Minggu, 11 Juni 2017

Bandung Tanpa Penghuni

Di sebuah waktu yang tak akan kau temui, kota Bandung menjadi tidak berpenghuni. Alkisah, di sana, hiduplah seorang manusia yang nama instagramnya PenghuniBandung. Sambil Anda memahami kejanggalan cerita ini, PenghuniBandung memasang plat di setiap tepian kota. Plat itu dari papan kayu yang jumlahnya sangat banyak, cukup banyak untuk mengisi garis perbatasan di setiap jalan. Plat-plat itu bertuliskan:

SELAMAT DATANG DI UJUNG DUNIA

ANDA MEMASUKI KAWASAN FIKTIF

MENUJU TAK TERBATAS DAN MELAMPAUINYA

PAYAH, AYO MASUK!

AREA PERTEMUAN LANGIT DAN BUMI

HIDUP ANDA DIMULAI DARI SINI

PenghuniBandung tinggal di sebuah gedung berbentuk kotak retak-retak, berwarna putih lapis lumut, dan interiornya yang berlantai kayu hanya berisi sarang laba-laba. Ia tak pernah tahu gedung apa itu. Sepanjang hari ia jalani dengan kemalasan. Jarang ada inovasi mengenai apa yang akan ia lakukan. Meski ada, tak jarang ia meninggalkannya sebagai wacana. Itulah yang ia definisikan dengan kedamaian. Ia membencinya. Sehari sekali, ia memanjat menara yang ada di depan gedung, berharap ada kendaraan terlihat dari sana.

Bertemu orang lain sudah menjadi impiannya yang mendarah daging. Ia melakukan usaha yang dianggapnya sudah cukup keras. Memasang plat-plat itu merupakan bagian dari usahanya. Selain itu, ia selalu mengunggah gambar di instagramnya yang pengikutnya sembilan orang. Setiap gambar ia sertai caption “AYO KE BANDUNG, HENTIKAN PERDAMAIAN”.

Sejak batas ingatannya, ia tak pernah bertemu orang lain selain dua orang. Orang pertama yang datang ia sambut dengan tinju di pipi tiga kali, urut kanan-kiri-kanan. Ketakutan, orang itu pun berlari pergi dan tak pernah kembali. PenghuniBandung hanya menatap kepergian orang pertama dengan makian karena ia beranggapan orang pertama tak tahu terima kasih atas sambutan yang sudah ia berikan.

Gerutunya masih belum redam selama beberapa hari sejak kejadian itu. Ia menjalani paginya dengan kopi panas tanpa gula dan kegalauan. Sambil menatap pusaran krimer yang terbentuk dari adukan, ia memikirkan apa salahnya pada orang pertama. Ketika pusaran itu berhenti, ia mengaduknya lagi. Kali ini ia menyalahkan orang pertama yang tak tahu terima kasih. Ia mengaduk kopinya lagi. Lalu ia menggeneralisasikan bahwa semua orang lain itu tidak baik.

Masih galau, ia pun menemui teman bijaknya, rumput. Itu adalah rumput setinggi satu meter yang bersembunyi di balik semak-semak. “Put, kita jarang ketemu akhir-akhir ini. Ke mana saja kau?”

Rumput pun bergoyang.

“Oh iya, kau kan rumput. Begini Put.” PenghuniBandung menghela napas dalam posisi jongkoknya. “Aku bertemu orang lain kemarin. Tapi dia bukan orang baik. Dia pergi begitu saja setelah aku memberinya tinju tiga kali.”

Rumput pun bergoyang.

“Apa? Kenapa bisa ini salahku? Bukannya kau sendiri yang bilang kalau aku bertemu orang lain, aku harus memberinya sesuatu? Aku bertemu dengannya tanpa persiapan saat itu. Aku hanya memiliki tinju. Jadi, ya... begitulah.”

Rumput pun bergoyang.

