinginan. Aku
ingin merenggut hatinya.
Aku mendekatinya ketika ia mengambil foto mentari. Tiba-tiba,
ia tersandung, membuat balok yang ia pegang jatuh berguling-guling, menuruni
tangga, hampir mencapai sepeda kami.
”Biar kuambilkan.” Spontan, aku menuruni tangga. Memang
melelahkan, tapi jantungku yang berdegup kencang membuatku tak merasakannya.
Aku menolehkan pandang ke sana kemari sementara waktu karena balok itu
bersembunyi di antara rerumputan yang cukup tinggi. Itu dia. Aku menemukannya.
Lapisan kado telah rusak, terbuka. Itu balok kayu. Karena
penasaran, aku membukanya tanpa mengingat privasi. Jantungku seolah berhenti.
Itu setangkai bunga. Terlebih lagi, di dasar tangkai, ada selembar foto lelaki.
Arul.
Sumber gambar: Karolina Grabowska, pexels.com
0 Komentar:
Posting Komentar