Di sebuah waktu yang tak akan kau temui, kota Bandung
menjadi tidak berpenghuni. Alkisah, di sana, hiduplah seorang manusia yang nama
instagramnya PenghuniBandung. Sambil Anda memahami kejanggalan cerita ini,
PenghuniBandung memasang plat di setiap tepian kota. Plat itu dari papan kayu
yang jumlahnya sangat banyak, cukup banyak untuk mengisi garis perbatasan di setiap
jalan. Plat-plat itu bertuliskan:
SELAMAT DATANG DI UJUNG DUNIA
ANDA MEMASUKI KAWASAN FIKTIF
MENUJU TAK TERBATAS DAN MELAMPAUINYA
PAYAH, AYO MASUK!
AREA PERTEMUAN LANGIT DAN BUMI
HIDUP ANDA DIMULAI DARI SINI
PenghuniBandung tinggal di sebuah gedung berbentuk kotak
retak-retak, berwarna putih lapis lumut, dan interiornya yang berlantai kayu hanya
berisi sarang laba-laba. Ia tak pernah tahu gedung apa itu. Sepanjang hari ia
jalani dengan kemalasan. Jarang ada inovasi mengenai apa yang akan ia lakukan. Meski
ada, tak jarang ia meninggalkannya sebagai wacana. Itulah yang ia definisikan
dengan kedamaian. Ia membencinya. Sehari sekali, ia memanjat menara yang ada di
depan gedung, berharap ada kendaraan terlihat dari sana.
Bertemu orang lain sudah menjadi impiannya yang mendarah
daging. Ia melakukan usaha yang dianggapnya sudah cukup keras. Memasang
plat-plat itu merupakan bagian dari usahanya. Selain itu, ia selalu mengunggah
gambar di instagramnya yang pengikutnya sembilan orang. Setiap gambar ia sertai
caption “AYO KE BANDUNG, HENTIKAN
PERDAMAIAN”.
Sejak batas ingatannya, ia tak pernah bertemu orang lain
selain dua orang. Orang pertama yang datang ia sambut dengan tinju di pipi tiga
kali, urut kanan-kiri-kanan. Ketakutan, orang itu pun berlari pergi dan tak
pernah kembali. PenghuniBandung hanya menatap kepergian orang pertama dengan
makian karena ia beranggapan orang pertama tak tahu terima kasih atas sambutan
yang sudah ia berikan.
Gerutunya masih belum redam selama beberapa hari sejak
kejadian itu. Ia menjalani paginya dengan kopi panas tanpa gula dan kegalauan.
Sambil menatap pusaran krimer yang terbentuk dari adukan, ia memikirkan apa
salahnya pada orang pertama. Ketika pusaran itu berhenti, ia mengaduknya lagi.
Kali ini ia menyalahkan orang pertama yang tak tahu terima kasih. Ia mengaduk
kopinya lagi. Lalu ia menggeneralisasikan bahwa semua orang lain itu tidak
baik.
Masih galau, ia pun menemui teman bijaknya, rumput. Itu
adalah rumput setinggi satu meter yang bersembunyi di balik semak-semak. “Put,
kita jarang ketemu akhir-akhir ini. Ke mana saja kau?”
Rumput pun bergoyang.
“Oh iya, kau kan rumput. Begini Put.” PenghuniBandung
menghela napas dalam posisi jongkoknya. “Aku bertemu orang lain kemarin. Tapi
dia bukan orang baik. Dia pergi begitu saja setelah aku memberinya tinju tiga
kali.”
Rumput pun bergoyang.
“Apa? Kenapa bisa ini salahku? Bukannya kau sendiri yang
bilang kalau aku bertemu orang lain, aku harus memberinya sesuatu? Aku bertemu
dengannya tanpa persiapan saat itu. Aku hanya memiliki tinju. Jadi, ya...
begitulah.”
Rumput pun bergoyang.