“Hm... jadi aku tidak boleh memberi tinju ketika bertemu orang lain ya? Kalau begitu, aku harus selalu punya persiapan. Bisa jadi aku tidak sengaja bertemu orang lain seperti kemarin.”

Rumput pun bergoyang.

“Ah, ide bagus! Kenapa aku tidak terpikirkan hal semacam itu? Daripada aku memberikan sesuatu kepada orang lain ketika bertemu, lebih baik aku mengajaknya ke rumah dan memberinya sesuatu. Begitu kan?”

Rumput pun bergoyang.

“Terima kasih, Put. Kau memang bijak. Ini, kau bisa meminum kopiku.” PenghuniBandung menyiramkan kopinya yang sudah tak panas tepat pada pertemuan rumput dan tanah. Rumput menyeruput sedikit-sedikit.

Belajar dari pengalaman pertama, PenghuniBandung tidak lagi memberi tinju pada orang kedua. Ia memberi sambutan pada orang kedua, mengajak (memaksa) orang kedua untuk pergi ke rumahnya. Sejak awal memang ia tak terlihat ramah. Ia menggiring orang kedua ke rumahnya seperti penjaga yang mengawal tahanan. Ia yang berjalan di belakang tak pernah melepaskan pandangannya dari orang kedua. Orang kedua yang pandangannya lebih sering tertunduk sesekali melempar pandang ke belakang. Tatapan tajam PenghuniBandung membuatnya segera berbalik.

Begitu sampai gedung kotak-putih-berisi-sarang-laba-laba, PenghuniBandung menyuruh orang kedua duduk tanpa keramahan sepersen pun. Orang kedua harus menunggu di sana sementara ia akan mengambilkan minum.

PenghuniBandung membanting cangkirnya, pecah. Kopi meluber ke mana-mana membabi buta. PenghuniBandung tak mendapati orang kedua di tempat terakhir ia meninggalkannya. “Dia kabur! Dia kabur!” Ia turut berlarian membabi buta mengikuti kopinya.

Orang kedua yang bersembunyi seolah udang di balik batu mengintip PenghuniBandung yang kesetanan. Begitu PenghuniBandung keluar, ia berlari ke arah yang berlawanan. Mendapati PenghuniBandung dalam proses panjat menara, ia berlari secepatnya.

PenghuniBandung yang telah berada di puncak menara mengamati sekitar. Matanya menajam menangkap setiap gerakan sekecil apa pun, sejauh apa pun. Ia dapati orang kedua berlari terang-terangan menjauh seperti dikejar setan. Ia menatap ke bawah, tinggi. Kegilaannya mendorong untuk melompat. Tapi akal sehatnya memberi tahu konsekuensinya. Bila ia melompat, kisahnya berakhir di sini.

Waktu start-nya tertinggal jauh karena ia harus naik menara lalu turun lagi. Tapi keinginannya yang cukup kuat membuatnya mampu mengejar orang kedua. Jarak mereka hanya lima meter. PenghuniBandung mengulurkan tangannya panjang-panjang. Ketika jarak antara ujung jarinya dengan baju orang pertama hanya satu senti, ia mengerem, berhenti. Ia menarik kakinya jauh-jauh dari garis batas. Sekali lagi ia berdiri menatap kepergian orang lain. Matanya benar-benar dipenuhi benci. Napasnya terengah. Sementara orang kedua yang menatap belakang bersyukur PenghuniBandung tak lagi mengejarnya.

“Put, rencananya tidak berhasil.” katanya pada rumput.

Rumput pun bergoyang.

“Mudah bagimu bilang sabar. Tapi menjalankannya sangat sulit.” Ia duduk membanting pantatnya sendiri.

Rumput pun bergoyang.

PenghuniBandung menghela napas. “Orang itu pergi lagi. Padahal aku sudah baik mengajaknya ke rumah dan memberinya minum. Apa sih yang salah dengan semua orang?”

Rumput pun bergoyang.

“Interaksi? Apa maksudmu dengan interaksi?”

Rumput pun bergoyang.

