“Ini adalah revolusi.” kata Pak Hermawan sang penceramah tarawih.
Waktu. Adalah di mana yang ada mengukir lara. Yang ada dijadikan tak ada, yang tak ada dijadikan ada. Suatu proses aksi-reaksi yang terus berputar selama waktu ada. Meski proses ini berlangsung berputar-putar, bukan nihil yang dihasilkan. Siklus panas dalam mesin pun berkata demikian. Waktu menghasilkan produk.
Tidak lagi mengherankan bila ada yang bilang bahwa makhluk hidup terbentuk secara spontan mengikuti hukum alam, tak terkecuali manusia. Mereka yang tak memegang agama meyakini bahwa hukum alam berada dalam tingkatan tertinggi suatu kejadian. Zat-zat di udara yang memperoleh energi kemudian menyusun asam amino. Asam amino menjadi protein, dan entah bagaimana protein menjadi sel hidup. Dari makhluk bersel satu, dalam waktu yang sangat lama, akhirnya terjadilah manusia.
Dengan keyakinan yang demikian, waktu akan menghasilkan produk yang bukan apa selain tumpukan senyawa organik. Di dalamnya terdapat segala proses yang entah bagaimana begitu kompleks dan saling bertautan. Kompleksitas itu membuat mereka bertahan hidup secara otomatis. Bila pun kompleksitas itu dapat terjadi, produk maksimal spontanitas dalam waktu seharusnya adalah binatang sederhana. Binatang memiliki rangsangan tertentu bila kekurangan makanan. Kemudian secara otomatis, ia mencari makanan sehingga dapat bertahan hidup. Begitu terus selama proses hidupnya hingga tak ada cukup makanan dan akhirnya mati.
Tapi, benarkah manusia hanya tumpukan senyawa organik? Manusia adalah manusia.
Dalam pemahaman yang didasari hukum alam, proses di dalam makhluk hidup terjadi karena koordinasi berbagai sistemnya: saraf, hormon, enzim. Manusia pun tak lepas dari itu. Tapi, bila hanya dipahami dari perspektif fisik saja, manusia tak mungkin bisa lebih kompleks dari itu. Proses terjadinya pikiran dan pengetahuan begitu rumit. Terlebih lagi bagaimana memahami kemerdekaan.
Manusia memiliki kemerdekaan yang tidak bisa dijelaskan dari kejadian fisik. Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemampuan manusia membuat pilihan. Kosakata sederhana untuk menjelaskannya adalah akal. Bila pikiran digunakan untuk memproses pilihan dalam otak, akal digunakan untuk membuat pilihan itu. Akal tidak mampu dijelaskan dalam pemahaman fisik karena ia setingkat dengan ruh. Boleh jadi ia datang dari dimensi lain, sebagaimana bilangan akar min satu tak dapat ditemukan dalam dunia fisik, tapi dapat digunakan sebagai jalan perhitungan gelombang.
Karena manusia tersusun dari dua hal yang masing-masing datang dari dunia fisik dan dunia nonfisik, reaksi yang terjadi dalam manusia secara garis besar dibagi menjadi dua. Reaksi pertama merupakan reaksi biokimia yang banyak melibatkan protein. Protein ini berwujud sebagai hormon maupun enzim. Reaksi enzimatis terjadi dengan bantuan enzim tertentu untuk membuat reaksi yang tak terjadi secara spontan menjadi terjadi. Contoh sederhana reaksi enzimatis adalah pencernaan. Makanan yang terdiri dari molekul besar dengan enzim akan menjadi molekul-molekul kecil. Reaksi ini terjadi dengan cepat. Ini adalah revolusi.
Bagaimana dengan reaksi yang satunya? Belum ada kosakata yang cocok untuk menyatakan reaksi ini. Tapi, perubahan-perubahan perilaku dan pembentukan karakter merupakan contoh hasil dari reaksi ini. Banyak reaksi yang terjadi secara evolusioner, perlu waktu. Tapi, sesekali reaksi ini terjadi secara revolusioner. Dalam konteks Islam, kita mengenal Ramadhan. Di sana, begitu banyak perubahan yang terjadi seketika. Perokok berhenti merokok. Orang yang tak kuat berpuasa entah kenapa menjadi kuat. Lalu mereka mengejar satu juz Alquran dalam sehari. Kebaikan-kebaikan lain pun mengikuti secara revolusioner. Ramadhan merupakan enzim. Reaksi ini terjadi sebulan penuh. Biasanya, Ramadhan menjadi titik balik seorang muslim. Ini adalah revolusi.
#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara
0 Komentar:
Posting Komentar