Tak ada yang mampu menandingi
keindahan ciptaan-Nya. Tuhan sedang menyirami Kembang yang beberapa hari ini
mengering. Selalu ada kebahagiaan di sini. Meski dalam dinginnya belaian udara
yang arah geraknya berubah-ubah, meski bukan di dalam rumah. Gubuk ini salah
satunya–susunan kayu yang terkikis waktu dan rajutan bambu yang tak lagi hijau
atau kuning. Kebersamaan selalu dapat menjadi selimut dalam kondisi seperti
ini. Kehangatan tak perlu lagi dicari, namun didapatkan–di desa ini, Desa
Kembang.
Beberapa orang duduk di sana.
Pakaian mereka sama-sama lusuh, kecuali salah seorang di antara mereka, yang
paling belakang dalam usia. Ia menuangkan teh ke semua gelas yang tersedia
untuk dinikmati masing-masing mereka. Kepulan uap teh dari teko keramik klasik
itu tiada tara dalam memperhalus suasana.
Pak Kades, pria yang cukup
berusia, menarik asbak di ujung gubuk. Bara rokoknya ia gesekkan ke asbak
hingga berguguran, menghitam. ”Suasana seperti ini jadi teringat sama masa
lalu.” kata Pak Kades.
Pemuda meletakkan gelasnya yang
masih setengah penuh seraya berkata, ”Katanya, Bapak dulu pernah menjadi
arsitek, ya?”
”Pernah, tapi nggak lama. Bapak
teringat pada masa kecil Bapak dulu. Ketika pembangunan belum seperti sekarang
ini.” Dengan gaya khasnya, Pak Kades menceritakan bagaimana keadaan desanya
dulu.
***
Desa Kembang, desa yang tak
seindah dan seharum namanya, kecuali mungkin jika yang diaksud Rafflesia arnoldi. Rajutan-rajutan bambu
tua bertebaran di mana-mana. Tak satu pun rumah yang sudah menggunakan batu
bata. Kandang-kandang kerbau kotor di samping atau belakang rumah membuat
keadaan semakin buruk. Tak satu pun jalan yang dilapisi aspal. Yang ada
hanyalah jalan yang akan mengotori kaki jika hujan baru tiba. Morfologinya bisa
menjebak siapa pun yang menapakkan kakinya di sana.
Anak-anak di sini jangankan
pandai. Beberapa masih buta huruf. Namun, tetap saja satu di antara mereka yang
memiliki semangat tinggi.
Dialah Sekarmadji, seseorang yang
suatu saat nanti akan menjadi kades. Satu hal yang membuat semangatnya tetap
bertahan hingga saat ini adalah dukungan bapaknya yang tiada henti. Bapaknya
adalah bapak paling semangat di antara semua bapak di desa itu, yang kebanyakan
justru meninggalkan desa pergi merantau kemudian lenyap tanpa kabar. Hal itu
membuahkan cita-cita dalam diri Sekarmadji, yaitu menaikhajikan kedua orang
tuanya. Namun, semua berubah ketika sebuah cobaan menyerang.
”Sekarmadji.” Itulah yang ia
katakan kali pertamanya berkenalan dengan Andre, siswa baru di kelasnya,
pindahan dari kota.
”Terlalu panjang. Bagaimana kalau
Madji?” kata Andre.
”Ya, terserah mau gimana
manggilnya.”
Kedatangan Andre ke kelasnya mengganjal
hati Madji. Setiap pertemuan mereka selalu diiringi pertanyaan dari Madji.
Kepandaiannya merangkai kata membuahkan pertanyaan yang tak berujung. Ia selalu
ingin tahu bagaimana kehidupan di luar sana.
Mungkin ia telah menemukan teman
yang tepat untuk menumpahkan semua kata yang tertampung pikirannya. Sering ia
berkunjung ke Pringsewu, desa tempat Andre tinggal di sini.