“Iya, aku sudah melakukannya. Aku menyambutnya dengan penuh semangat. Sepertinya memang semua orang aneh. Ah, sudahlah. Aku tidak mau bertemu orang lain lagi.”

Rumput pun bergoyang.

“Berinteraksi dengan orang lain? Apa ada cara seperti itu? Kau tahu aku di sini sejak... sejak aku tidak tahu kapan itu. Aku tidak paham dengan orang lain, kenapa mereka sedingin itu padaku. Kalau seperti yang kau bilang tadi, aku harus belajar berinteraksi dengan orang lain, sepertinya tidak mungkin. Aku sendiri, Put. Benar-benar sendiri. Dan kau... kau adalah rumput.”

Rumput pun bergoyang.

“Kau gila?! Tidak, Put. Aku tidak bisa melakukannya. Aku pernah bercerita kepadamu kan, ada seseorang yang berkata padaku, kalau aku melangkah keluar batas, aku akan hancur.”

Rumput pun begoyang.

“Benar juga. Berarti aku pernah bertemu seseorang sebelum ini. Tapi... siapa? Aku benar-benar tidak ingat. Aku tidak yakin seperti apa orang itu.”

Rumput pun bergoyang.

“Ya, aku tahu ini doktrin. Tapi, bagaimana kalau doktrin ini benar? Risikonya aku akan hancur dan tidak bisa pergi selamanya.”

Rumput pun bergoyang.

“Aku memang tidak yakin dengan orang itu. Kau mengajukan pertanyaan yang membuatku pusing. Satu-satunya cara membuktikan kebenaran adalah melangkah keluar dan melihat aku hancur atau tidak. Bagaimana kalau aku benar-benar hancur?” PenghuniBandung berpaling. Suasana tenang sejenak. “Kurasa kau benar, Put. Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan seseorang yang aku sendiri tak begitu yakin. Terima kasih, Put. Kau teman paling baik yang kumiliki. Kalau aku benar-benar melangkah keluar, kita akan berpisah. Sampai jumpa.” Ia berjalan dengan mantab menuju perbatasan.

Hatinya kian dilanda bimbang ketika melihat garis batas itu. Duh, apa aku harus melakukannya? Ia menarik lagi kaki yang hampir melangkah. Ia mengangkatnya lagi. Tidak, tidak, aku bisa mati. Ia berbalik, hatinya hampir tunduk. Pasti ada cara lain. Ia kembali lagi, menegaskan pikirannya akan kemungkinan lain. Pilihan itu bisa mengubah dunianya. Diingatnya dunianya selama ini. Terlalu penuh dengan yang ia sebut damai. Membosankan. Ia bisa mendapat lebih dari itu bila ia keluar dari sini. Kalau aku tetap di dalam sini, sepertinya sama saju aku mati. Aku sudah mati sejak dulu. Tak pernah ada kehidupan. Dan aku tetap mati bila tetap di sini. Bila keluar, ada kemungkinan aku bisa hidup. Kakinya gemetar bergeser maju. Ia angkat, pelan-pelan, pelan-pelan, pelan-pelan, pelan-pelan. Hei, ujung kakiku sudah ada di luar. Ia pun mendorong dirinya sepenuhnya ke luar. Aku hidup! Betapa berbunga hatinya. Ini hidup paling hidup yang pernah kurasakan. Sang PenghuniBandung telah menanggalkan identitasnya. Kini ia adalah seorang pengembara yang berjalan untuk mencari kebenaran, untuk belajar.

Bila kau merasa janggal di awal cerita, kini kau menemukan jawabannya. Ini bukanlah kisah Bandung kota tak berpenghuni. Ini kisah bagaimana bandung menjadi kota tak berpenghuni. Meski di antara kau dan aku tak ada yang tahu alasannya.

Bandung, 10 Juni 2017

Arsyad M. D.

#RamadhanInspiratif
#Challenge
#Aksara

1 komentar:

Who am I

Arsyad M. D.
amdzulqornain@gmail.com