Ini adalah
kisahku. Kisah yang terukir setahun yang lalu. Sebuah cerita kegagalan
sekaligus keberhasilan yang patut tuk dibanggakan. Ketika menatap refleksi masa
lalu, aku melihat sesuatu yang besar, yang kupikir sulit kucari di waktu-waktu
ini. Sebuah dorongan semangat terdalam, yang begitu membara hingga panasnya
masih dapat kurasakan saat ini.
Saat itu adalah
detik-detik penantian. Waktu yang dikepung oleh berbagai ujian. Salah satunya
adalah ujian yang sering dikhawatirkan mahasiswa, UAS. Namun, sesuatu yang lain
menantiku. Sesuatu yang membuatku lebih khawatir dari sekadar UAS. Saat itulah
semangatku diuji. Untuk menyelesaikan apa yang telah kumulai. Pekerjaan yang
bukan soal uang, melainkan sebuah janji dan konsekuensi pribadi. Ini adalah
tanggung jawab sekaligus pembuktian visiku. Aku ingin berbuat baik. “Bila aku
tak sanggup menyelesaikannya hingga matahari terbit, aku akan lari keliling
saraga tujuh kali.” janjiku.
Pekerjaan ini
adalah menyelesaikan sebuah buku. Bukan menulis, melainkan mengeditnya hingga
selesai. Tulisan utamanya dibuat oleh pihak yang diajak bekerja sama. Di bawah
sebuah lembaga yang disebut ExGEN. Tak ada yang aku harapkan selain janjiku. Bukan
uang, bahkan fakta bahwa besok UAS tak lebih merisaukanku. Malam itu kugunakan
seluruh waktuku untuk menyelesaikan tulisan itu, dan aku tak mempersiapkan apa
pun untuk UAS.
Alhasil, aku tak
mampu menyelesaikan pekerjaanku hari itu. UAS tetap berjalan, kukerjakan dengan
setengah keyakinan. Tulisan itu baru kuselesaikan malam selanjutnya. Paginya
kulaksanakan konsekuensiku, lari tujuh keliling. Begitu selesai, aku tersenyum.
Aku menyelesaikan konsekuensiku, aku
menyelesaikan buku itu. Memang aku gagal, tapi bukan berarti aku tak
berhasil. Buku itu diterbitkan, dan aku bisa menatapnya dengan rasa bangga.
Ratusan orang memesannya.
Aku tak pernah
mendapat uang dari buku itu, tapi aku mendapat yang lebih dari itu. Aku bisa
membantu orang lain mendapat uang dari buku itu – para penulisnya. Dan, di lain
hari, raporku keluar, muncul indeks A pada mata kuliah itu; mata kuliah yang
aku tak belajar sama sekali. Aku hanya bisa berprasangka baik, mungkin Dia menolongku. Karena jujur
saja, aku hanya memiliki niat baik saat itu. Aku merasa dekat dengan-Nya.
Mungkin beberapa
pihak beranggapan aku terlalu bodoh dengan tak mendapat keuntungan dari
pekerjaan itu. Jujur saja, aku tak terlalu membutuhkan uang saat itu. Bila hal
itu didefinisikan sebagai kebodohan, maka aku bangga menjadi orang terbodoh di
dunia.
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
0 Komentar:
Posting Komentar