“Hm... jadi aku tidak boleh memberi tinju ketika bertemu
orang lain ya? Kalau begitu, aku harus selalu punya persiapan. Bisa jadi aku
tidak sengaja bertemu orang lain seperti kemarin.”
Rumput pun bergoyang.
“Ah, ide bagus! Kenapa aku tidak terpikirkan hal semacam
itu? Daripada aku memberikan sesuatu kepada orang lain ketika bertemu, lebih
baik aku mengajaknya ke rumah dan memberinya sesuatu. Begitu kan?”
Rumput pun bergoyang.
“Terima kasih, Put. Kau memang bijak. Ini, kau bisa
meminum kopiku.” PenghuniBandung menyiramkan kopinya yang sudah tak panas tepat
pada pertemuan rumput dan tanah. Rumput menyeruput sedikit-sedikit.
Belajar dari pengalaman pertama, PenghuniBandung tidak
lagi memberi tinju pada orang kedua. Ia memberi sambutan pada orang kedua,
mengajak (memaksa) orang kedua untuk pergi ke rumahnya. Sejak awal memang ia
tak terlihat ramah. Ia menggiring orang kedua ke rumahnya seperti penjaga yang
mengawal tahanan. Ia yang berjalan di belakang tak pernah melepaskan
pandangannya dari orang kedua. Orang kedua yang pandangannya lebih sering
tertunduk sesekali melempar pandang ke belakang. Tatapan tajam PenghuniBandung
membuatnya segera berbalik.
Begitu sampai gedung kotak-putih-berisi-sarang-laba-laba,
PenghuniBandung menyuruh orang kedua duduk tanpa keramahan sepersen pun. Orang
kedua harus menunggu di sana sementara ia akan mengambilkan minum.
PenghuniBandung membanting cangkirnya, pecah. Kopi
meluber ke mana-mana membabi buta. PenghuniBandung tak mendapati orang kedua di
tempat terakhir ia meninggalkannya. “Dia kabur! Dia kabur!” Ia turut berlarian
membabi buta mengikuti kopinya.
Orang kedua yang bersembunyi seolah udang di balik batu
mengintip PenghuniBandung yang kesetanan. Begitu PenghuniBandung keluar, ia
berlari ke arah yang berlawanan. Mendapati PenghuniBandung dalam proses panjat
menara, ia berlari secepatnya.
PenghuniBandung yang telah berada di puncak menara
mengamati sekitar. Matanya menajam menangkap setiap gerakan sekecil apa pun, sejauh
apa pun. Ia dapati orang kedua berlari terang-terangan menjauh seperti dikejar
setan. Ia menatap ke bawah, tinggi. Kegilaannya mendorong untuk melompat. Tapi
akal sehatnya memberi tahu konsekuensinya. Bila ia melompat, kisahnya berakhir
di sini.
Waktu start-nya
tertinggal jauh karena ia harus naik menara lalu turun lagi. Tapi keinginannya
yang cukup kuat membuatnya mampu mengejar orang kedua. Jarak mereka hanya lima
meter. PenghuniBandung mengulurkan tangannya panjang-panjang. Ketika jarak
antara ujung jarinya dengan baju orang pertama hanya satu senti, ia mengerem,
berhenti. Ia menarik kakinya jauh-jauh dari garis batas. Sekali lagi ia berdiri
menatap kepergian orang lain. Matanya benar-benar dipenuhi benci. Napasnya
terengah. Sementara orang kedua yang menatap belakang bersyukur PenghuniBandung
tak lagi mengejarnya.
“Put, rencananya tidak berhasil.” katanya pada rumput.
Rumput pun bergoyang.
“Mudah bagimu bilang sabar. Tapi menjalankannya sangat
sulit.” Ia duduk membanting pantatnya sendiri.
Rumput pun bergoyang.
PenghuniBandung menghela napas. “Orang itu pergi lagi.
Padahal aku sudah baik mengajaknya ke rumah dan memberinya minum. Apa sih yang
salah dengan semua orang?”
Rumput pun bergoyang.
“Interaksi? Apa maksudmu dengan interaksi?”