Hampir setiap hari bersama bapaknya
Madji luangkan waktu bersama, nongkrong di gubuk sampai sore mengawasi sawah
dari serangan burung-burung. Bersama-sama pula mereka menyingkirkan keong-keong
yang menempel di tanaman-tanaman padi mereka di malam hari. Ketika menanam
kacang, sekeluarga menanamnya bersama-sama dan ketika panen, mereka pun
memetiknya bersama. Bahkan adik kecilnya ikut, meski hanya berlarian ke sana
kemari dengan senyum lucunya. Akhir-akhir ini, Madji sering absen untuk
beberapa hari. Ia memiliki ketertarikan untuk mengunjungi teman barunya.
Namun, itu semua tak mengusik
kedua orang tuanya. Apa yang ayah Madji harapkan adalah agar Madji dapat
menjadi seorang sarjana suatu saat nanti; sarjana pertama di desa itu. Ia tak
terlalu berharap agar Madji selalu dapat membantunya menyelesaikan setiap
pekerjaan, meski jika tanpanya terasa lebih melelahkan.
”Kok bisa lebih terang to?” Kenorakan Madji timbul ketika lampu
ruang tengah rumah Andre diganti.
”Lampu yang kemarin sudah rusak.
Memangnya di desamu benar-benar nggak ada listrik?”
”Mana ada di sana. Letaknya aja
terpencil. Di kaki gunung, seperti mau diinjak sama gunungnya.”
”Ha...ha...ha... Kamu lah nanti
yang harus kasih listrik ke desamu.”
”Ya, semoga bisa. Kalau di kota
katanya sudah pakai listrik semua ya?”
”Enggak juga. Di kota sama saja,
ada tempat yang terpencil, kumuh, nggak enak. Orang yang nggak punya rumah juga
banyak. Di mana-mana masalahnya sama. Malah lebih enak di sini. Meski desamu
belum ada listrik, kan, suasananya lebih nyaman, sejuk. Di kota selalu sesak.”
Madji mangut-mangut. Semua
persepsinya mengenai kota selama ini terbantahkan. Bahkan orang yang dari kota
mengatakan tempat ini lebih enak.
”Katamu di desamu cuma kamu ya,
yang melanjutkan SMA? Terus yang lain ngapain?”
”Yah, kebanyakan udah pada malas
mikir. Lebih memilih jualan di pasar, tani, gitu lah, yang bisa langsung dapat
uang. Tapi bapakku ingin aku lanjut sampai sarjana, jadi sarjana pertama di
desaku. Aku juga punya cita-cita buat keliling-keliling Indonesia. Alhamdulillah
Bapak selalu mendukungku.”
”Syukur ya, punya orang tua yang
baik.”
”Iya, alhamdulillah. Makanya aku
sering bantu mereka biar bisa lebih mudah cari uang dan menabung buat kuliah
nanti.”
Percakapan mereka sepanjang jalan
kenangan, tanpa sadar apa yang terjadi di luar – kucing kejar-kejaran, para
petani pulang, gerimis yang turun bersama malaikat pembawa dan pencabut
kenangan.
Sekitar pukul lima sore. Dengan
usaha yang jauh lebih berat dari kepergiannya, Madji mengayuh sepeda. Sepanjang
jalan ia merasa di sapa –lambaian bayangan tangan-tangan kelapa yang pada sudut
tertentu menyembunyikan surya.
Tak seperti biasanya, sawahnya
yang tenang kini dipenuhi orang. Padahal sawah-sawah tetangga sama sekali tak
berpenghuni. Entah hal apa yang tiba-tiba menjadi magnet yang begitu kuat
sampai-sampai sawah tomat yang seharusnya telah dipanen, setengahnya masih
asyik bergantungan. Ia menghentikan sepedanya tepat di samping parit,
meninggalkannya tanpa takut terjadi apa-apa.
Kedatangannya seolah menjadi
magnet tandingan. Setiap pasang mata kini tertuju ke arahnya. Ia menjadi salah
tingkah, wajahnya diselimuti kebingungannya. Ditembusnya kerumunan itu seraya
terus bertanya, ”Ada apa ya Pak? Ada apa ya Bu?”
Tak ada yang menjawab. Tak ada
respon pasti yang mereka berikan, seolah mereka hanyalah patung.
Setelah menembus kerumunan, yang
ia dapati di sana adalah sosok ibunya. Dengan kedua telapak tangan menutupi
mukanya, masih tampak bagaimana emosinya. Isak tangisnya dapat Madji dengar
dengan jelas. Rasa khawatirnya memukul-mukul jantung hingga terasa di luar.
”Ibu, ada apa?” Suaranya diperhalus di antara perasaan yang tak menentu ini.
Sekelompok orang naik dengan
susah payah dari parit lebar di sana. Tangan mereka ada yang berlumur darah.
Setelah sepenuhnya naik, nampak bahwa mereka mengangkat seseorang. Dari atas
telinganya, darah memancar tak terbendung. Goresan luka lainnya tampak di
sekujur tubuh. Pakaiannya telah basah kuyup dan sobek-sobek. Orang itu tak lain
adalah bapak Madji.
Air mata tak dapat ia bendung
lagi. Bukan hanya mengalir, melainkan meledak. Bagaimanapun ia berusaha
membendungnya, perasaannya tetap mendorongnya keluar. Isak tangis ibu Madji
kini ada yang mengiringi. Kehilangan orang yang dicintai diikuti perasaan
kehilangan harapan. Ia hanya dapat menyalahkan dunia.
Saat-saat setelah penguburan
ayahnya, ia selalu menyendiri di kamar. Tak ada penghibur baginya. Orang yang
terdekat dengannya juga mengalami hal yang sama. Yang dapat ia bayangkan hanya
kehancuran masa depannya, bukan lagi keinginan untuk membahagiakan kedua orang
tuanya. Seseorang yang menjadi pemicu dan penanam impian telah hilang, sehingga
impian itu pun ikut hilang. Di tengah semua itu, ia mendapat sebuah kesimpulan.
Andre merasa kesepian seharian
ini di sekolah. Teman yang selalu bersamanya tengah hanyut dalam kesedihan. Ia
telah berusaha menjenguknya, tapi tak ada sambutan selamat datang sama sekali.
Saat penguburan ayah Madji kemarinlah satu-satunya waktu ia dapat menyalurkan empatinya,
meski ia tak mendapat respon yang spesifik dari Madji. Sekarang ia sama sekali
tak tahu posisi temannya itu.
”Ini upahnya Dik.” kata seorang
pria berwajah ramah.
”Terimakasih Pak.” Pemuda itu
meraih uang yang disodorkan, dengan memaksakan lukisan senyum di wajahnya.
Sepeda berlapis karat itu ia
kayuh di bawah langit berwajah pucat. Langit sepertinya memiliki perasaan yang
sama dengan Madji. Di tengah perjalanannya, Madji menerima air mata pertama
empati langit. Semakin lama semakin deras, hingga tak dapat dibedakan lagi mana
air mata langit yang membasuh muka Madji dan mana air matanya sendiri.
Kesedihan langit telah memicu kesedihannya kembali.
Di depan sebuah rumah makan, ia
menghentikan sepedanya. Ia mengucek matanya yang sedikit memerah dan ia basuh
langsung dengan air yang telah menempel di mukanya. Ia menarik napas sekuatnya,
kemudian ia buang. Paru-parunya kembali teratur.
Rumah makan itu menampakkan aura
kehangatan yang menarik Madji untuk memasukinya. Teh hangat akan sangat
membantu dalam suasana seperti ini. Setelah memesannya, ia mencari kursi
terbaik sembari menahan emosinya agar tak meledak di sini.
Ternyata ia tak sendiri. Seorang
pria berjaket kulit duduk di sebuah kursi. Meski mukanya belum tampak, ia
seperti mengenalnya. Postur tubuh itu, apalagi kepala botak itu, seseorang yang
telah membekas dalam ingatan Madji. Ia duduk di sampingnya, memastikan apa
dugaannya benar.
”Oh, Madji. Kok di sini?” Pria
itu segera menyadari kehadiran Madji. Dia adalah ayah Andre –selalu tampak
ketika ia berkunjung ke rumahnya.
”Oh, iya Pak.”
”Saya turut berduka ya, apa yang
terjadi sama bapak kamu.” Air muka empati menghias wajah yang biasanya tampak
konyol itu.
Mendengar ucapan itu membuat
Madji kembali teringat akan bapaknya dan semua kenangan yang telah mereka
lalui. Air mata kembali mendesak keluar sehingga ia harus bersusah payah
membendungnya. ”I... iya Pak. Tidak apa-apa.” Suaranya hampir dinadai isakan.
”Kalau kamu memang sedih,
keluarkan saja tidak apa-apa. Andre juga begitu ketika bertemu pertama kali.”
Kata-kata itu segera menarik
perhatian Madji. Ia seolah bertanya, apa
maksudnya?
”Oh, iya. Saya belum pernah
cerita, ya. Andre itu bukan anak kandung saya. Orang tuanya meninggal karena
kecelakaan dulu. Ia dititipkan di panti asuhan, kemudian saya mengadopsinya. Saya
selalu kasihan sama dia. Di awal-awal dulu, dia selalu menangis. Tapi tidak
apa-apa, kalau itu memang mengeluarkan apa yang dipendam. Dia malah kehilangan
orang tuanya sewaktu masih SD. Kasihan sekali, kan?”
Ternyata begitu. Ia baru tahu
sekarang. Pertanyaan tak penting yang ada di hatinya kini terjawab. Mereka
berdua sama sekali tidak mirip, ternyata karena itu. Di samping itu, ia kini
menyadari bahwa ia tak sendiri. Dunia juga telah merenggut kehidupan Andre.
Tapi, Andre terlihat baik-baik saja saat ini.
”Kalau kamu butuh apa-apa,
hubungi saja saya, atau hubungi lewat Andre. Insyaallah, saya akan membantu. Saya
juga dengar dari Andre, kamu bolos sekolah?”
Tak ada jawaban. Ia seperti
mengheningkan cipta.
”Kalau saran saya sih, jangan
kamu buat jadi semakin berat. Kamu kan pernah bercerita sama Andre kalau kamu
punya cita-cita. Kamu harus meraihnya. Jangan stres berlebihan sehingga pikiran
menjadi kacau.”
Madji masih tak memberi jawaban.
”Saya tahu, kamu mau bilang nggak
ada uang buat sekolah, kan? Jangan khawatirkan soal itu. Ini, coba lihat.” Ayah
Andre menyodorkan salah satu halaman koran.
Entah bagaimana, Madji kembali
teringat akan cita-citanya. Ia teringat dengan harapan-harapan yang dicurahkan
bapaknya. Terpampang di sana pengumuman beasiswa penuh untuk kuliah.
”Sekarang beasiswa sudah banyak. Saya
akan coba bantu kamu untuk mendapatkannya. Gimana? Kamu lanjut aja, ya.”
Mengalir setetes air mata dari
mata Madji. Yang ini bukan karena kesedihan. Semangat-semangat dari bapaknya kembali
menggema di telinga, membuatnya terharu. Sejak saat itu, ia berjanji ia tidak
akan mengecewakan bapaknya.
***
Langit telah mereda, diikuti
akhir cerita dari Kades. Pemuda itu tampak terpana dengan cerita yang dibawakan
lelaki itu. Beberapa pria yang lain pun tampaknya mendengar dengan baik.
”Jadi, Bapak kemudian kuliah
dengan beasiswa itu?” tanya si pemuda.
”Iya. Alhamdulillah, setelah tes
yang sangat sulit, Bapak mendapatkannya. Saya sangat berterima kasih kepada
Andre dan ayahnya.”
”Kenapa Bapak kembali ke desa?
Bukannya Bapak ingin keliling Indonesia?”
”Iya, saya sempat pergi
menyeberang laut. Ke Sumatra lah, Kalimantan lah. Di mana-mana masih banyak
masalah. Bapak ingin memperbaiki desa Bapak dulu. Lagipula, pesan bapak saya
adalah untuk jadi sarjana pertama di desa.”
Pemuda itu mangut-mangut, begitu
terpesona, kagum dengan sosok yang ada di depannya. Ia adalah pahlawan bagi
desa.
Sumber gambar: Dienis Dzakaria/pinterest.com
0 Komentar:
Posting Komentar