Rumput pun bergoyang.
“Iya, aku sudah melakukannya. Aku menyambutnya dengan
penuh semangat. Sepertinya memang semua orang aneh. Ah, sudahlah. Aku tidak mau
bertemu orang lain lagi.”
Rumput pun bergoyang.
“Berinteraksi dengan orang lain? Apa ada cara seperti itu?
Kau tahu aku di sini sejak... sejak aku tidak tahu kapan itu. Aku tidak paham
dengan orang lain, kenapa mereka sedingin itu padaku. Kalau seperti yang kau
bilang tadi, aku harus belajar berinteraksi dengan orang lain, sepertinya tidak
mungkin. Aku sendiri, Put. Benar-benar sendiri. Dan kau... kau adalah rumput.”
Rumput pun bergoyang.
“Kau gila?! Tidak, Put. Aku tidak bisa melakukannya. Aku
pernah bercerita kepadamu kan, ada seseorang yang berkata padaku, kalau aku
melangkah keluar batas, aku akan hancur.”
Rumput pun begoyang.
“Benar juga. Berarti aku pernah bertemu seseorang sebelum
ini. Tapi... siapa? Aku benar-benar tidak ingat. Aku tidak yakin seperti apa
orang itu.”
Rumput pun bergoyang.
“Ya, aku tahu ini doktrin. Tapi, bagaimana kalau doktrin
ini benar? Risikonya aku akan hancur dan tidak bisa pergi selamanya.”
Rumput pun bergoyang.
“Aku memang tidak yakin dengan orang itu. Kau mengajukan
pertanyaan yang membuatku pusing. Satu-satunya cara membuktikan kebenaran
adalah melangkah keluar dan melihat aku hancur atau tidak. Bagaimana kalau aku
benar-benar hancur?” PenghuniBandung berpaling. Suasana tenang sejenak. “Kurasa
kau benar, Put. Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan seseorang yang aku
sendiri tak begitu yakin. Terima kasih, Put. Kau teman paling baik yang
kumiliki. Kalau aku benar-benar melangkah keluar, kita akan berpisah. Sampai
jumpa.” Ia berjalan dengan mantab menuju perbatasan.
Hatinya kian dilanda bimbang ketika melihat garis batas
itu. Duh, apa aku harus melakukannya?
Ia menarik lagi kaki yang hampir melangkah. Ia mengangkatnya lagi. Tidak, tidak, aku bisa mati. Ia
berbalik, hatinya hampir tunduk. Pasti
ada cara lain. Ia kembali lagi, menegaskan pikirannya akan kemungkinan
lain. Pilihan itu bisa mengubah dunianya. Diingatnya dunianya selama ini.
Terlalu penuh dengan yang ia sebut damai. Membosankan.
Ia bisa mendapat lebih dari itu bila ia keluar dari sini. Kalau aku tetap di dalam sini, sepertinya sama saju aku mati. Aku sudah
mati sejak dulu. Tak pernah ada kehidupan. Dan aku tetap mati bila tetap di
sini. Bila keluar, ada kemungkinan aku bisa hidup. Kakinya gemetar bergeser
maju. Ia angkat, pelan-pelan, pelan-pelan, pelan-pelan, pelan-pelan. Hei, ujung kakiku sudah ada di luar. Ia
pun mendorong dirinya sepenuhnya ke luar. Aku
hidup! Betapa berbunga hatinya. Ini
hidup paling hidup yang pernah kurasakan. Sang PenghuniBandung telah
menanggalkan identitasnya. Kini ia adalah seorang pengembara yang berjalan
untuk mencari kebenaran, untuk belajar.
Bila kau merasa janggal di awal cerita, kini kau
menemukan jawabannya. Ini bukanlah kisah Bandung kota tak berpenghuni. Ini
kisah bagaimana bandung menjadi kota tak berpenghuni. Meski di antara kau dan
aku tak ada yang tahu alasannya.
Bandung,
10 Juni 2017
Arsyad
M. D.
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus